Kairo (ANTARA News) - Peristiwa pembunuhan Perdana Menteri Lebanon, Rafiq Hariri, pada enam tahun lalu ternyata berbuntut panjang.

Tatkala Pengadilan Khusus untuk Lebanon (Special Tribunal for Lebanon/STL) yang didukung PBB hendak mengadili orang-orang yang dituduh terlibat dalam pembunuhan itu, Saad Hariri, putra mendiang Hariri yang menjabat perdana menteri terpental dari kekuasaan.

PM Rafiq Hariri terbunuh bersama 22 orang terkena bom mobil di pusat ibu kota Lebanon, Beirut pada 14 Februari 2005.

STL dibentuk pada 10 Juni 2007 berdasarkan permintaan Pemerintah Lebanon dan melalui mandat Dewan Keamanan (DK) PBB, yang kinerjanya tak diharapkan menimbulkan dampak politik.

Tetapi STL yang dibentuk setelah Komisi Investigasi Independen Internasional melakukan penyelidikan terhadap temuan misi PBB, yang hasilnya menyebutkan bahwa pengadilan domestik Lebanon yang mengusut pembunuhan itu kurang bisa diandalkan.

Masalahnya kemudian, pengadilan yang didukung Amerika Serikat dan negara-negara Barat dan mengatasnamakan masyarakat internasional itu, sejak awal tercium hendak membidik Hizbullah.

Hizbullah sendiri menganggap tuduhan itu tidak lebih dari skenario Israel dan Barat, terutama Amerika Serikat, untuk menghancurkan kredibilitas milisi bersenjata yang sangat anti-Zionis Yahudi itu.

Beberapa kalangan analis di Timur Tengah juga mencium bau busuk persekongkolan untuk merusak citra Hizbullah.

"Misi PBB yang dimotori AS itu sejak awal sudah menyatakan bahwa Hizbullah adalah pelaku serangan bom, bahwa jauh sebelum penyelidikan dimulai," kata Karam Al Hazen di harian Al-Anba, awal pekan ini.

Beberapa tokoh Hizbullah masuk dalam daftar akan diseret di pengadilan internasional itu sebagai terdakwa pembunuhan Rafiq Hariri.

Misi PBB bahkan menemukan bahwa Suriah dianggap sebagai pihak yang sangat bertanggung jawab terhadap meningkatnya suhu ketegangan di Lebanon, hingga terjadi serangan bom mobil itu.

Tentu saja Hizbullah geram, karena hal itu dianggap akan memojokkan dirinya.

Kelompok besar dalam kabinet koalisi dipimpin Saad Hariri itu lalu memperlihatkan taringnya dan serta-merta menarik orang-orangnya yang duduk di kabinet, meninggalkan Hariri.

Pemerintahan kesatuan Lebanon pimpinan PM Saad Hariri pun jatuh, setelah 11 menteri kabinet dari kubu Hizbullah dan sekutunya mengundurkan diri.

Berdasarkan konstitusi, mundurnya sebelas menteri dari 30 anggota kabinet itu telah memberikan jumlah minimal yang dibutuhkan untuk menjatuhkan pemerintah.

Hengkangnya sejumlah menteri itu juga dipicu karena Saad Hariri dilaporkan menolak menghentikan kerja sama dengan pengadilan, yang besar dugaan akan menjerat anggota-anggota Hizbullah itu.


Cari Pengganti

Gonjang-ganjing politik ini memaksa Presiden Michel Sleiman menggelar konsultasi dengan kelompok parlemen untuk membahas pemilihan perdana menteri baru, pengganti kabinet Saad Hariri.

Saad Hariri, dengan strategi baru tampaknya berupaya untuk maju kembali.

Namun langkahnya, tampaknya dihadang oleh mantan perdana menteri Lebanon Najib Mikati, yang telah mengumumkan pencalonannya untuk membentuk pemerintahan berikutnya.

Dalam pernyataan pada akhir pekan lalu dia menegaskan maju sebagai calon berdasarkan hasil konsensus dan akan bekerja sama dengan semua pihak dan mengusung visi membawa negara keluar dari krisis politik yang berlarut-larut.

Sebaliknya, kubu Saad Hariri menuding pencalonan Mikati adalah pengkhianatan, karena dia terpilih menjadi anggota parlemen dari partai koalisi Hariri.

Dalam perkembangan lain, pemimpin Druze Lebanon, Walid Jumblatt, mengatakan kelompoknya akan mendukung Hizbullah dalam memilih perdana menteri baru.

Bisa dipastikan Hizbullah dan sekutunya, dengan 57 kursi di parlemen, akan memenangkan mayoritas untuk mendukung politikus yang diusungnya.

Dalam perkembangan lain, Hizbullah sempat hendak mengusung calon Sunni Omar Karami untuk memimpin pemerintah baru.

Jumblatt yang memimpin kelompok 11 anggota parlemen, dukungannya menjadi penting untuk memutuskan siapa yang akan membentuk pemerintahan, Hizbullah atau Hariri.

Dalam sistem pembagian politik di Lebanon, perdana menteri harus seorang Muslim Sunni, presiden seorang Kristen Maronit dan ketua parlemen orang Syiah.


Massa Turun ke Jalan

Tetapi, dalam perkembangan berikutnya, Najib Mikati yang dipilih untuk menjadi perdana menteri baru setelah dia memenangkan dukungan dari mayoritas anggota parlemen.

Mikati pada akhirnya menjadi pilihan Hizbullah, sementara itu massa pendukung pejabat PM Saad al-Hariri dalam jumlah besar tak terbendung turun ke jalan-jalan menyatakan protes.

Kelompok Sunni melakukan pembakaran dan menghalangi jalan-jalan menuju Beirut, Tripoli dan Saida.

Kelompok ini menuding tokoh yang menerima nominasi Hizbullah dianggap pengkhianat. Hal ini jelas menggetarkan Mikati, meskipun dia Muslim Sunni, namun pemerintahannya akan diisi dengan orang-orang Syiah, yang didukung Hizbullah.

Dalam pemilihan itu, Mikati menang 68 suara dukungan dari 128 kursi parlemen dalam dua hari voting, sedangkan Hariri meraih 60 suara.

Banyak dugaan, dengan kalahnya Hariri yang didukung Barat dan tampilnya calon Hizbullah, Lebanon akan kembali diamuk kemelut, yang selama ini tak kunjung dituntaskan.

Negara-negara Barat tampak geram dengan kalahnya Hariri dan meminta pemerintah baru untuk mengutamakan pengadilan Rafiq Hariri.

Tak kurang Sekjen PBB Ban Ki-moon menyerukan agar semua pihak di Lebanon bersikap tenang, karena pemerintahan sedang dibangun kembali, meskipun dia juga menyatakan bahwa PBB tetap meminta tanggungjawab pemerintah baru dalam hal pengadilan Rafiq Hariri.

Tetapi pada saat-saat terakhir, aksi-aksi kekerasan di jalan-jalan kota besar Lebanon mulai tampak berkurang dan berangsur tenang.

Sebelumnya, Mikati mengimbau pendukungnya terutama di Tripoli untuk mampu mengontrol diri dan tidak membuat keributan.

Alhasil, Barat kini gerah menyaksikan munculnya kekuatan baru Hizbullah di dataran politik Lebanon. (M043/AK/K004)