Artikel
Pemerintah optimistis menyelesaikan kemiskinan ekstrem
Oleh Fransiska Ninditya
4 Oktober 2021 09:24 WIB
Utusan dari beberapa elemen organisasi bergotong royong memperbaiki rumah warga miskin di Dusun VII Paluh Medan, Desa Besilam, Kecamatan Padang Tualang, Langkat, Selasa (24/8/2021), ANTARA/HO
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia memasang target untuk menyelesaikan kemiskinan ekstrem dengan mencapai angka hingga nol persen pada tahun 2024 atau 6 tahun lebih cepat daripada agenda dunia dalam tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
Negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyepakati 17 tujuan dalam SDGs, yang tujuan pertamanya ialah tanpa kemiskinan untuk keselamatan manusia dan planet bumi sebagai ambisi pembangunan bersama hingga 2030. Meski demikian, dengan adanya krisis pandemi COVID-19 yang merebak mulai 2020, target agenda tanpa kemiskinan tersebut terancam tidak tercapai.
Sebelumnya, PBB mencatat angka kemiskinan ekstrem di dunia mengalami penurunan sebanyak 26 persen dalam kurun waktu seperempat abad, mulai dari 1990 sebesar 36 persen menjadi 10 persen pada tahun 2015. Kemiskinan esktrem ialah kondisi masyarakat dengan keseimbangan kemampuan belanja di bawah 1,9 dolar AS per hari.
Namun, laju penurunan angka kemiskinan ekstrem dunia tersebut mengalami perlambatan, bahkan berisiko berbalik menjadi meningkat dengan adanya krisis pandemi COVID-19.
United Nations University (UNU) World Institute for Development Economics Research merilis dalam jurnalnya bahwa pandemi COVID-19 dapat menambah setengah miliar jiwa penduduk dunia menjadi miskin ekstrem. Hal tersebut menjadi sejarah dunia untuk kali pertama sejak tahun 1990, angka kemiskinan meningkat secara global.
Saat ini PBB mencatat lebih dari 700 juta orang di dunia masih hidup dalam kategori miskin ekstrem, dengan berupaya mememuhi kebutuhan hidup paling dasar di bidang kesehatan, pendidikan serta akses sanitasi dan air bersih.
Dampak krisis pandemi COVID-19 tersebut, baik di sektor kesehatan, sosial, maupun ekonomi, akan paling dirasakan oleh negara-negara berkembang karena paling berisiko selama dan setelah pandemi.
Program Pembangunan PBB atau United Nations Development Programme (UNDP) memprediksi kerugian pendapatan di negara-negara berkembang lebih dari 220 miliar dolar AS, ditambah dengan 55 persen populasi dunia tidak memiliki akses terhadap perlindungan sosial.
Sementara itu, di Indonesia penambahan angka kemiskinan kronis dan kemiskinan ekstrem terjadi akibat pandemi COVID-19. Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin sekaligus Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengakui hal tersebut.
"Iya betul, itu ada penambahan kemiskinan, baik yang kronis maupun yang ekstrem," kata Wapres di Jakarta, Kamis (23/9).
Baca juga: Kemenperin sinergikan program bantu target entaskan kemiskinan ekstrem
Strategi Selesaikan Kemiskinan Ekstrem
Jumlah kemiskinan secara keseluruhan di Indonesia tercatat sebanyak 27,54 juta jiwa, dan sebanyak 10,86 juta jiwa di antaranya adalah masyarakat dengan kemiskinan ekstrem. Dalam upaya menyelesaikan angka kemiskinan ekstrem nasional hingga nol persen, Pemerintah mengatur strategi dengan memasang target penyelesaian 20 persen pada tahun 2021, 35 persen pada tahun 2022, 35 persen pada tahun 2023, hingga sisanya 10 persen pada tahun 2024.
Hingga akhir 2021, Pemerintah mengutamakan penyelesaian 2.096.771 orang miskin ekstrem di 35 kabupaten yang berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, dan Papua Barat.
Ini memang paling berat karena waktunya tinggal sebentar lagi hingga akhir 2021.
Daerah prioritas penyelesaian kemiskinan ekstrem di Provinsi Jawa Barat ialah Cianjur, Bandung, Kuningan, Indramayu dan Karawang; di Provinsi Jawa Tengah ada Banyumas, Banjarnegara, Kebumen, Pemalang dan Brebes; di Provinsi Jawa Timur ada Probolinggo, Bojonegoro, Lamongan, Bangkalan, dan Sumenep; serta di Provinsi Nusa Tenggara Timur ada Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Rote Ndao, Sumba Tengah, dan Manggarai Timur.
Sementara itu, di Provinsi Maluku ada Maluku Tenggara Barat, Maluku Tenggara, Maluku Tengah, Seram Bagian Timur dan Maluku Barat Daya; di Provinsi Papua Barat ada Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Tambrauw, Maybrat dan Manokwari Selatan; serta di Provinsi Papua ada Jayawijaya, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, dan Deiyai.
Sebagai langkah mempercepat target penyelesaian di 35 daerah tersebut, Wapres terjun langsung ke tujuh provinsi terkait guna melakukan rapat kerja bersama para gubernur dan bupati.
Hingga akhir September, Wapres telah mendatangi Jawa Barat dan Jawa Timur untuk memimpin rapat bersama jajaran pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten prioritas terkait.
Dalam rapat tersebut, Wapres menegaskan bahwa tantangan utama yang harus dikerjakan untuk menyelesaikan kemiskinan ekstrem ialah memastikan dua program Pemerintah tepat sasaran kepada masyarakat. Kedua program tersebut ialah bantuan sosial dan pemberdayaan masyarakat bagi masyarakat miskin ekstrem di daerah.
Isu utama percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem adalah bagaimana memastikan program perlindungan sosial dan pemberdayaan dapat secara efektif mengurangi kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstrem. Jadi, anggaran sebenarnya bukan isu utama dalam penanggulangan kemiskinan ekstrem ini.
Gubernur dan bupati tidak perlu memikirkan tentang anggaran yang akan digelontorkan pemerintah pusat untuk penanganan kemiskinan ekstrem tersebut.
Pada tahun anggaran (TA) 2021, Pemerintah telah menyiapkan Rp440,69 triliun untuk penanganan kemiskinan. Anggaran tersebut terbagi untuk program bantuan sosial dan subsidi sebesar Rp272,12 triliun dan untuk program pemberdayaan dan peningkatan produktivitas sebanyak Rp168,57 triliun.
Oleh karena itu, Wapres menginstruksikan kepada gubernur dan bupati untuk melakukan pemutakhiran data terhadap masyarakat miskin ekstrem.
Saat ini data rumah tangga miskin ekstrem tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) per Maret 2020 miliki Badan Pusat Statistik (BPS).
Berdasarkan DTKS Kemensos, jumlah rumah tangga miskin ekstrem di 35 kabupaten tersebut sebanyak 889.210. Data tersebut belum sepenuhnya akurat. Namun, dengan keterbatasan waktu untuk mencapai angka kemiskinan ekstrem nol persen, DTKS tersebut digunakan sebagai dasar untuk pemberian bantuan sosial dan pemberdayaan masyarakat miskin ekstrem.
Soal data diakui Wapres memang sekarang belum akurat betul. Akan tetapi, tidak mungkin mulai dari nol. DTKS inilah menjadi data awal dalam rangka pengurangan angka kemiskinan hingga nol persen pada tahun 2024.
Baca juga: Mendes konsolidasi data desa di Kuningan tuntaskan kemiskinan ekstrem
Negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyepakati 17 tujuan dalam SDGs, yang tujuan pertamanya ialah tanpa kemiskinan untuk keselamatan manusia dan planet bumi sebagai ambisi pembangunan bersama hingga 2030. Meski demikian, dengan adanya krisis pandemi COVID-19 yang merebak mulai 2020, target agenda tanpa kemiskinan tersebut terancam tidak tercapai.
Sebelumnya, PBB mencatat angka kemiskinan ekstrem di dunia mengalami penurunan sebanyak 26 persen dalam kurun waktu seperempat abad, mulai dari 1990 sebesar 36 persen menjadi 10 persen pada tahun 2015. Kemiskinan esktrem ialah kondisi masyarakat dengan keseimbangan kemampuan belanja di bawah 1,9 dolar AS per hari.
Namun, laju penurunan angka kemiskinan ekstrem dunia tersebut mengalami perlambatan, bahkan berisiko berbalik menjadi meningkat dengan adanya krisis pandemi COVID-19.
United Nations University (UNU) World Institute for Development Economics Research merilis dalam jurnalnya bahwa pandemi COVID-19 dapat menambah setengah miliar jiwa penduduk dunia menjadi miskin ekstrem. Hal tersebut menjadi sejarah dunia untuk kali pertama sejak tahun 1990, angka kemiskinan meningkat secara global.
Saat ini PBB mencatat lebih dari 700 juta orang di dunia masih hidup dalam kategori miskin ekstrem, dengan berupaya mememuhi kebutuhan hidup paling dasar di bidang kesehatan, pendidikan serta akses sanitasi dan air bersih.
Dampak krisis pandemi COVID-19 tersebut, baik di sektor kesehatan, sosial, maupun ekonomi, akan paling dirasakan oleh negara-negara berkembang karena paling berisiko selama dan setelah pandemi.
Program Pembangunan PBB atau United Nations Development Programme (UNDP) memprediksi kerugian pendapatan di negara-negara berkembang lebih dari 220 miliar dolar AS, ditambah dengan 55 persen populasi dunia tidak memiliki akses terhadap perlindungan sosial.
Sementara itu, di Indonesia penambahan angka kemiskinan kronis dan kemiskinan ekstrem terjadi akibat pandemi COVID-19. Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin sekaligus Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) mengakui hal tersebut.
"Iya betul, itu ada penambahan kemiskinan, baik yang kronis maupun yang ekstrem," kata Wapres di Jakarta, Kamis (23/9).
Baca juga: Kemenperin sinergikan program bantu target entaskan kemiskinan ekstrem
Strategi Selesaikan Kemiskinan Ekstrem
Jumlah kemiskinan secara keseluruhan di Indonesia tercatat sebanyak 27,54 juta jiwa, dan sebanyak 10,86 juta jiwa di antaranya adalah masyarakat dengan kemiskinan ekstrem. Dalam upaya menyelesaikan angka kemiskinan ekstrem nasional hingga nol persen, Pemerintah mengatur strategi dengan memasang target penyelesaian 20 persen pada tahun 2021, 35 persen pada tahun 2022, 35 persen pada tahun 2023, hingga sisanya 10 persen pada tahun 2024.
Hingga akhir 2021, Pemerintah mengutamakan penyelesaian 2.096.771 orang miskin ekstrem di 35 kabupaten yang berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, dan Papua Barat.
Ini memang paling berat karena waktunya tinggal sebentar lagi hingga akhir 2021.
Daerah prioritas penyelesaian kemiskinan ekstrem di Provinsi Jawa Barat ialah Cianjur, Bandung, Kuningan, Indramayu dan Karawang; di Provinsi Jawa Tengah ada Banyumas, Banjarnegara, Kebumen, Pemalang dan Brebes; di Provinsi Jawa Timur ada Probolinggo, Bojonegoro, Lamongan, Bangkalan, dan Sumenep; serta di Provinsi Nusa Tenggara Timur ada Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Rote Ndao, Sumba Tengah, dan Manggarai Timur.
Sementara itu, di Provinsi Maluku ada Maluku Tenggara Barat, Maluku Tenggara, Maluku Tengah, Seram Bagian Timur dan Maluku Barat Daya; di Provinsi Papua Barat ada Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Tambrauw, Maybrat dan Manokwari Selatan; serta di Provinsi Papua ada Jayawijaya, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, dan Deiyai.
Sebagai langkah mempercepat target penyelesaian di 35 daerah tersebut, Wapres terjun langsung ke tujuh provinsi terkait guna melakukan rapat kerja bersama para gubernur dan bupati.
Hingga akhir September, Wapres telah mendatangi Jawa Barat dan Jawa Timur untuk memimpin rapat bersama jajaran pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten prioritas terkait.
Dalam rapat tersebut, Wapres menegaskan bahwa tantangan utama yang harus dikerjakan untuk menyelesaikan kemiskinan ekstrem ialah memastikan dua program Pemerintah tepat sasaran kepada masyarakat. Kedua program tersebut ialah bantuan sosial dan pemberdayaan masyarakat bagi masyarakat miskin ekstrem di daerah.
Isu utama percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem adalah bagaimana memastikan program perlindungan sosial dan pemberdayaan dapat secara efektif mengurangi kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstrem. Jadi, anggaran sebenarnya bukan isu utama dalam penanggulangan kemiskinan ekstrem ini.
Gubernur dan bupati tidak perlu memikirkan tentang anggaran yang akan digelontorkan pemerintah pusat untuk penanganan kemiskinan ekstrem tersebut.
Pada tahun anggaran (TA) 2021, Pemerintah telah menyiapkan Rp440,69 triliun untuk penanganan kemiskinan. Anggaran tersebut terbagi untuk program bantuan sosial dan subsidi sebesar Rp272,12 triliun dan untuk program pemberdayaan dan peningkatan produktivitas sebanyak Rp168,57 triliun.
Oleh karena itu, Wapres menginstruksikan kepada gubernur dan bupati untuk melakukan pemutakhiran data terhadap masyarakat miskin ekstrem.
Saat ini data rumah tangga miskin ekstrem tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) per Maret 2020 miliki Badan Pusat Statistik (BPS).
Berdasarkan DTKS Kemensos, jumlah rumah tangga miskin ekstrem di 35 kabupaten tersebut sebanyak 889.210. Data tersebut belum sepenuhnya akurat. Namun, dengan keterbatasan waktu untuk mencapai angka kemiskinan ekstrem nol persen, DTKS tersebut digunakan sebagai dasar untuk pemberian bantuan sosial dan pemberdayaan masyarakat miskin ekstrem.
Soal data diakui Wapres memang sekarang belum akurat betul. Akan tetapi, tidak mungkin mulai dari nol. DTKS inilah menjadi data awal dalam rangka pengurangan angka kemiskinan hingga nol persen pada tahun 2024.
Baca juga: Mendes konsolidasi data desa di Kuningan tuntaskan kemiskinan ekstrem
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021
Tags: