Jakarta (ANTARA News/Reuters) - Warga Mesir cenderung memuja militer karena tidak begitu bersinggungan dengan penindasan yang tiap hari dilakukan polisi dan intelijen, yang menurut bocoran kawat diplomatik AS jumlahnya meningkat drastis menjadi 1,4 juta personel sejak pemberontakan aktivis muslim pada 1990an.

Meski begitu geromobongan manusia yang membanjiri jalanan jelas tidak berhasrat tiga dekade kekuasaan otoriter Mubarak digantik oleh para perwira yang merupakan lingkaran terdekat Mubarak.

Mubarak bertemu dengan para panglima Minggu seperti ditayangkan televisi nasional yang adalah satu indikasi bahwa dia melihat militer sebagai satu-satunya harapan di tengah ambruknya pilar-pilar kekuasaannya yang lain.

Mesin politik Mubarak yang telah mengalami diskreditasi, Partai Demokratik Nasional, secara simbolis telah masuk ke kubangan api saat para demonstran menyerbu markas besarnya di Kairo, Jumat pekan lalu.

Elite bisnis yang selama ini dipandang sebagai kelompok yang paling diuntungkan oleh reformasi ekonomi liberal di Mesri, tak bisa menawarkan benteng apapun untuk menghadapi ledakan kemarahan rakyat yang disulut oleh ketidakmauan pemerintah mendengarkan keluhan politik, ekonomi dan sosial rakyat Mesir.

Militer dikenal misterius. Melaporkannya adalah tabu, kendati di tengah menjamurnya media di Mesir beberapa tahun terakhirt. Sedikit sekali diketahui tentang kepempilikan tanah, kepentingan ekonomi atau anggarannya yang besar.

"Pandangan bahwa militer tetap menjadi kekuatan politik dan ekonomi kunci adalah hal lumrah di sini," bunyi kawat diplomatik bertanggal Juli 20009 yang dibocorkan WikiLeaks.

"Kendati begitu, sejumlah pengamat mengatakan kepada kami bahwa militer Mesir kian berkurang pengaruhnya, terpecah, dan kepemimpinannya bertambah lemah dalam tahun-tahun belakangan," sambung kawat diplomatik darin Kedubes AS di Kairo itu.

Meskipun demikian, militer melihat dirinya kini adalah menjamin order transisi menuju tatanan politik baru yang belum dipastikan.

Dari banyak ketidakmenentuan krisis yang luar biasa itu adalah kemungkinan memutuskan rantai komanda diantara para jenderal di lingkaran terdalam Mubarak dengan sentimen-sentimen prajurit di lapangan.

"Ini adalah salah satu dari momen-momen di mana, seperti dalam kejatuhan komunisme di Eropa Timur, para perwira menangan dan prajurit memtuskan apakah mereka mau menembak demonstran atau tidak," kata Rosemary Hollis, pakar Timur Tengah dari City University, London.

Tentara berhasil memadamkan kerusuhan roti di Mesir pada 1977, sekaligus menghentikan amukan polisi karena soal gaji pada 1986, namun skala perlawanan yang terjadi selama pekan terakhir jauh melewati skala pengaruh dua gerakan terdahulu itu.

Hingga detik ini, spekulasi mengenai militer Mesir terpusat pada sikap mereka terhadap ambisi Mubarak yang kerap disangkal dalam mengalihkan kekuasannya kepada anaknya Gamal, seorang pebisnis dan politisi yang tak memiliki latar belakang militer.

Penunjukkan Suleiman sebagai wakil presiden dan manifesto perjuangan rakyat menentang Gamal membuat soal itu terkaburkan.

Pemilihan presiden akan diadakan pada September tahun ini, namun kebanyakan rakyat Mesir berharap sang incumbent tidak mengikuti pemilihan umum itu.

"Mubarak, Mubarak, pesawat telah menunggumu," pekik para demonstran. (*)

Yudha