Pensiunan dokter gugat aturan Pedoman Ejaan Bahasa ke MK
11 Oktober 2021 17:11 WIB
Hasil tangkapan layar Sidang Perkara Nomor 52/PUU-XIX/2021 beragendakan pengujiaan pendahuluan yang disiarkan langsung dari Jakarta di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Senin (11/10/2021) (ANTARA/Tri Meilani Ameliya)
Jakarta (ANTARA) - Pensiunan Dinas Kesehatan dr. Ludjiono menguji Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia kepada Mahkamah Konstitusi agar abjad atau aksara yang digunakan dalam aturan berbahasa diberi nama.
“Nama itu bisa diadopsi dari nama aksara di Indonesia, seperti aksara Kawi, Jawa, Bali, dan bisa juga diadopsi dari aksara-aksara yang ada di Indonesia,” kata Ludjiono dalam Sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 52/PUU-XIX/2021 yang disiarkan langsung di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI Jakarta , Senin.
Ludjiono juga menyarankan nama aksara tersebut bisa diambil dari namanya selaku pencetus keberadaannya di dalam Permendikbud tersebut.
Permohonan itu didasarkan pada pendapat Dosen Sastra Indonesia UI Felicia Nuradi Utorodewo yang menyatakan bahwa bahasa terdiri dari bahasa lisan dan bahasa tulis.
Baca juga: Hampir satu abad, Bahasa Indonesia belum berdaulat di negeri sendiri
Sementara dalam Pasal 36 UUD 1945 berbunyi: "Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia." Dari sana, menurut Felicia, bahasa tulis Indonesia ialah bahasa lisan Indonesia yang dituliskan. Untuk penulisannya, dibutuhkan sarana, yaitu aksara.
Namun, di dalam Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang mengatur pemakaian huruf, penulisan kata, pemakaian tanda baca, dan penulisan unsur serapan belum disertakan pemanfaatan aksara yang diberi nama secara khusus. Dengan begitu, Ludjiono memohon ditambahkan aksara Indonesia atau aksara Ludjiono ke dalamnya.
Dia juga memohon bila aksara itu dimunculkan, pemerintah memberikan sebulan gaji pokok, tunjangan, dan fasilitas sebagaimana yang diterima satu anggota staf ahli Kemdikbud, satu hari atau satu minggu setelah keputusan MK diajukan.
Menanggapi permohonan yang diajukan pensiunan dokter ini, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengatakan pengujian materi dan formil Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015 bukan kewenangan MK.
Baca juga: PHRI: Penerapan bahasa Indonesia di industri perhotelan butuh waktu
Anggota Majelis Panel MK Manaham MP Sitompul mengatakan kewenangan MK adalah menguji undang-undang atau peraturan perundang-undangan terhadap UUD 1945, bukan peraturan menteri.
Senada dengan itu, Anggota Majelis MK Panel Wahiduddin Adams menjelaskan kewenangan MK terbatas pada peraturan dalam hierarki perundang-undangan yang tertinggi, yaitu UUD atau UU, sedangkan peraturan menteri merupakan aturan di bawah UU.
“Kalau peraturan yang Bapak ajukan ini jauh di bawah Undang-Undang. Kalau yang di bawah UU itu kewenangan Mahkamah Agung,” tambah Hakim Wahiduddin Adams.
Dari sidang pengujian materi dan formil Permendikbud itu, Ketua Panel MK Daniel Yusmic Pancastaki Foekh menyimpulkan bahwa Ludjiono berkesempatan memperbaiki atau menarik permohonan.
Baca juga: Badan Bahasa lakukan penyempurnaan ejaan Bahasa Indonesia
“Nama itu bisa diadopsi dari nama aksara di Indonesia, seperti aksara Kawi, Jawa, Bali, dan bisa juga diadopsi dari aksara-aksara yang ada di Indonesia,” kata Ludjiono dalam Sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 52/PUU-XIX/2021 yang disiarkan langsung di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI Jakarta , Senin.
Ludjiono juga menyarankan nama aksara tersebut bisa diambil dari namanya selaku pencetus keberadaannya di dalam Permendikbud tersebut.
Permohonan itu didasarkan pada pendapat Dosen Sastra Indonesia UI Felicia Nuradi Utorodewo yang menyatakan bahwa bahasa terdiri dari bahasa lisan dan bahasa tulis.
Baca juga: Hampir satu abad, Bahasa Indonesia belum berdaulat di negeri sendiri
Sementara dalam Pasal 36 UUD 1945 berbunyi: "Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia." Dari sana, menurut Felicia, bahasa tulis Indonesia ialah bahasa lisan Indonesia yang dituliskan. Untuk penulisannya, dibutuhkan sarana, yaitu aksara.
Namun, di dalam Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang mengatur pemakaian huruf, penulisan kata, pemakaian tanda baca, dan penulisan unsur serapan belum disertakan pemanfaatan aksara yang diberi nama secara khusus. Dengan begitu, Ludjiono memohon ditambahkan aksara Indonesia atau aksara Ludjiono ke dalamnya.
Dia juga memohon bila aksara itu dimunculkan, pemerintah memberikan sebulan gaji pokok, tunjangan, dan fasilitas sebagaimana yang diterima satu anggota staf ahli Kemdikbud, satu hari atau satu minggu setelah keputusan MK diajukan.
Menanggapi permohonan yang diajukan pensiunan dokter ini, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengatakan pengujian materi dan formil Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015 bukan kewenangan MK.
Baca juga: PHRI: Penerapan bahasa Indonesia di industri perhotelan butuh waktu
Anggota Majelis Panel MK Manaham MP Sitompul mengatakan kewenangan MK adalah menguji undang-undang atau peraturan perundang-undangan terhadap UUD 1945, bukan peraturan menteri.
Senada dengan itu, Anggota Majelis MK Panel Wahiduddin Adams menjelaskan kewenangan MK terbatas pada peraturan dalam hierarki perundang-undangan yang tertinggi, yaitu UUD atau UU, sedangkan peraturan menteri merupakan aturan di bawah UU.
“Kalau peraturan yang Bapak ajukan ini jauh di bawah Undang-Undang. Kalau yang di bawah UU itu kewenangan Mahkamah Agung,” tambah Hakim Wahiduddin Adams.
Dari sidang pengujian materi dan formil Permendikbud itu, Ketua Panel MK Daniel Yusmic Pancastaki Foekh menyimpulkan bahwa Ludjiono berkesempatan memperbaiki atau menarik permohonan.
Baca juga: Badan Bahasa lakukan penyempurnaan ejaan Bahasa Indonesia
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021
Tags: