Bengkulu (ANTARA News) - Puluhan Gajah Sumatra (Elephas maximus) yang hidup di Hutan Produksi Terbatas fungsi khusus Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat Kabupaten Bengkulu Utara, makin terisolasi akibat perambahan liar.

"Gajah yang hidup di PLG Seblat makin terisolasi karena hutan koridor atau Hutan Produksi Lebong Kandis makin marak perambahan liar, sehingga jalur menuju Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) tertutup," kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Amon Zamora di Bengkulu, Selasa.

Ia menjelaskan, di sebelah utara PLG juga terjadi perambahan dan perkebunan milik PT Alno, di sebelah Barat ada perkebunan PT Agricinal, sedangkan di sebelah Selatan terdapat permukiman Desa Sukamerindu.

Kondisi ini mengakibatkan gajah yang hidup di PLG Seblat terisolasi dan satu-satunya harapan adalah menyatukan kawasan Hutan Produksi (HP) Lebong Kandis menjadi bagian dari PLG Seblat dan meningkatkan statusnya menjadi Taman Wisata Alam (TWA) Suaka Margasatwa.

Ia mengatakan sudah mengusulkan perluasan kawasan PLG Seblat ke Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara sebelum diteruskan ke Kementerian Kehutanan.

Luas kawasan saat ini 6.800 hektare dan diperluas menjadi lebih dari 15 ribu ha dimana HP Lebong Kandis masuk dalam perluasan tersebut sehingga jalur jelajah satwa dilindungi itu lebih luas.

"Idealnya memang satu ekor gajah membutuhkan areal 400 hektare, jadi kalau jumlahnya 80 ekor minimal 32 ribu hektare," tambahnya.

Habitat yang semakin terdesak akibat perambahan liar dan perluasan perkebunan besar swasta mengakibatkan tingkat konflik antara manusia dan gajah terus meningkat. Peningkatan data konflik yang paling nyata terjadi pada tahun 2007 hingga 2009 dimana terjadi 21 konflik per tahun.

"Hitungannya tidak setiap terjadi konflik lalu dihitung karena konflik yang terjadi setiap hari dalam dua pekan dihitung menjadi satu konflik," katanya.

Kerugian yang diakibatkan konflik tersebut diperkirakan mencapai Rp500 juta per tahun dengan asumsi kerugian pondok yang dirubuhkan gajah Rp5 juta dan tanaman sawit Rp25 ribu per tanaman.
(RNI/B010)