Jakarta (ANTARA) - Menurut mitologi Yunani Kuno, Neptune atau Neptunus merupakan dewa yang menguasai lautan maha luas di seluruh permukaan planet ini.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sepertinya juga menyukai kisah mengenai Neptunus ini, sehingga dirinya juga meminta agar kode sebutan untuk Menteri Kelautan dan Perikanan bukan lagi paus, tetapi Neptune.

Kisah tersebut terungkap saat acara peluncuran logo baru Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang diselenggarakan dengan meriah tetapi tetap memenuhi protokol kesehatan di Kantor KKP, Jakarta, medio September 2021.

Dengan logo baru tersebut, maka Menteri Trenggono menginginkan agar jajaran KKP dapat lebih semangat lagi dalam melaksanakan tugas untuk mengembalikan kejayaan bahari di negeri ini, bak Neptunus.

Logo baru KKP ini memiliki berbagai aspek, yaitu lambang negara di tengah logo yang melambangkan negara Indonesia yang kuat dan berwibawa, simbol matahari terbit yang memiliki arti yang terlahir kembali, kemudian simbol keberlanjutan dalam mengelola sumber daya di negara Republik Indonesia untuk kesejahteraan rakyat.

Selain itu, ada pula simbol jangkar yang kukuh dimaknai sebagai keteguhan hati dalam menjaga nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan semua atas dasar kesetaraan tanpa memandang perbedaan, trisula yang diartikan sebagai kekuatan integritas yang menjaga wilayah kelautan dan perikanan di seluruh NKRI. Trisula juga kerap digambarkan sebagai senjata Neptunus.

Dengan logo baru, Menteri Trenggono juga menyatakan pihaknya memiliki sejumlah program teranyar, beberapa di antaranya adalah terkait dengan pengelolaan perikanan yang terukur, serta ada pula terkait neraca sumber daya laut.

Instrumen investasi

Menurut Plt Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Pamuji Lestari, neraca sumber daya laut merupakan instrumen untuk mengukur kondisi sumber daya laut di Indonesia secara berkala, termasuk dimaksudkan untuk mengukur dampak investasi terhadap aset laut Indonesia.

Tari, sapaan akrab Pamuji Lestari, merupakan hal yang dinilai semakin mendesak dengan terbitnya UU Cipta Kerja yang bertujuan menstimulasi geliat investasi.

Dalam implementasinya pada konteks pengelolaan ruang laut, penyusunan neraca sumber daya laut diperlukan sebagai sebuah instrumen untuk memastikan bahwa dampak investasi dapat diukur, dimonitor dan menjadi suatu rekomendasi bagi pengambilan kebijakan.

Penyusunan neraca sumber daya laut itu bekerja sama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Keuangan dan Badan Pusat Statistik (BPS), serta merupakan yang pertama kali dilakukan di Indonesia.

Seperti diketahui, Neraca sumber daya alam (termasuk laut) merupakan salah satu agenda/mandat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024 dan kesepakatan global melalui Convention on Biological Diversity (CBD), Sustainable Development Goals (SDGs), dan High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy (HLP SOE).

Sejak 2020 Ditjen PRL bersama BIG, BPS, Kementerian Keuangan dan mitra lainnya telah menginisiasi penyusunan neraca sumber daya laut dengan lokasi proyek percontohan (pilot project) di Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra. Inisiasi tersebut saat ini juga didukung oleh Global Ocean Account Partnership (GOAP).

Sementara itu, Kepala BPS Margo Yuwono menyampaikan BPS diberikan tugas untuk menyusun sistem neraca lingkungan sehingga dibutuhkan kolaborasi yang kuat antara penyedia data dengan pengguna neraca.

Margo juga berharap neraca sumber daya laut yang disusun dapat bermanfaat untuk kepentingan Indonesia.

Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian PPN/Bappenas Sri Yanti pun menyampaikan bahwa penyusunan neraca sumber daya laut merupakan bagian dari prioritas dan program RPJMN 2020-2024 untuk mendukung pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.

Jangan hanya ekonomi

Dari luar lingkup pemerintahan, Ketua Harian Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan menyatakan bahwa sejumlah pilar yang akan menjadi dasar dari pembuatan neraca sumber daya laut oleh pemerintah jangan hanya mempertimbangkan aspek ekonomi semata.

Untuk itu, meraca sumber daya laut setidaknya harus memasukkan tiga variabel utama, yaitu Ekonomi, Ekologi, dan Sosial.

Sudah jelas bahwa pemanfaatan sumber daya kelautan perlu memasukkan indikator-indikator kongkrit pada variabel ekonomi untuk memajukan sektor ini. Namun, variabel ekonomi yang dimasukkan juga harus dapat meningkatkan ekonomi nelayan serta akses terhadap sumber daya kelautan oleh kalangan nelayan kecil.

Sedangkan variabel ekologi, menurut dia, adalah berbicara mengenai kesehatan laut, keberlanjutan pemanfaatan sumber daya, dan dampak ekologis dari aktivitas-aktivitas yang menempati ruang laut dan pesisir.

Terakhir, adalah variabel sosial yang mencakup setidaknya indikator kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir, ketimpangan antara sektor pesisir dan nonpesisir, serta penciptaan lapangan kerja dari aktivitas di sektor tersebut.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengingatkan bahwa neraca sumber daya laut yang sedang disusun oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan berbagai pihak harus mampu mengerem laju pembangunan yang tidak berkualitas.

Hal tersebut penting karena pada saat ini masih terjadi pembangunan di berbagai daerah yang dinilai tidak mendukung tapi malah mengurangi fungsi ekologis dari ekosistem kawasan perairan nasional.

Bila neraca tersebut telah prolingkungan, Abdi mengutarakan harapannya agar penerapan neraca sumber daya laut itu dilakukan dengan penuh komitmen dan konsisten oleh berbagai pihak terkait.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengingatkan neraca sumber daya laut yang disusun perlu memperhatikan aspek sosial dan kearifan lokal warga di kawasan pesisir.

Selain itu, ditekankan pula bahwa agar neraca sumber daya laut tidak sampai disalahgunakan untuk kepentingan yang kian menjauhkan masyarakat pesisir di berbagai daerah dari cita-cita kesejahteraannya.

Pengelolaan terukur

Satu program lain yang kerap didengungkan oleh Menteri Sakti Wahyu Trenggono adalah terkait pengelolaan perikanan terukur, yang telah direkomendasikan bersama baik oleh KKP maupun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)/Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN).

Adapun Bappenas telah menjadikan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) sebagai basis dalam pembangunan perikanan berkelanjutan, yang merupakan program prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2020-2024 untuk menyikapi kondisi sumber daya perikanan di setiap WPP Indonesia yang mengalami degradasi karena tekanan penangkapan yang tinggi.

Sejalan dengan ini, KKP juga telah mengeluarkan konsep penangkapan ikan terukur dalam mengelola sumber daya perikanan guna menjaga ekosistem laut dan pesisir yang sehat dan produktif, serta menjadikan Indonesia lebih makmur dari sisi ekonomi maupun sosial.

Dirjen Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini menyatakan, langkah pertama dalam menerapkan konsep penangkapan ikan terukur, yakni terlebih duhulu mengetahui kesehatan stok ikan di setiap WPP, lalu diatur jumlah ikan yang boleh ditangkap, jumlah kapal yang menangkap, termasuk alat tangkapnya.

Saat ini, KKP tengah menyiapkan infrastruktur pendukung termasuk ekosistem industri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara untuk infrastruktur skema yang diusulkan adalah melalui perbaikan fasilitas pelabuhan yang sudah ada dan membangun pelabuhan baru.

Begitu pula pentingnya sinergi dengan pemda, di mana KKP bersama-sama enam pemerintah provinsi menandatangani perjanjian kerja sama dalam rangka pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan.

Keenam pemerintah provinsi yang ikut menandatangani kerja sama pembangunan daerah dan perjanjian kerja sama tentang pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Jakarta pada 14 September 2021 adalah Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Utara.

Dalam acara tersebut, Menteri Trenggono mengajak pemda untuk memegang teguh prinsip keberlanjutan dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan mereka.

Trenggono menuturkan pihaknya bakal menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur dengan mengedepankan keseimbangan ekonomi dan ekologi dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan yang ada.

Target yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut, lanjutnya, mulai dari pemerataan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, modernisasi sektor kelautan dan perikanan Indonesia hingga kelestarian ekosistem.

Dengan adanya kesepahaman dan kerja sama yang dibangun ini, Menteri Trenggono menyatakan optimistis sektor kelautan dan perikanan akan berkontribusi lebih besar pada pertumbuhan ekonomi nasional dan memberi manfaat yang besar bagi masyarakat di daerah.

Selain itu, ujar dia, program-program terobosan KKP yang berkaitan dengan perikanan budidaya juga akan mudah diimplementasikan di daerah.

Menteri Kelautan dan Perikanan menegaskan bahwa untuk memastikan implementasi kebijakan penangkapan terukur tersebut berjalan secara efektif dan efisien, KKP akan melakukan peningkatan pengawasan dengan sistem terintegrasi yaitu dengan kapal penangkapan ikan, kapal pengawas, satelit, dan pusat pengendali.

Dengan semakin sinerginya antara pihak KKP dengan pemda, maka ke depannya pengelolaan terukur juga akan bisa membawa hasil yang baik untuk kesejahteraan nelayan, serta membuat Indonesia betul-betul berjaya sebagai negeri bahari, seperti Neptunus sebagai dewi laut dalam dongeng mitologi Yunani Kuno terdahulu.