London (ANTARA News) - Para ilmuwan sudah mengembangkan tanaman yang bisa mendeteksi bom. Caranya, mereka "mengajari" protein tanaman untuk mengubah warna saat ada unsur kimia tertentu.

Penerapan hasil penelitian bukanlah hal yang susah, misalnya, tanaman itu bisa digunakan melingkari gerbang keamanan. Saat teroris mendekat dengan bahan peledak, seluruh tanaman berubah warna menjadi putih.

Daily Mail melaporkan, tanaman itu bekerja karena reseptor protein dalam DNA tanaman secara alami merespon rangsangan ancaman dengan melepaskan unsur kimia bernama terpenoid untuk menebalkan kulit ari daun, akibatnya daun mengubah warna.

Penelitian tersebut dikerjakan oleh profesor biologis University of Colorado, June Medford bersama markas besar angkatan bersenjata Amerika Serikat, Pentagon.

"Tanaman tidak bisa berlari atau bersembunyi dari ancaman, sehingga mereka mengembangkan sistem mutakhir untuk mendeteksi dan merespon lingkungan mereka," kata profesor Medford.

Para peneliti merancang program komputer untuk memanipulasi mekanisme pertahanan alami tanaman dengan "mengajari" reseptornya menanggapi unsur kimia bahan peledak serta polutan udara dan polutan air.

Reseptor komputer yang didesain ulang tersebut dimodifikasi supaya berfungsi dalam dinding sel tanaman sehingga mereka bisa mengenali polutan-polutan atau bahan peledak dalam udara atau tanah di dekatnya.

Tanaman itu mendeteksi senyawa dan mengaktifkan sinyal internal yang menyebabkan hilangnya warna hijau dan mengubahnya menjadi dedaunan putih.

"Ide untuk membuat tanaman detektor datang secara langsung dari alam. Kami sudah 'mengajari' tanaman bagaimana mendeteksi hal-hal yang membuat kita tertarik dan merespon dalam cara yang bisa dilihat siapa saja, untuk mengatakan pada kita ada sesuatu yang buruk di sekitar lokasi," kata profesor Medford.

Dia mengatakan kemampuan mendeteksi dari tanaman ini serupa bahkan lebih baik daripada anjing.

Sifat deteksi itu bisa digunakan untuk tanaman apapun dan bisa mendeteksi beberapa polutan sekaligus.

Profesor Medford dan timnya belum lama ini menerima hibah tiga tahun senilai 7.9 juta dolar dari U.S. Defense Threat Reduction Agency untuk membawa penemuan mereka ke "dunia nyata."

Penelitian itu muncul dalam jurnal PLoS ONE.
(ENY/A038/BRT)