Jayapura (ANTARA) - Hari itu adalah hari pertama Tevina Leberina Ayomi (23) bertugas sebagai penghubung (LO) khusus tamu wasit di arena dayung Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua 2021 di Teluk Youtefa, Jayapura, tetapi dia sudah kena siraman protes akibat konsumsi yang tak kunjung datang.

“Kapan konsumsinya datang? Ini sudah lewat jam makan siang,” ucap tamu protes kepada Tevina.

Perempuan itu cuma tersenyum, mendengarkan, lalu menjawab, “Sebentar ya, Pak. Sedikit lagi. Saya sudah telepon orang konsumsi, katanya sedang dalam perjalanan.”

“Iya tapi kapan? Jam berapa?” protes sang tamu lagi.

Merasa bersalah, Tevina bergegas ke ruang sekretariat wasit untuk menyampaikan langsung permintaan maaf atas keterlambatan tersebut.

“Saya merasa bersalah saja sih karena mungkin kendalanya di konsumsi tapi saya merasa kerjaan saya kurang memuaskan,” ucap Tevina bercerita kepada Antara.

Tevina memang bukan orang penting atau pejabat pengambil keputusan
yang biasa mendapat sorotan lampu. Tevina hanya satu dari ribuan relawan yang bertugas di ajang PON Papua.

Namun, tangan-tangan kecil seperti Tevina lah yang justru menggerakkan PON Papua. Saat para pejabat sampai ke peraduan masing-masing, penonton berbondong-bondong kembali ke rumahnya masing-masing, ada Tevina dan rekan-rekan relawan lain yang masih harus menyelesaikan pekerjaannya di lapangan.

Mereka juga lah yang jadi garda terdepan dalam menghadapi dan melayani atlet, tamu, dan penonton di pesta olahraga nasional empat tahunan itu.

Para relawan memang dipersiapkan Panitia Besar PON untuk memberikan kemudahan bagi para delegasi, atlet, dan peserta lain dengan menyediakan informasi atau kebutuhan lain yang diperlukan. Ada pula yang dipersiapkan untuk memastikan kebersihan setiap arena.

Sedikitnya 25 ribu relawan dilibatkan dalam PON Papua. Ada yang bertugas sebagai petugas penghubung atau liaison officer, volunter, dan petugas lapangan atau workforce saat penyelenggaraan.

Para relawan sebelumnya harus memenuhi persyaratan melamar sebagai relawan PON XX, yaitu memiliki e-KTP, pas foto 3x4 cm, memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan sertifikat vaksin.

Mereka juga telah diberi materi pelatihan mencakup pengetahuan dasar terkait PON dan multicabang, pengetahuan kebudayaan Papua, komunikasi, penyelesaian masalah, dan keramahtamahan.

Sebanyak 6.000 relawan tersebar di Kota Jayapura, 6.600 orang di Kabupaten Jayapura, 2.000 orang di Kabupaten Merauke dan 3.900 orang di Kabupaten Mimika.

Dengan status relawan, mereka tidak dijanjikan untuk dibayar. Namun Koordinator Relawan Kota Jayapura, Abdul, mengatakan bahwa para relawan itu akan diberi uang pengganti trasportasi sebesar Rp300 ribu per hari disesuaikan dengan jumlah hari mereka bertugas di setiap arena pertandingan PON.

Sementara untuk upah relawan, Abdul belum dapat memastikan.

“Yang pasti kami menyebutnya uang pengganti transportasi, bukan upah,” kata Abdul saat dikonfirmasi Antara.

Akan tetapi, bagi Tevina, berapa pun jumlah nominalnya tak jadi masalah karena yang terpenting adalah keikutsertaan dia bisa ikut berperan menyukseskan PON Papua.

Kapan lagi dia bisa berpartisipasi langsung dalam gelaran pesta olahraga terbesar di Indonesia. Belum tentu dalam satu, dua, atau lima tahun mendatang ada PON lagi di kampung halamannya.

Tiap pagi selama jadi relawan, Tevina berangkat pagi agar bisa tiba di arena pada pukul 07.00. Beruntung dia tinggal di kawasan Hamadi yang dekat dengan arena dayung. Dia hanya perlu mengeluarkan ongkos bensin ke lokasi karena makan pagi, siang, dan sore sudah disediakan.

“Saya pakai kendaraan sendiri cuma isi bensin Rp15 ribu dan itu sudah penuh. 4-5 hari baru isi bensin lagi,” ucapnya.

Setiap hari menjadi relawan diakui Tevina cukup melelahkan, tapi rasa lelah itu menurutnya setimpal dengan pengalaman yang dia dapatkan saat berhadapan dengan acara sebesar PON.

Selain menimba pengalaman sebagai relawan, lebih jauh dari itu, PON menurutnya adalah momen untuk menunjukkan bahwa Papua mampu menggelar ajang besar sekaligus menepis anggapan soal Papua yang tertinggal.

“Dengan adanya event seperti ini menunjukkan bahwa, oh Papua ternyata tidak seperti yang dikatakan orang-orang, tapi Papua juga bisa lebih maju, bersaing di event-event besar seperti ini serta tidak dianggap remeh,” katanya.


Seperti di luar negeri

Cerita nyaris serupa disampaikan oleh Sharon Femida Ansanay. Ia yang mendapat tugas untuk membersihkan arena dayung setiap pagi dan sore juga pernah kena damprat protes.

Mahasiswi Universitas Cenderawasih semester lima itu bercerita bahwa pekerjaannya membersihkan arena tribun penonton sebetulnya sudah selesai sejak pukul 07.00 pagi. Namun ia tiba-tiba mendapat protes, “kenapa ini belum bersih?”

Sharon cuma membalas dengan senyuman sebelum kembali bekerja membersihkan lokasi yang sudah ia bersihkan sejak pagi.

“Daripada dapat marah. Kami punya koordinator kasihan dia kalau harus marah kita lagi padahal saya sudah datang pagi, sudah sapu-sapu, tapi tidak apa-apa ikhlas saja kerjakan,” tutur Sharon.


Relawan Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua Tevina Leberina Ayomi (kiri) dan Sharon Femida Ansanay berpose di arena dayung di Teluk Youtefa, Jayapura, Senin (4/10/2021). ANTARA/Shofi Ayudiana/am.

Meskipun protes harus menjadi makanan sehari-hari, Sharon mengaku tetap senang bisa jadi bagian dari pelaksanaan PON 2021, yang untuk pertama kalinya digelar di tanah Papua.

Saat bercerita kepada Antara, sorot matanya penuh decak kagum ketika mengingat kembali bahwa tanah kampung kelahirannya mampu menyajikan upacara pembukaan PON yang menurutnya sangat menakjubkan.

Dia seakan dibawa ke dalam negeri dongeng yang tak pernah ia alami sebelumnya. Dia bisa menyaksikan sejumlah penyanyi asli Papua dan ibu kota mengiringi ratusan penari di atas panggung Stadion Lukas Enembe, serta berbagai sajian kreatif sebelum upacara ditutup secara paripurna lewat semarak pesta kembang api yang menghiasi sebagian langit Jayapura.

“Seperti Tong (kami) ada di luar negeri begitu,” ucap Sharon.

Meski sebetulnya, Sharon hanya mampu menyaksikan malam upacara pembukaan malam itu melalui layar kaca atau gawainya bersama rekan relawan lainnya yang harus bertugas di arena dayung.

“Bangga saya jadi orang Papua dan eventnya bisa digelar di sini," tuturnya.

Sebagai relawan, Sharon tak merasakan beban berarti meski dia juga pernah kena siraman protes.

Akan tetapi, bagi perempuan berusia 20 tahun itu, pekerjaan mereka tetap menyenangkan apalagi dia juga dapat kesempatan langka melihat secara langsung para pejabat, menteri, artis, dan atlet dari berbagai provinsi.

Sebagai warga asli Papua, harapan Sharon dan relawan lainnya yang bertugas di PON cuma satu; arena pertandingan tetap terawat sehingga Papua bisa kembali menjadi tuan rumah ajang olahraga lainnya di masa mendatang.

Sharon dan Tevani tak keberatan jika harus kena damprat lagi, kena protes lagi, atau kena marah lagi meski seringkali permasalahannya bukan pada pelayanan yang dibebankan kepada relawan, melainkan pada manajemen penyelenggara.

Tak apa. Melelahkan memang, tapi Sharon, Tevani dan rekan relawan lainnya tetap bertekad untuk bekerja sekuat dan semampu mungkin hanya demi menyukseskan PON. Sebab bagaimana pun tangan-tangan kecil mereka lah yang menjadi penggerak suksesnya PON di Papua.