Jakarta (ANTARA News) - Jutaan orang di Timur Tengah menginginkan kebebasan seperti pernah dituntut Eropa Timur. Duapuluh tahun lalu, Barat adalah role model namun Barat pula yang mengkhianati nilai-nilainya sendiri.

Dengan berlaku seperti ini, Barat malah memperkuat musuh mereka sendiri, yaitu islamisme militan.

"60 tahun lamanya negara-negara Barat memaklumi dan mengakomodasi kesenjangan kebebasan di Timur Tengah tapi itu tak membuat kita aman karena dalam jangka panjang, stabilitas tidak bisa dibeli dengan menukarkannya dengan kebebasan."

Yang mengatakan itu adalah George Bush muda.

Pada satu sisi, Barat tidaklah kekurangan kata indah atau penilaian cermat. Apa yang hilang darinya adalah kebijakan yang benar, dan lebih buruk lagi adalah keyakinan terhadap nilai-nilanya sendiri.

Ada banyak tempat di dunia ini di mana standard ganda moral Barat semencuat seperti dirasakan di Timur Tengah.

Dari telinga 1,5 juta orang Palestina yang memadati Jalur Gaza, omongan Barat soal kebebasan dan demokrasi kedengaran seperti bualan Leonid Brezhnev soal kebebasan dan sosialisme di telinga rakyat Polandia yang diduduki Soviet.

Bahkan, sekutu-sekutu terdekat Barat adalah mereka yang memenjarakan bangsa Palestina.

Tiada satu pun negara yang menerima bantuan luar negeri Amerika Serikat sebanyak diterima Israel dan Mesir.

Kebanyakan dari bantuan luar negeri itu dimanfaatkan militer, termasuk industri pertahanan AS yang juga amat menikmatinya.

Jet tempur F16 milik Angkatan Udara Mesir yang kini menggelegar di atas kepala para demonstran di Lapangan Tahrir, Kairo, asalnya dari AS, seperti halnya tank-tank M60 yang dipakai Israel untuk berpatroli di Gaza.

Tak peduli bantuan itu dipakai untuk membantu keamanan Israel, mengamankan jalur pelayaran bebas di Terusan Suez atau menjamin terkurungnya Islam radikal, yang pasti rezim Mubarak telah memberikan layanan berharga kepada Barat selama bertahun-tahun.

Dan semua itu tentunya adalah kepentingan-kepentingan yang sah.

Masalahnya, Barat dan Israel telah menggunakan cara-cara tidak sah saat mendapatkan kepentingan-kepentingan itu.

Mendukung sebuah rezim yang berkuasa selama 30 tahun di bawah undang-undang darurat, menipu sebuah pemilu tanpa tedeng aling-aling, dan menggantungkan kekuasaannya kepada polisi yang terkenal suka menyiksa dan menganiaya, adalah juga tidak sah.

Bush berkata, "Dalam jangka panjang, stabilitas tak bisa dibeli dengan menggadaikan kebebasan."

Dan era perdamaian yang bisa dibeli memang telah berakhir.

Dari perkembangan-perkembangan yang terjadi di Tunisia, Mesir, Yordania dan Yaman, kita menyaksikan kebangkitan satu era baru di dunia Arab.

Kini dunia Arab mencampakkan cengkeraman otokratisme yang didukung Barat, seperti halnya Eropa Timur melepaskan diri dari cengkeraman Soviet 20 tahun lalu.

Kali ini, Barat tak berada di sisi kebebasan, justru mereka menjadi sekutu para penindas.

Bahkan setahun lalu Menteri Luar Negeri Jerman memuji kekuasaan yang langgeng rezim Mubarak dan menyebutnya "jangkar stabilitas kawasan."

Barat mesti mengakhiri luka dari kredibilitas yang telah hancur ini, kendati tak akan bisa dilakukan sekarang.

Angin perubahan kadang mewujud menjadi badai, tapi sepertinya ini tak cukup kuat mendorong pusat kekuasaan di Washington untuk menyampaikan kalimat pantas guna menggambarkan situasi yang tengah terjadi.

Menteri Luar Negeri AS malah mengenalkan "transisi yang tertib". Ironisnya Mubarak yang menjadi pusat perhatian dunia diam seribu bahasa menanggapinya.

Presiden AS Barack Obama sendiri tak berusaha banyak mendorong kaum muda di wilayah Magribi (Afrika Utara) yang disandera sejarah dan jejaring kepentingan imperialis Barat.

Beberapa mingggu lalu, kaum muda di Jalur Gaza menuliskan sebuah pesan amat pedas mengenai kebijakan Barat di Timur Tengah, baik yang disusun Washington, Paris, London maupun Berlin.

"Kami ingin merdeka. Kami ingin bisa hidup normal. Kami ingin damai. Apakah kami meminta terlalu banyak?"

Bahkan kaum muda Palestina tak berharap Barat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu karena Barat memang sudah tak lagi bertanggungjawab pada nilai-nilanya sendiri.

Sekutu terbesar kelompok militan Islam itu adalah hipokrasi Barat.

Barat mencampakkan nilai-nilai mereka sendiri di Timur Tengah dengan memberi otokrasi sebuah preseden demokrasi.

Kadangkala orang bisa amat dipengaruhi oleh hal yang amat diperjuangkannya. Untuk itu, Barat memilih otokrasi rezim-rezim Arab, karena inilah benteng menghadapi radikalisme Islam.

Tapi konsekuensi dari kekeliruan Barat ini begitu nyata. Demokrasi kini malah menjadi sekutu Islam. Hamas yang menang dalam pemilu bebas di Jalur Gaza pada 2006 adalah buktinya. (*)

Disadur dari "Will Democracy Become Islam's Best Friend?" dalam Mingguan Jerman, der Spiegel