Kairo (ANTARA News) - Kalangan akademisi di Mesir sepakat bahwa kekuatan Presiden Husni Mubarak yang sedang dilanda prahara saat ini berada di tangan pemerintah Amerika Serikat (AS) pimpinan Presiden Barack Obama.

"Tak bisa dipungkiri, AS memiliki peranan penting dalam krisis politik di Mesir. Oleh karena itu bila AS meminta Mubarak mundur, ia akan mendengar," kata akademisi Mesir, Prof Dr Adly Rashad, dalam perbincangan dengan ANTARA di Kairo, Jumat.

Pakar kebudayaan dari Universitas Al-Azhar Kairo itu mendesak Washington untuk berpikir ulang mengenai dukungannya kepada rezim Mubarak.

Pernyataan senada diutarakan analis politik dari Universitas Kairo, Prof Dr Mohammed Ezzat.

"Bertahannya Mubarak di pucuk kekuasaan karena ia masih merasa didukung AS. Nah, Washinton hendaknya mendengar aspirasi masyarakat Mesir yang menuntut hengkangnya Mubarak," katanya.

Ia menilai, Washington terlalu berlebihan mempertahankan rezim Mubarak dengan alasan yang terkesan dibuat-buat seperti kekhawatiran berkuasanya Ikhwanul Muslimin.

"Unjuk rasa saat ini bukan semata didalangi oleh Ikhwanul Muslimin, tapi hampir semua komponen masyarakat," katanya.

Sebelumnya, Omar Sharif, bintang film kesohor Mesir juga mendesak AS dan Uni Eropa untuk membujuk Mubarak mundur.

"Selama 30 tahun sudah AS dan Uni Eropa mendukung rezim Mubarak, kini sudah saat meminta dia mundur," kata Omar kepada jaringan televisi Al Arabiya, Kamis.

Penuntutan Mubarak mundur semakin meluas di Mesir termasuk Asosiasi Dokter Mesir dan Perhimpunan Artis Mesir.

Prof Rashad menyambut baik inisiatif AS berunding dengan pemerintah Mesir mengenai pengalihan kekuasaan .

"Mubarak tampaknya sudah memberi lampu hijau untuk mengundurkan diri. AS hendaknya mengambil ini sebagai momentum untuk pengalihan kekuasaan," kata Prf Rashad, merujuk pada wawancara jaringan televisi AS ABC dengan Mubarak pada Kamis.

Dalam wawancara itu, Mubarak mengungkapkan bahwa ia siap mundur namun khawatir bakal terjadi kevakuman kekuasaan sehingga menimbulkan kekacauan.

Sementara itu, bentrokan antara pro dan anti-Mubarak masih sengit hingga Jumat (4/2) dini hari di Bundaran Tahrir, pusat kota Kairo.

Wartawan dihambat memasuki Tahrir, tempat dipusatkannya unjuk rasa tersebut.

Beberapa wartawan termasuk dari Israel dan Belgia ditangkap karena dianggap melanggar jam malam, yang diberlakukan mulai pukul 15.00 hingga pukul 08.00 waktu setempat sejak Jumat (28/1) pekan lalu.
(*)