Prospek bank digital dinilai jadi daya tarik bagi investor asing
11 Oktober 2021 07:06 WIB
Konsumen memindai pembayaran menggunakan QRIS melalui layar ponsel di Jakarta, Senin (30/8/2021). ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna/am.
Jakarta (ANTARA) - Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai prospek bank digital yang menjanjikan ke depan menjadi daya tarik bagi investor asing untuk masuk ke dalam lini bisnis tersebut.
"Salah satu yang dilihat investor adalah prospek perkembangan perbankan digital di Indonesia sangat menjanjikan. Dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, bank digital diperkirakan membuat persaingan industri perbankan menjadi lebih efisien, jumlah sektor usaha yang dibiayai pinjaman meningkat, serta mampu menciptakan ekosistem digital yang semakin lengkap," ujar Bhima dalam keterangan di Jakarta, Senin.
Setelah Ribbit Capital mengumumkan investasi di Bank Jago, kini giliran Alibaba, melalui Akulaku Silvrr, berhasil meraih dukungan mayoritas pemegang saham untuk menjadi pengendali Bank Neo Commerce (BBYB).
Selain Ribbit dan Alibaba, investor kakap lain seperti Grab juga dikabarkan tengah mengincar bank kecil untuk dikonversi menjadi digital.
Minat investor asing dipicu setidaknya tiga hal. Pertama, besarnya populasi masyarakat Indonesia yang belum memiliki rekening bank (unbanked population). Jumlahnya mencapai 52 persen atau sekitar 95 juta orang.
Kedua, lebih dari 47 juta penduduk dewasa tidak memiliki akses memadai pada kredit, investasi dan asuransi. Ketiga, penetrasi ponsel pintar di Indonesia mencapai hingga 70-80 persen. Fakta tersebut mengonfirmasi masyarakat Indonesia secara infrastruktur sangat siap untuk perbankan digital.
Faktor pendorong lainnya adalah Peraturan OJK (POJK) Bank Umum yang memberikan kepastian hukum bagi investor untuk menanamkan modal di bank digital. Sebagian investor memilih jalan akuisisi bank kecil untuk dikonversi menjadi bank digital, seperti Sea Limited (induk Shopee) yang mengubah Bank Kesejahteraan menjadi SeaBank dan Alibaba di BBYB.
Belakangan, Grab juga ditengarai akan menempuh cara serupa. Sebagian lainnya menempuh opsi penyertaan modal di bank digital eksisting yang dianggap memiliki prospek menjanjikan, seperti yang dilakukan Gojek, GIC Private Limited dan Ribbit Capital di Bank Jago.
Kendati demikian, lanjut Bhima, faktor demografi menurut Bhima bukan satu-satu nya yang mampu mendorong masyarakat beralih menggunakan bank digital.
"Tidak hanya generasi milenial dan Z yang tertarik menjadi nasabah bank digital, generasi yang lebih senior pun melihat bank digital sebagai sebuah kebutuhan karena layanan cukup lengkap dari tabungan, pinjaman hingga layanan investasi dalam satu platform," kata Bhima.
Ke depan, bank digital yang mampu meningkatkan integrasi layanan dengan platform digital lain, serta mampu menjadi leader dalam inovasi teknologi, berpotensi menjadi market movers.
Bhima menambahkan integrasi layanan yang dimaksud misalnya nasabah cukup membuka tabungan bank digital di platform e-commerce dan sebaliknya nasabah juga bisa lakukan investasi reksadana saham di bank digital tanpa harus membuka akun baru di platform khusus investasi. Hal itu akan memberikan pengalaman bagi pengguna yang berbeda dari bank tradisional.
Ia pun menyarankan agar bank digital mampu mendorong kenaikan literasi keuangan digital, sekaligus penetrasi pinjaman ke sektor-sektor yang menciptakan lapangan kerja.
"Visi jangka panjang bank digital sudah sesuai dengan inti layanan perbankan yaitu menjadi lembaga intermediasi yang pada akhirnya meningkatkan budaya literasi tidak hanya soal tabungan tapi bagaimana memanfaatkan platform untuk pinjaman produktif, dan berdampak pada munculnya wirausaha-wirausaha baru yang menyerap tenaga kerja secara masif," ujar Bhima.
Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menjelaskan pada dasarnya bank punya peluang yang sama untuk memenangi persaingan. Karena saat ini semua bank telah mengembangkan layanan digitalnya, maka bank yang lambat beradaptasi tentunya akan tertinggal.
"Teknologi digital membawa bank berdiri di garis start yang sama. Jika dulu bank-bank besar yang memiliki banyak kantor cabang dan ATM menjadi pemenang, kini di era teknologi digital, bank memiliki garis start baru untuk berlomba jadi pemenang," ujar Piter.
Piter mencontohkan Bank jago sebagai bank pertama yang benar-benar sudah full digital, yang membuatnya unggul untuk memulai duluan dibandingkan kompetitor yang saat ini masih dalam fase persiapan.
"Jago punya punya kelebihan karena start di garis pertama. Tinggal bagaimana bank Jago bisa memanfaatkan start awal ini dengan mengembangkan sistem layanannya ke depan dan bisa menjadi pemenang," kata Piter.
Baca juga: OJK DKI dorong lembaga keuangan miliki keamanan siber terintegrasi
Baca juga: BRI Agro resmi mengubah nama menjadi Bank Raya
Baca juga: BI Bali: Transformasi digital kiat bertahan UMKM di tengah pandemi
"Salah satu yang dilihat investor adalah prospek perkembangan perbankan digital di Indonesia sangat menjanjikan. Dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, bank digital diperkirakan membuat persaingan industri perbankan menjadi lebih efisien, jumlah sektor usaha yang dibiayai pinjaman meningkat, serta mampu menciptakan ekosistem digital yang semakin lengkap," ujar Bhima dalam keterangan di Jakarta, Senin.
Setelah Ribbit Capital mengumumkan investasi di Bank Jago, kini giliran Alibaba, melalui Akulaku Silvrr, berhasil meraih dukungan mayoritas pemegang saham untuk menjadi pengendali Bank Neo Commerce (BBYB).
Selain Ribbit dan Alibaba, investor kakap lain seperti Grab juga dikabarkan tengah mengincar bank kecil untuk dikonversi menjadi digital.
Minat investor asing dipicu setidaknya tiga hal. Pertama, besarnya populasi masyarakat Indonesia yang belum memiliki rekening bank (unbanked population). Jumlahnya mencapai 52 persen atau sekitar 95 juta orang.
Kedua, lebih dari 47 juta penduduk dewasa tidak memiliki akses memadai pada kredit, investasi dan asuransi. Ketiga, penetrasi ponsel pintar di Indonesia mencapai hingga 70-80 persen. Fakta tersebut mengonfirmasi masyarakat Indonesia secara infrastruktur sangat siap untuk perbankan digital.
Faktor pendorong lainnya adalah Peraturan OJK (POJK) Bank Umum yang memberikan kepastian hukum bagi investor untuk menanamkan modal di bank digital. Sebagian investor memilih jalan akuisisi bank kecil untuk dikonversi menjadi bank digital, seperti Sea Limited (induk Shopee) yang mengubah Bank Kesejahteraan menjadi SeaBank dan Alibaba di BBYB.
Belakangan, Grab juga ditengarai akan menempuh cara serupa. Sebagian lainnya menempuh opsi penyertaan modal di bank digital eksisting yang dianggap memiliki prospek menjanjikan, seperti yang dilakukan Gojek, GIC Private Limited dan Ribbit Capital di Bank Jago.
Kendati demikian, lanjut Bhima, faktor demografi menurut Bhima bukan satu-satu nya yang mampu mendorong masyarakat beralih menggunakan bank digital.
"Tidak hanya generasi milenial dan Z yang tertarik menjadi nasabah bank digital, generasi yang lebih senior pun melihat bank digital sebagai sebuah kebutuhan karena layanan cukup lengkap dari tabungan, pinjaman hingga layanan investasi dalam satu platform," kata Bhima.
Ke depan, bank digital yang mampu meningkatkan integrasi layanan dengan platform digital lain, serta mampu menjadi leader dalam inovasi teknologi, berpotensi menjadi market movers.
Bhima menambahkan integrasi layanan yang dimaksud misalnya nasabah cukup membuka tabungan bank digital di platform e-commerce dan sebaliknya nasabah juga bisa lakukan investasi reksadana saham di bank digital tanpa harus membuka akun baru di platform khusus investasi. Hal itu akan memberikan pengalaman bagi pengguna yang berbeda dari bank tradisional.
Ia pun menyarankan agar bank digital mampu mendorong kenaikan literasi keuangan digital, sekaligus penetrasi pinjaman ke sektor-sektor yang menciptakan lapangan kerja.
"Visi jangka panjang bank digital sudah sesuai dengan inti layanan perbankan yaitu menjadi lembaga intermediasi yang pada akhirnya meningkatkan budaya literasi tidak hanya soal tabungan tapi bagaimana memanfaatkan platform untuk pinjaman produktif, dan berdampak pada munculnya wirausaha-wirausaha baru yang menyerap tenaga kerja secara masif," ujar Bhima.
Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menjelaskan pada dasarnya bank punya peluang yang sama untuk memenangi persaingan. Karena saat ini semua bank telah mengembangkan layanan digitalnya, maka bank yang lambat beradaptasi tentunya akan tertinggal.
"Teknologi digital membawa bank berdiri di garis start yang sama. Jika dulu bank-bank besar yang memiliki banyak kantor cabang dan ATM menjadi pemenang, kini di era teknologi digital, bank memiliki garis start baru untuk berlomba jadi pemenang," ujar Piter.
Piter mencontohkan Bank jago sebagai bank pertama yang benar-benar sudah full digital, yang membuatnya unggul untuk memulai duluan dibandingkan kompetitor yang saat ini masih dalam fase persiapan.
"Jago punya punya kelebihan karena start di garis pertama. Tinggal bagaimana bank Jago bisa memanfaatkan start awal ini dengan mengembangkan sistem layanannya ke depan dan bisa menjadi pemenang," kata Piter.
Baca juga: OJK DKI dorong lembaga keuangan miliki keamanan siber terintegrasi
Baca juga: BRI Agro resmi mengubah nama menjadi Bank Raya
Baca juga: BI Bali: Transformasi digital kiat bertahan UMKM di tengah pandemi
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: