Hakim Agung: Hadapi kasus mafia tanah harus ambil sikap afirmatif
7 Oktober 2021 16:48 WIB
Hasil tangkapan layar Hakim Agung Pri Pambudi Teguh seminar nasional “Peran Komisi Yudisial dalam Silang Sengkarut Kasus Pertanahan di Pengadilan” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Komisi Yudisial, Kamis. ANTARA/Tri Meilani Ameliya.
Jakarta (ANTARA) - Hakim Agung Pri Pambudi Teguh mengatakan dalam menghadapi kasus mafia tanah, hakim harus mengambil sikap afirmatif untuk i memberi peluang kesetaraan hak seluas-luasnya untuk mencapai keadilan.
“Terutama, terkait kasus pertanahan yang benar-benar menjadi sengketa di peradilan. Pada umumnya, dalam praktik, berhadapan di antara yang kuat dan lemah,” kata Pri Pambudi Teguh saat berbicara sebagai pemateri dalam seminar nasional “Peran Komisi Yudisial dalam Silang Sengkarut Kasus Pertanahan di Pengadilan” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Komisi Yudisial, Kamis.
Pri Pambudi menekankan, secara umum, MA memang tidak memberikan regulasi tertentu terkait sengketa tanah, selain Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
“Itu pun Perma diterbitkan sebagai amanah dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan,” ucap Pambudi.
Baca juga: Mahfud MD minta KY lakukan pengawasan pada hakim sengketa tanah
Menurut dia, dari pengalaman MA, peraturan tersebutlah yang dipedomani sehingga akan mudah membaca keberadaan mafia tanah.
“Secara umum yang dipedomani oleh hakim adalah apa yang menjadi kaidah hukumnya, apa yang menjadi kasusnya, matching atau tidak kalau diterapkan.” tambah Pri Pambudi.
Salah satu contoh kasus yang dipaparkan oleh Hakim Agung ini adalah Perkara Nomor 3070 K/Pdt/2021 29 Oktober 2019. Di sana, tergugat I merupakan Perhimpunan Pendidikan dan Pengajaran Kristen Pertus Surabaya yang telah menjual tanah seluas 2464 m2 kepada Setyowati Soetanto.
Sejak 1948, tanah tersebut telah dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, yaitu gedung SDN Ketabang I dan menjadi Barang Milik Daerah Kota Surabaya Nomor 2348808 dan 2351955.
Baca juga: Mahfud MD: Mafia tanah jadi kendala eksekusi vonis pengadilan
Pambudi menjelaskan lebih lanjut, pada 2012, muncul Sertifikat Hak Guna Bangun (SHGB) Nomor 63 yang sebetulnya telah berakhir pada 19 Agustus di tahun yang sama.
“Itu (putusan akhir tentang pemilik sertifikat) bisa dipindahtangankan kepada tergugat I, Setyowati Soetanto. Begitu ketahuan ini pasti mafia, kita batalkan, menjadi aset milik Pemda,” jelas Pri Pambudi.
Pembatalan itu didasari oleh penemuan kejanggalan-kejanggalan sejak awal pembacaan berkas perkara. MA memang akan melihat posisi kasus sebelum sampai ke bukti-bukti. Dalam kasus sengketa tersebut, ditemukan kejanggalan karena secara tiba-tiba terbit sertifikat yang jelas menunjukkan keterlibatan mafia.
Harapan Pri Pambudi Teguh, putusan yang mengambil sikap afirmatif itu dapat menghasilkan keadilan kepada pihak yang berhak. Walaupun harusnya secara hukum pemilik sertifikat apalagi telah ada pembalikan nama secara sah merupakan pemenang perkara, penemuan kejanggalan dapat menjadi pertimbangan hukum.
Baca juga: KY sebut harus ada sinergi mitra penegak hukum terkait mafia tanah
“Terutama, terkait kasus pertanahan yang benar-benar menjadi sengketa di peradilan. Pada umumnya, dalam praktik, berhadapan di antara yang kuat dan lemah,” kata Pri Pambudi Teguh saat berbicara sebagai pemateri dalam seminar nasional “Peran Komisi Yudisial dalam Silang Sengkarut Kasus Pertanahan di Pengadilan” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Komisi Yudisial, Kamis.
Pri Pambudi menekankan, secara umum, MA memang tidak memberikan regulasi tertentu terkait sengketa tanah, selain Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
“Itu pun Perma diterbitkan sebagai amanah dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan,” ucap Pambudi.
Baca juga: Mahfud MD minta KY lakukan pengawasan pada hakim sengketa tanah
Menurut dia, dari pengalaman MA, peraturan tersebutlah yang dipedomani sehingga akan mudah membaca keberadaan mafia tanah.
“Secara umum yang dipedomani oleh hakim adalah apa yang menjadi kaidah hukumnya, apa yang menjadi kasusnya, matching atau tidak kalau diterapkan.” tambah Pri Pambudi.
Salah satu contoh kasus yang dipaparkan oleh Hakim Agung ini adalah Perkara Nomor 3070 K/Pdt/2021 29 Oktober 2019. Di sana, tergugat I merupakan Perhimpunan Pendidikan dan Pengajaran Kristen Pertus Surabaya yang telah menjual tanah seluas 2464 m2 kepada Setyowati Soetanto.
Sejak 1948, tanah tersebut telah dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, yaitu gedung SDN Ketabang I dan menjadi Barang Milik Daerah Kota Surabaya Nomor 2348808 dan 2351955.
Baca juga: Mahfud MD: Mafia tanah jadi kendala eksekusi vonis pengadilan
Pambudi menjelaskan lebih lanjut, pada 2012, muncul Sertifikat Hak Guna Bangun (SHGB) Nomor 63 yang sebetulnya telah berakhir pada 19 Agustus di tahun yang sama.
“Itu (putusan akhir tentang pemilik sertifikat) bisa dipindahtangankan kepada tergugat I, Setyowati Soetanto. Begitu ketahuan ini pasti mafia, kita batalkan, menjadi aset milik Pemda,” jelas Pri Pambudi.
Pembatalan itu didasari oleh penemuan kejanggalan-kejanggalan sejak awal pembacaan berkas perkara. MA memang akan melihat posisi kasus sebelum sampai ke bukti-bukti. Dalam kasus sengketa tersebut, ditemukan kejanggalan karena secara tiba-tiba terbit sertifikat yang jelas menunjukkan keterlibatan mafia.
Harapan Pri Pambudi Teguh, putusan yang mengambil sikap afirmatif itu dapat menghasilkan keadilan kepada pihak yang berhak. Walaupun harusnya secara hukum pemilik sertifikat apalagi telah ada pembalikan nama secara sah merupakan pemenang perkara, penemuan kejanggalan dapat menjadi pertimbangan hukum.
Baca juga: KY sebut harus ada sinergi mitra penegak hukum terkait mafia tanah
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021
Tags: