Artikel
Jasmini, romantisme Monas dan emas PON Papua
Oleh Gilang Galiartha
7 Oktober 2021 10:15 WIB
Pesepak takraw putri Jawa Timur Siti Juwariyah (kanan) berteriak ke arah pesepak takraw putri DKI Jakarta Jasmini (kiri) saat final sepak takraw ganda putri beregu PON Papua di GOR Trikora Universitas Cenderawasih, Jayapura, Papua, Rabu (29/9/2021). DKI Jakarta berhasil menang atas Jawa Timur dalam pertandingan pertama dengan skor 2-1 (21-15, 15-21, dan 21-14). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj. (ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)
Jayapura (ANTARA) - "Anda selalu mendapatkan gagasan berlebihan tentang hal-hal yang tidak Anda ketahui," demikian tulis Albert Camus dalam novella "Orang Asing" yang pertama kali terbit pada 1942.
Hal yang sama berlaku bagi Jasmini, salah satu atlet yang membantu tim sepak takraw DKI Jakarta menuntaskan dahaga medali emas Pekan Olahraga Nasional (PON) untuk pertama kalinya di PON XX Papua.
Jasmini muda kala itu disodori pilihan untuk melanjutkan mengikuti pembinaan atlet di Makassar, Sulawesi Selatan, atau Ragunan, DKI Jakarta, dan Monumen Nasional (Monas) jadi penentu jalannya.
Bagi warga Jakarta dan sekitarnya, Monas adalah pemandangan biasa yang kerap dijadikan tujuan pelesir akhir pekan ataupun di waktu senggang biasa.
Namun bagi Jasmini, yang lahir dan tumbuh besar di Pulau Kayuadi, Kepulauan Selayar, Sulsel, Monas dalam gagasannya adalah sesuatu yang amat sangat menarik hingga nantinya mengukir prestasi membanggakan bahkan memecahkan sejarah untuk sepak takraw DKI.
Tamat bangku sekolah menengah pertama (SMP) pada 2007, Jasmini menyeberang dari Pulau Kayuadi ke pusat Kabupaten Kepulauan Selayar untuk melanjutkan pendidikan tingkat sekolah menengah atas (SMA).
Selama di pusat pemerintahan Kabupaten Kepualuan Selayar, ia menghabiskan banyak waktu untuk menempa kemampuannya di Sanggar PKK Kabupaten Kepulauan Selayar di bawah arahan pelatih pertamanya, Abdul Wahab.
Hasil latihan itu membuahkan gelar juara Pekan Olahraga Pelajar Daerah (POPDA) Sulsel di Makassar. Jasmini yang duduk di bangku kelas dua SMA, menjadi buruan pemandu bakat yang menawarinya untuk berlatih di Sulsel atau DKI.
Salah seorang kakak Jasmini yang menempuh pendidikan di sekolah pelayaran, sempat mengunjungi Jakarta selama tiga bulan dalam masa didiknya. Foto berlatar belakang Monas yang dipamerkan sang kakak menjadi pemicu bagi Jasmini memilih untuk merantau dan meniti karier sebagai atlet di Jakarta.
"Kakak saya bilang 'itu emas di atasnya'. Rasa penasaran itu yang mendasari saya memilih Jakarta," kata Jasmini saat ditemui di GOR Trikora, Kota Jayapura, Papua, Sabtu (2/10).
Setelah meyakinkan diri, membulatkan tekad dan meminta doa restu dari kedua orang tuanya, merantaulah Jasmini ke Jakarta sejak 2009, melanjutkan pendidikan di SMA Negeri Ragunan.
Jasmini mengaku bahkan rasa penasaran akan Monas menjadi satu-satunya alasan ia mengambil tawaran hijrah ke Jakarta, ketimbang melanjutkan pembinaan di Makassar.
"Pada saat itu enggak kepikiran soal persaingan keras di Makassar, tapi memang pilihan saya itu Alhamdulillah banget, karena memang di Makassar persaingan ketat, walaupun pelatih di sana juga sudah menawarkan tes masuk," tuturnya.
Pernyataan Jasmini datang bukan dari ketidakyakinan bahwa ia bakal kesulitan bersaing di Makassar, tetapi berdasar keyakinan bahwa Tuhan memang sudah menggariskannya untuk berkarier dan berprestasi membela DKI Jakarta.
Baca juga: Kemenpora harap olahraga tradisional dipertandingkan di PON
Halaman selanjutnya: Setiap perjalanan memiliki...
Tentang pilihan-pilihan
Setiap perjalanan memiliki ujian dan tantangannya sendiri, begitu juga dengan upaya Jasmini merintis karier sebagai atlet di Jakarta.
Belum sampai satu bulan ia menetap di ibu kota, Jasmini mendapatkan kabar kurang mengenakkan saat ibundanya meninggal dunia.
Kala itu, Jasmini tengah bersiap untuk pertama kalinya tampil membela DKI di ajang Pekan Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS) X/2009 di Yogyakarta serta menjelang keberangkatan ke Thailand untuk uji tanding.
"Di situ paling berat, cuma lemas, latihan susah," kata Jasmini.
Akhirnya ia memberanikan diri kepada pelatihnya di Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) DKI yang kini juga mendampinginya di tim sepak takraw DKI, Abdul Gani, untuk pulang ke Pulau Kayuadi.
Almarhum ibunda menjadi satu-satunya hal yang ada di dalam kepala Jasmini sepanjang perjalanan jauh dari Jakarta hingga Pulau Kayuadi yang menggunakan moda transportasi udara, darat dan laut.
Jakarta-Makassar ia duduk di atas pesawat, Makassar-Kepulauan Selayar ia mengendarai bus dan Kepulauan Selayar-Pulau Kayuadi tangan Jasmini tak henti-hentinya menyentuh air saat menaiki perahu kecil.
"Sampai di rumah mama sudah dimakamkan," kenang Jasmini.
Peristiwa itu tak ubahnya menjadi seremoni upacara kedewasaan bagi Jasmini remaja. Sebab dari momen itu, di Pulau Kayuadi, Jasmini mendapatkan petuah penting dari sang Tetta (sebutan ayah di Makassar).
"Walaupun kamu di sini, mama tidak mungkin hidup lagi. Kamu itu harus mengingat apa tujuan kamu ke Jakarta. Mau sukses kan? Itu yang harus dibuktikan, jangan sampai janji dan mimpi yang kamu kasit tahu ke mama kamu tidak terwujud," kata Jasmini mengulang petuah dari sang Tetta.
Peristiwa kepergian sang ibu juga boleh dibilang menjadi satu-satunya momen di mana Jasmini berat menjalani latihan, yang memang sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang atlet.
Petuah dari sang Tetta menjadi pegangan Jasmini selama menjalani kariernya, bahkan saat ia harus berkonsentrasi tampil di PON Papua bersama DKI.
"Kemarin pas persiapan PON ini orang tuaku kena stroke. Cuma ya namanya kita lagi berjuang, hanya bisa memperbanyak doa, membacakan surat Yasin," katanya.
Jasmini juga dihadapkan pada keputusan besar lainnya, saat ia harus memilih antara ujian Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) atau membela DKI di PON Papua.
Tanggal ujian yang ditetapkan yakni 14 September 2021, berbarengan dengan jadwal keberangkatan tim sepak takraw DKI ke Papua.
"PON cuma empat tahun sekali, CPNS mungkin bisa tiap tahun. Yang di depan mata itu enggak boleh disia-siakan, karena sudah terjun di situ selama 10 tahun lebih, bahkan dari kecil, kenapa demi PNS ditinggalin," kata Jasmini mengulangi masukan dari keluarga dan psikolog tim.
"Alhamdulillah juga enggal nyesel karena di sini berhasil dapat emas," ujarnya lagi.
Baca juga: Simbah peluh sepak takraw DKI menggumpal jadi emas PON perdana
Halaman selanjutnya: GOR Trikora, Jayapura...
Usaha takkan mengkhianati hasil
GOR Trikora, Jayapura, Rabu 29 September lalu, Jasmini dkk sukses memenangkan medali emas PON Papua untuk nomor sepak takraw double tim setelah mengalahkan Jawa Timur 2-1 di partai final. Itu merupakan kali pertama DKI meraih medali emas sepak takraw di tingkat PON.
Bagi Jasmini sendiri ini merupakan penuntasan dahaga pribadi, mengingat dalam keikutsertaan di dua PON sebelumnya ia selalu gagal menempati podium tertinggi.
Bahkan, Jasmini sudah lebih dulu berkalung emas di negeri orang ketimbang di PON. Pada 2019, Jasmini menjadi bagian dari tim sepak takraw Indonesia yang meraih medali emas Arafura Games di Darwin, Australia.
Saat diminta membandingkan, Jasmini bilang bahwa emas PON jauh lebih panjang pengorbanan dan perjuangannya ketimbang emas Arafura Games.
"Kalau bilang puas ya pasti sama-sama puas. Cuma memang PON ini lebih banyak ceritanya, kami pernah punya pengalaman gagal dan membangun mimpi setelah gagal itu butuh proses," kata Jasmini.
"Sedangkan Arafura Games itu kan pertama kali ikut, jadi enggak ada ekspektasi apapun, cuma ingin main bagus dan Alhamdulillah dapat emas," ujarnya lagi.
Kegagalan-kegagalan di PON terdahulu diakui Jasmini menjadi salah satu bahan bakar dan pelajaran bagi dirinya sendiri serta rekan-rekannya di tim sepak takraw DKI.
Tim sepak takraw DKI menjalani persiapan panjang untuk PON Papua, bahkan di tengah berbagai aturan pembatasan terkait pandemi COVID-19.
"Sampai pandemi sekalipun, kami ada try-out di Makassar. Kami kalah waktu itu dan terus membenahi diri lagi, karena di sana kami tahu kekuatan kami sampai di mana," katanya.
"Saat masuk training camp lagi di Cengkareng, pandemi naik lagi, GOR Cenderawasih harus ditutup. Lari ke Cilotoh, supaya enggak terputus program latihan untuk mencapai prestasi. Karena kalau mau juara itu memang harus kerja keras dan doa," ujar Jasmini.
Baca juga: Siasat jitu sepak takraw putri DKI berbuah medali emas
Pelatih kepala tim sepak takraw DKI, Abdul Gani, mengaku selain mendampingi proses latihan keras para atlet-atlet binaannya ia juga berusaha terus menerus menanamkan kepercayaan diri.
"Saya bilang ke mereka, 'olahraga itu bulat, selama kita bekerja keras, kalian sudah menjalani itu, tinggal soal rejeki kalian'," katanya.
"Itu memang pekerjaan kami sebagai pelatih meyakinkan kepada mereka bahwa mereka hebat, bahwa mereka bukan orang biasa-biasa saja," ujar Abdul Gani menambahkan.
Bagi Jasmini, emas PON Papua juga menjadi pembuktian bahwa keputusannya memilih DKI Jakarta sebagai jalur pembinaan bukanlah langkah yang salah.
12 tahun kemudian setelah ia merantau ke Jakarta, dengan segala lika liku dan cobaan, dahaga emas itu mampu terpuaskan.
"Cobaan itu karena kita mampu. Di dalam solatku kadang aku bilang, 'Terima kasih atas cobaanmu. Aku yakin semua itu engkau berikan karena aku mampu'," katanya.
"Nyatanya memang begitu, setelah cobaan selalu ada hasilnya. Banyak cobaan, belajar sabar dan berdoa," tutup Jasmini.
Baca juga: DKI Jakarta jegal ambisi Jatim kawinkan emas sepak takraw double tim
Hal yang sama berlaku bagi Jasmini, salah satu atlet yang membantu tim sepak takraw DKI Jakarta menuntaskan dahaga medali emas Pekan Olahraga Nasional (PON) untuk pertama kalinya di PON XX Papua.
Jasmini muda kala itu disodori pilihan untuk melanjutkan mengikuti pembinaan atlet di Makassar, Sulawesi Selatan, atau Ragunan, DKI Jakarta, dan Monumen Nasional (Monas) jadi penentu jalannya.
Bagi warga Jakarta dan sekitarnya, Monas adalah pemandangan biasa yang kerap dijadikan tujuan pelesir akhir pekan ataupun di waktu senggang biasa.
Namun bagi Jasmini, yang lahir dan tumbuh besar di Pulau Kayuadi, Kepulauan Selayar, Sulsel, Monas dalam gagasannya adalah sesuatu yang amat sangat menarik hingga nantinya mengukir prestasi membanggakan bahkan memecahkan sejarah untuk sepak takraw DKI.
Tamat bangku sekolah menengah pertama (SMP) pada 2007, Jasmini menyeberang dari Pulau Kayuadi ke pusat Kabupaten Kepulauan Selayar untuk melanjutkan pendidikan tingkat sekolah menengah atas (SMA).
Selama di pusat pemerintahan Kabupaten Kepualuan Selayar, ia menghabiskan banyak waktu untuk menempa kemampuannya di Sanggar PKK Kabupaten Kepulauan Selayar di bawah arahan pelatih pertamanya, Abdul Wahab.
Hasil latihan itu membuahkan gelar juara Pekan Olahraga Pelajar Daerah (POPDA) Sulsel di Makassar. Jasmini yang duduk di bangku kelas dua SMA, menjadi buruan pemandu bakat yang menawarinya untuk berlatih di Sulsel atau DKI.
Salah seorang kakak Jasmini yang menempuh pendidikan di sekolah pelayaran, sempat mengunjungi Jakarta selama tiga bulan dalam masa didiknya. Foto berlatar belakang Monas yang dipamerkan sang kakak menjadi pemicu bagi Jasmini memilih untuk merantau dan meniti karier sebagai atlet di Jakarta.
"Kakak saya bilang 'itu emas di atasnya'. Rasa penasaran itu yang mendasari saya memilih Jakarta," kata Jasmini saat ditemui di GOR Trikora, Kota Jayapura, Papua, Sabtu (2/10).
Setelah meyakinkan diri, membulatkan tekad dan meminta doa restu dari kedua orang tuanya, merantaulah Jasmini ke Jakarta sejak 2009, melanjutkan pendidikan di SMA Negeri Ragunan.
Jasmini mengaku bahkan rasa penasaran akan Monas menjadi satu-satunya alasan ia mengambil tawaran hijrah ke Jakarta, ketimbang melanjutkan pembinaan di Makassar.
"Pada saat itu enggak kepikiran soal persaingan keras di Makassar, tapi memang pilihan saya itu Alhamdulillah banget, karena memang di Makassar persaingan ketat, walaupun pelatih di sana juga sudah menawarkan tes masuk," tuturnya.
Pernyataan Jasmini datang bukan dari ketidakyakinan bahwa ia bakal kesulitan bersaing di Makassar, tetapi berdasar keyakinan bahwa Tuhan memang sudah menggariskannya untuk berkarier dan berprestasi membela DKI Jakarta.
Baca juga: Kemenpora harap olahraga tradisional dipertandingkan di PON
Halaman selanjutnya: Setiap perjalanan memiliki...
Tentang pilihan-pilihan
Setiap perjalanan memiliki ujian dan tantangannya sendiri, begitu juga dengan upaya Jasmini merintis karier sebagai atlet di Jakarta.
Belum sampai satu bulan ia menetap di ibu kota, Jasmini mendapatkan kabar kurang mengenakkan saat ibundanya meninggal dunia.
Kala itu, Jasmini tengah bersiap untuk pertama kalinya tampil membela DKI di ajang Pekan Olahraga Pelajar Nasional (POPNAS) X/2009 di Yogyakarta serta menjelang keberangkatan ke Thailand untuk uji tanding.
"Di situ paling berat, cuma lemas, latihan susah," kata Jasmini.
Akhirnya ia memberanikan diri kepada pelatihnya di Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) DKI yang kini juga mendampinginya di tim sepak takraw DKI, Abdul Gani, untuk pulang ke Pulau Kayuadi.
Almarhum ibunda menjadi satu-satunya hal yang ada di dalam kepala Jasmini sepanjang perjalanan jauh dari Jakarta hingga Pulau Kayuadi yang menggunakan moda transportasi udara, darat dan laut.
Jakarta-Makassar ia duduk di atas pesawat, Makassar-Kepulauan Selayar ia mengendarai bus dan Kepulauan Selayar-Pulau Kayuadi tangan Jasmini tak henti-hentinya menyentuh air saat menaiki perahu kecil.
"Sampai di rumah mama sudah dimakamkan," kenang Jasmini.
Peristiwa itu tak ubahnya menjadi seremoni upacara kedewasaan bagi Jasmini remaja. Sebab dari momen itu, di Pulau Kayuadi, Jasmini mendapatkan petuah penting dari sang Tetta (sebutan ayah di Makassar).
"Walaupun kamu di sini, mama tidak mungkin hidup lagi. Kamu itu harus mengingat apa tujuan kamu ke Jakarta. Mau sukses kan? Itu yang harus dibuktikan, jangan sampai janji dan mimpi yang kamu kasit tahu ke mama kamu tidak terwujud," kata Jasmini mengulang petuah dari sang Tetta.
Peristiwa kepergian sang ibu juga boleh dibilang menjadi satu-satunya momen di mana Jasmini berat menjalani latihan, yang memang sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang atlet.
Petuah dari sang Tetta menjadi pegangan Jasmini selama menjalani kariernya, bahkan saat ia harus berkonsentrasi tampil di PON Papua bersama DKI.
"Kemarin pas persiapan PON ini orang tuaku kena stroke. Cuma ya namanya kita lagi berjuang, hanya bisa memperbanyak doa, membacakan surat Yasin," katanya.
Jasmini juga dihadapkan pada keputusan besar lainnya, saat ia harus memilih antara ujian Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) atau membela DKI di PON Papua.
Tanggal ujian yang ditetapkan yakni 14 September 2021, berbarengan dengan jadwal keberangkatan tim sepak takraw DKI ke Papua.
"PON cuma empat tahun sekali, CPNS mungkin bisa tiap tahun. Yang di depan mata itu enggak boleh disia-siakan, karena sudah terjun di situ selama 10 tahun lebih, bahkan dari kecil, kenapa demi PNS ditinggalin," kata Jasmini mengulangi masukan dari keluarga dan psikolog tim.
"Alhamdulillah juga enggal nyesel karena di sini berhasil dapat emas," ujarnya lagi.
Baca juga: Simbah peluh sepak takraw DKI menggumpal jadi emas PON perdana
Halaman selanjutnya: GOR Trikora, Jayapura...
Usaha takkan mengkhianati hasil
GOR Trikora, Jayapura, Rabu 29 September lalu, Jasmini dkk sukses memenangkan medali emas PON Papua untuk nomor sepak takraw double tim setelah mengalahkan Jawa Timur 2-1 di partai final. Itu merupakan kali pertama DKI meraih medali emas sepak takraw di tingkat PON.
Bagi Jasmini sendiri ini merupakan penuntasan dahaga pribadi, mengingat dalam keikutsertaan di dua PON sebelumnya ia selalu gagal menempati podium tertinggi.
Bahkan, Jasmini sudah lebih dulu berkalung emas di negeri orang ketimbang di PON. Pada 2019, Jasmini menjadi bagian dari tim sepak takraw Indonesia yang meraih medali emas Arafura Games di Darwin, Australia.
Saat diminta membandingkan, Jasmini bilang bahwa emas PON jauh lebih panjang pengorbanan dan perjuangannya ketimbang emas Arafura Games.
"Kalau bilang puas ya pasti sama-sama puas. Cuma memang PON ini lebih banyak ceritanya, kami pernah punya pengalaman gagal dan membangun mimpi setelah gagal itu butuh proses," kata Jasmini.
"Sedangkan Arafura Games itu kan pertama kali ikut, jadi enggak ada ekspektasi apapun, cuma ingin main bagus dan Alhamdulillah dapat emas," ujarnya lagi.
Kegagalan-kegagalan di PON terdahulu diakui Jasmini menjadi salah satu bahan bakar dan pelajaran bagi dirinya sendiri serta rekan-rekannya di tim sepak takraw DKI.
Tim sepak takraw DKI menjalani persiapan panjang untuk PON Papua, bahkan di tengah berbagai aturan pembatasan terkait pandemi COVID-19.
"Sampai pandemi sekalipun, kami ada try-out di Makassar. Kami kalah waktu itu dan terus membenahi diri lagi, karena di sana kami tahu kekuatan kami sampai di mana," katanya.
"Saat masuk training camp lagi di Cengkareng, pandemi naik lagi, GOR Cenderawasih harus ditutup. Lari ke Cilotoh, supaya enggak terputus program latihan untuk mencapai prestasi. Karena kalau mau juara itu memang harus kerja keras dan doa," ujar Jasmini.
Baca juga: Siasat jitu sepak takraw putri DKI berbuah medali emas
Pelatih kepala tim sepak takraw DKI, Abdul Gani, mengaku selain mendampingi proses latihan keras para atlet-atlet binaannya ia juga berusaha terus menerus menanamkan kepercayaan diri.
"Saya bilang ke mereka, 'olahraga itu bulat, selama kita bekerja keras, kalian sudah menjalani itu, tinggal soal rejeki kalian'," katanya.
"Itu memang pekerjaan kami sebagai pelatih meyakinkan kepada mereka bahwa mereka hebat, bahwa mereka bukan orang biasa-biasa saja," ujar Abdul Gani menambahkan.
Bagi Jasmini, emas PON Papua juga menjadi pembuktian bahwa keputusannya memilih DKI Jakarta sebagai jalur pembinaan bukanlah langkah yang salah.
12 tahun kemudian setelah ia merantau ke Jakarta, dengan segala lika liku dan cobaan, dahaga emas itu mampu terpuaskan.
"Cobaan itu karena kita mampu. Di dalam solatku kadang aku bilang, 'Terima kasih atas cobaanmu. Aku yakin semua itu engkau berikan karena aku mampu'," katanya.
"Nyatanya memang begitu, setelah cobaan selalu ada hasilnya. Banyak cobaan, belajar sabar dan berdoa," tutup Jasmini.
Baca juga: DKI Jakarta jegal ambisi Jatim kawinkan emas sepak takraw double tim
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: