Jakarta (ANTARA) - Dosen Program Studi Kajian Terorisme Universitas Indonesia Amanah Nurish mengatakan bahwa kebangkitan Taliban di Afghanistan dapat memengaruhi mantan terorisme yang telah menjalani rehabilitasi untuk kembali menjadi simpatisan.

"Dari kalangan mereka yang berhasil disengagement (terlepas dari pengaruh teroris, red.), bisa kembali menjadi simpatisan," kata Amanah Nurish dalam diskusi publik dalam jaringan bertajuk "Al Jamaah Al Islamiyah Dahulu, Kini, dan Di Masa Mendatang" yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Kajian Terorisme SKSG UI Official, Selasa.

Apalagi, ketika mereka telah berhasil terlepas dari pengaruh teroris, masyarakat di sekitar mereka, termasuk aparat negara yang mengawasi gerak-gerik mereka, selalu menganggap mereka salah dan mencurigai tindakan mereka. "Mereka selalu dianggap (sebagai, red.) ancaman," ujar Amanah.

Anggapan tersebut membatasi gerak-gerik mereka, sehingga para mantan pelaku teror tidak bisa sepenuhnya berlaku dengan bebas. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan, dan kebangkitan Taliban dapat menginspirasi mereka untuk kembali menjadi simpatisan.

Baca juga: Krisis kemanusiaan jadi fokus utama saat KTT G20 Afghanistan

Baca juga: Penjabat menlu Afghanistan inginkan hubungan yang baik dengan dunia


Selain itu, Amanah juga berpandangan bahwa kekuasaan Taliban dapat menjadi inspirasi jihad, termasuk pada kaum perempuan yang ditinggal oleh suaminya setelah penangkapan oleh aparat penegak hukum.

"Justru dengan penangkapan-penangkapan suami mereka, Taliban dapat membangkitkan kembali rasa inspirasi jihad (pada perempuan, red.)," ucap dia.

Kekuasaan Taliban juga menciptakan dinamika yang memungkinkan bangkitnya pelaku teror baru dengan model gerakan yang belum pernah ada.

Oleh karena itu, untuk merespon kekuasaan Taliban yang menjadi inspirasi Jamaah Islamiyah, Amanah memandang Indonesia perlu menyikapi fenomena ini dengan hard approach, yaitu dari sisi penegakan hukum, seperti penangkapan, pengamanan, dan pengendalian.

"Namun, di sisi lain, (negara, red.) perlu menggunakan soft approach. Di sinilah peran BNPT, Kementerian Agama, dan berbagai kementerian lainnya," ujar Amanah.

Indonesia, menurut Amanah, perlu melakukan pembangunan manusia, penyetaraan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan (terutama di wilayah-wilayah terpencil), melakukan pendekatan gender, dan yang paling penting adalah pendekatan budaya dan agama.

"Kita tidak bisa melakukan analisis kebijakan berbasis hukum tanpa mengedepankan lima aspek ini," katanya.