BRIN: Perlu teknologi pengelolaan limbah obat-obatan yang lebih baik
4 Oktober 2021 18:45 WIB
Peneliti Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Zainal Arifin berbicara dalam Sapa Media virtual Limbah Farmasetika di Perairan Teluk Jakarta yang diselenggarakan BRIN di Jakarta, Senin (4/10/2021). ANTARA/Martha Herlinawati Simanjuntak
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Zainal Arifin mengatakan perlu dibangun teknologi pengelolaan air limbah yang lebih baik, yang bisa menjaring limbah obat-obatan seperti parasetamol.
"Limbah parasetamol ini tidak bisa terjaring dengan sistem IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang ada, artinya ini perlu teknologi yang harus dikembangkan," kata Zainal dalam Sapa Media virtual Limbah Farmasetika di Perairan Teluk Jakarta yang diselenggarakan BRIN di Jakarta, Senin.
Zainal menuturkan parasetamol merupakan salah satu bahan kontaminan atau pencemar yang masuk ke lingkungan, sementara belum ada regulasi terkait baku mutu di Indonesia dan dunia untuk parameter parasetamol di lingkungan perairan.
Menurut dia, sistem pengelolaan dan pengolahan air limbah yang tidak berfungsi dengan optimal bisa memberikan dampak pada lolosnya kontaminan tertentu yang bisa mencemari lingkungan.
Baca juga: Soal parasetamol, Riza minta warga tak buang limbah obat sembarangan
Baca juga: BRIN: Warga perlu tangani limbah parasetamol tidak cemari lingkungan
Zainal mengatakan sumber sisa parasetamol yang ada di perairan Teluk Jakarta diduga dapat berasal dari tiga sumber, yakni ekskresi akibat konsumsi masyarakat yang berlebihan, rumah sakit, dan industri farmasi.
Jika sisa parasetamol atau limbah obat-obatan lain tidak tersaring dan terkelola dengan baik di sistem IPAL, maka sisa obat itu akan menjadi sumber pencemaran bagi lingkungan. Oleh karena itu, perlu teknologi dan inovasi untuk mengatasi masalah tersebut.
Ia juga menuturkan penelitian di Indonesia terkait kontaminan parasetamol di lingkungan perairan juga masih sangat sedikit, sehingga diharapkan penelitian lebih lanjut dapat dilakukan agar bisa membangun pemahaman tentang laut yang lebih komprehensif dan tata kelolanya yang lebih baik.
Zainal bersama Wulan Koagouw yang merupakan peneliti oseanografi di BRIN, serta George WJ Olivier dan Corina Ciocan dari Universitas Brighton di Inggris, melakukan riset dan mengungkap bahwa ada konsentrasi parasetamol relatif tinggi di muara sungai Angke dan muara sungai Ciliwung Ancol di Teluk Jakarta.
Peneliti Oseanografi BRIN Dr Wulan Koagouw mengatakan bukan hanya parasetamol, sebenarnya obat-obatan sudah termasuk dalam emerging contaminant, yang merupakan kontaminan atau pencemar yang menjadi perhatian bagi para agensi atau lembaga lingkungan di luar negeri.
Sementara parasetamol merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan di masyarakat Indonesia terutama untuk mengurangi sakit kepala atau pusing.
"Pusing parasetamol, apa-apa parasetamol, dan banyak juga tentunya terkandung dalam obat-obatan lainnya yang dijual secara bebas atau tanpa resep dokter, jadi kita bisa mengaksesnya kapan saja," ujarnya.
Baca juga: BRIN : Riset lanjutan ungkap dampak limbah farmasi pada lingkungan
Baca juga: Mahasiswa UGM kembangkan tempat sampah untuk olah limbah masker medis
Dengan tingginya angka populasi di Jakarta dan juga diketahuinya tingkat konsumsi parasetamol yang tinggi, maka Wulan tertarik dan telah melakukan riset bersama koleganya untuk mengetahui ada tidaknya parasetamol terdeteksi di beberapa lokasi di perairan di Indonesia.
"Saya hanya penasaran ingin tahu apakah parasetamol ini terdeteksi atau tidak. Ternyata terdeteksi," tuturnya.
Dalam hasil riset yang dimuat dI jurnal Marine Pollution Bulletin berjudul High concentrations of paracetamol in effluent dominated waters of Jakarta Bay, Indonesia, disebutkan bahwa obat-obatan menimbulkan ancaman besar bagi lingkungan laut, dan beberapa penelitian baru-baru ini menggambarkan efek negatifnya pada organisme laut, seperti gangguan reproduksi pada kerang.
Ia mengatakan, selama beberapa tahun terakhir, ada kekhawatiran yang berkembang mengenai polusi farmasi kronis di lingkungan perairan. "Karena populasi manusia yang meningkat bertepatan dengan permintaan obat-obatan yang lebih tinggi, maka dikhawatirkan kemungkinan besar pencemaran sisa obat-obatan ke lingkungan akan terus terjadi," katanya.
Wulan mengatakan jika memiliki pendanaan yang lebih besar, waktu yang lebih lama dan sumber daya yang lebih banyak, maka dia ingin meneliti kontaminan lain selain parasetamol.
Baca juga: Pemprov DKI gandeng pihak swasta untuk tangani limbah medis
Baca juga: Limbah medis di DKI naik 200 persen sejak Juni 2021
Baca juga: KLHK dorong pembangunan fasilitas pengolahan limbah medis di daerah
"Limbah parasetamol ini tidak bisa terjaring dengan sistem IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang ada, artinya ini perlu teknologi yang harus dikembangkan," kata Zainal dalam Sapa Media virtual Limbah Farmasetika di Perairan Teluk Jakarta yang diselenggarakan BRIN di Jakarta, Senin.
Zainal menuturkan parasetamol merupakan salah satu bahan kontaminan atau pencemar yang masuk ke lingkungan, sementara belum ada regulasi terkait baku mutu di Indonesia dan dunia untuk parameter parasetamol di lingkungan perairan.
Menurut dia, sistem pengelolaan dan pengolahan air limbah yang tidak berfungsi dengan optimal bisa memberikan dampak pada lolosnya kontaminan tertentu yang bisa mencemari lingkungan.
Baca juga: Soal parasetamol, Riza minta warga tak buang limbah obat sembarangan
Baca juga: BRIN: Warga perlu tangani limbah parasetamol tidak cemari lingkungan
Zainal mengatakan sumber sisa parasetamol yang ada di perairan Teluk Jakarta diduga dapat berasal dari tiga sumber, yakni ekskresi akibat konsumsi masyarakat yang berlebihan, rumah sakit, dan industri farmasi.
Jika sisa parasetamol atau limbah obat-obatan lain tidak tersaring dan terkelola dengan baik di sistem IPAL, maka sisa obat itu akan menjadi sumber pencemaran bagi lingkungan. Oleh karena itu, perlu teknologi dan inovasi untuk mengatasi masalah tersebut.
Ia juga menuturkan penelitian di Indonesia terkait kontaminan parasetamol di lingkungan perairan juga masih sangat sedikit, sehingga diharapkan penelitian lebih lanjut dapat dilakukan agar bisa membangun pemahaman tentang laut yang lebih komprehensif dan tata kelolanya yang lebih baik.
Zainal bersama Wulan Koagouw yang merupakan peneliti oseanografi di BRIN, serta George WJ Olivier dan Corina Ciocan dari Universitas Brighton di Inggris, melakukan riset dan mengungkap bahwa ada konsentrasi parasetamol relatif tinggi di muara sungai Angke dan muara sungai Ciliwung Ancol di Teluk Jakarta.
Peneliti Oseanografi BRIN Dr Wulan Koagouw mengatakan bukan hanya parasetamol, sebenarnya obat-obatan sudah termasuk dalam emerging contaminant, yang merupakan kontaminan atau pencemar yang menjadi perhatian bagi para agensi atau lembaga lingkungan di luar negeri.
Sementara parasetamol merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan di masyarakat Indonesia terutama untuk mengurangi sakit kepala atau pusing.
"Pusing parasetamol, apa-apa parasetamol, dan banyak juga tentunya terkandung dalam obat-obatan lainnya yang dijual secara bebas atau tanpa resep dokter, jadi kita bisa mengaksesnya kapan saja," ujarnya.
Baca juga: BRIN : Riset lanjutan ungkap dampak limbah farmasi pada lingkungan
Baca juga: Mahasiswa UGM kembangkan tempat sampah untuk olah limbah masker medis
Dengan tingginya angka populasi di Jakarta dan juga diketahuinya tingkat konsumsi parasetamol yang tinggi, maka Wulan tertarik dan telah melakukan riset bersama koleganya untuk mengetahui ada tidaknya parasetamol terdeteksi di beberapa lokasi di perairan di Indonesia.
"Saya hanya penasaran ingin tahu apakah parasetamol ini terdeteksi atau tidak. Ternyata terdeteksi," tuturnya.
Dalam hasil riset yang dimuat dI jurnal Marine Pollution Bulletin berjudul High concentrations of paracetamol in effluent dominated waters of Jakarta Bay, Indonesia, disebutkan bahwa obat-obatan menimbulkan ancaman besar bagi lingkungan laut, dan beberapa penelitian baru-baru ini menggambarkan efek negatifnya pada organisme laut, seperti gangguan reproduksi pada kerang.
Ia mengatakan, selama beberapa tahun terakhir, ada kekhawatiran yang berkembang mengenai polusi farmasi kronis di lingkungan perairan. "Karena populasi manusia yang meningkat bertepatan dengan permintaan obat-obatan yang lebih tinggi, maka dikhawatirkan kemungkinan besar pencemaran sisa obat-obatan ke lingkungan akan terus terjadi," katanya.
Wulan mengatakan jika memiliki pendanaan yang lebih besar, waktu yang lebih lama dan sumber daya yang lebih banyak, maka dia ingin meneliti kontaminan lain selain parasetamol.
Baca juga: Pemprov DKI gandeng pihak swasta untuk tangani limbah medis
Baca juga: Limbah medis di DKI naik 200 persen sejak Juni 2021
Baca juga: KLHK dorong pembangunan fasilitas pengolahan limbah medis di daerah
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021
Tags: