Wamenlu: Indonesia terdepan dalam kehutanan berkelanjutan
11 Oktober 2021 18:08 WIB
Tangkapan layar Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar dalam acara "Ambassadors Roundtable: Raising Ambitions for a Climate-Secure Future" yang digelar Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI), Jakarta, Senin (11/10/2021). (ANTARA/Aria Cindyara)
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengatakan upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam membangun ketahanan iklim dan menyusun target penyerapan bersih karbon (net carbon sink) di sektor kehutanan dan penggunaan lahan menempatkan Indonesia di posisi depan dalam pengelolaan kehutanan berkelanjutan global.
Pernyataan tersebut dikatakan Wamenlu saat berbicara di acara Ambassadors Roundtable: Raising Ambitions for a Climate-Secure Future yang digelar oleh Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI) dari Jakarta, Senin.Mahendra menjelaskan bahwa Indonesia telah berada di jalur menuju pencapaian target untuk mengurangi emisi karbon sebanyak 29 persen pada tahun 2030.
Bahkan, menurut dia, angka yang dicapai mungkin dapat mencapai 41 persen dengan dukungan internasional, tambahnya.
“(Angka) 41 persen pengurangan karbon ini sama dengan mengurangi satu giga ton karbon dioksida dari atmosfer, artinya lima kali lebih besar dari target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 200 juta ton atau 50 persen pada 2030,” jelasnya.
Selain itu, dia mengatakan Indonesia telah mengajukan strategi jangka panjang untuk target rendah karbon dan ketahanan iklim pada 2050, yang mencakup target net sink karbon untuk sektor kehutanan dan penggunaan lahan pada 2030.
Net carbon sink merujuk pada kemampuan hutan atau lahan dalam menyerap karbon dioksida dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang dikeluarkan.
Baca juga: KLHK: Multiusaha kehutanan jadi kunci capai target nol emisi GKR
“Ini merupakan yang pertama di dunia, dan dalam konteks ini, Indonesia mengambil peran sebagai pemimpin di kancah global dalam pengelolaan hutan berkelanjutan, di mana perhutanan akan berkontribusi besar dalam penyimpanan karbon bersih,” paparnya.
“Ini artinya kita akan mengubah sektor yang sebelumnya berkontribusi terhadap 60 persen dari emisi kita menjadi bagian dari solusi.”
Wamenlu berkaca pada masa lalu Indonesia ketika deforestasi, kebakaran hutan, dan bencana lainnya terjadi. Namun, berbagai kebijakan, upaya penegakan hukum, dan pemantauan yang ketat serta pemberdayaan masyarakat telah berkontribusi untuk mengubah perhutanan dan pengelolaan lahan Indonesia.
“Deforestasi Indonesia telah mencapai titik terendah dalam 20 tahun terakhir dan kebakaran hutan telah berkurang sebesar 82 persen di 2020, saat di beberapa bagian di benua Amerika, Eropa, dan Australia mengalami peningkatan tertinggi,” katanya.
Kunci dari kesuksesan Indonesia, lanjutnya, adalah dengan menempatkan aksi iklim di dalam kerangka kerja pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, diperlukan pula aksi konkret untuk memastikan konservasi alam dan dan pertumbuhan berjalan saling mendukung dan tidak eksklusif.
Baca juga: Sektor kehutanan miliki porsi terbesar penurunan emisi gas rumah kaca
Baca juga: KLHK: Dokumen "net sink" FoLU bawa Indonesia capai NDC 2030
Pernyataan tersebut dikatakan Wamenlu saat berbicara di acara Ambassadors Roundtable: Raising Ambitions for a Climate-Secure Future yang digelar oleh Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI) dari Jakarta, Senin.Mahendra menjelaskan bahwa Indonesia telah berada di jalur menuju pencapaian target untuk mengurangi emisi karbon sebanyak 29 persen pada tahun 2030.
Bahkan, menurut dia, angka yang dicapai mungkin dapat mencapai 41 persen dengan dukungan internasional, tambahnya.
“(Angka) 41 persen pengurangan karbon ini sama dengan mengurangi satu giga ton karbon dioksida dari atmosfer, artinya lima kali lebih besar dari target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 200 juta ton atau 50 persen pada 2030,” jelasnya.
Selain itu, dia mengatakan Indonesia telah mengajukan strategi jangka panjang untuk target rendah karbon dan ketahanan iklim pada 2050, yang mencakup target net sink karbon untuk sektor kehutanan dan penggunaan lahan pada 2030.
Net carbon sink merujuk pada kemampuan hutan atau lahan dalam menyerap karbon dioksida dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang dikeluarkan.
Baca juga: KLHK: Multiusaha kehutanan jadi kunci capai target nol emisi GKR
“Ini merupakan yang pertama di dunia, dan dalam konteks ini, Indonesia mengambil peran sebagai pemimpin di kancah global dalam pengelolaan hutan berkelanjutan, di mana perhutanan akan berkontribusi besar dalam penyimpanan karbon bersih,” paparnya.
“Ini artinya kita akan mengubah sektor yang sebelumnya berkontribusi terhadap 60 persen dari emisi kita menjadi bagian dari solusi.”
Wamenlu berkaca pada masa lalu Indonesia ketika deforestasi, kebakaran hutan, dan bencana lainnya terjadi. Namun, berbagai kebijakan, upaya penegakan hukum, dan pemantauan yang ketat serta pemberdayaan masyarakat telah berkontribusi untuk mengubah perhutanan dan pengelolaan lahan Indonesia.
“Deforestasi Indonesia telah mencapai titik terendah dalam 20 tahun terakhir dan kebakaran hutan telah berkurang sebesar 82 persen di 2020, saat di beberapa bagian di benua Amerika, Eropa, dan Australia mengalami peningkatan tertinggi,” katanya.
Kunci dari kesuksesan Indonesia, lanjutnya, adalah dengan menempatkan aksi iklim di dalam kerangka kerja pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, diperlukan pula aksi konkret untuk memastikan konservasi alam dan dan pertumbuhan berjalan saling mendukung dan tidak eksklusif.
Baca juga: Sektor kehutanan miliki porsi terbesar penurunan emisi gas rumah kaca
Baca juga: KLHK: Dokumen "net sink" FoLU bawa Indonesia capai NDC 2030
Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2021
Tags: