Denpasar (ANTARA News) - Banyak perempuan ingin memutihkan kulit agar terlihat lebih cantik. Asumsinya, lebih putih itu lebih cantik, padahal kecantikan ini subjektif.
Betulkah lebih putih lebih cantik? Mungkin benar untuk perempuan, namun bagi koloni terumbu karang pemutihan malah menjadi akhir kehidupan mereka.
Percaya tidak, terumbu karang di seluruh dunia sejak lama dalam pola tertentu juga mengalami pemutihan massal? Masyarakat ilmiah menyebutnya mass coral bleach.
Terumbu karang yang menjadi santapan mata dan batin penyelam karena keindahannya itu adalah juga makhluk hidup.
Umumnya mereka adalah hewan tanpa tulang belakang, sekalipun awam menyangkanya sebagai "tumbuhan" di laut. Mungkin karena hidup tertanam di satu titik di dasar laut, mereka tidak bisa berpindah-pindah, persis tumbuhan di darat.
Ada ratusan ribu jenis dan varian terumbu karang di seluruh dunia. Mulai perairan dangkal di lingkar tropis yang hangat hingga gelap dan sangat dingin di lingkar Antartika di Kutub Selatan dan Arktik di Kutub Utara.
Laiknya makhluk hidup, mereka berperan penting dalam rantai ekologi. Laut sendiri mengambil porsi 70 persen permukaan Bumi dengan seluruh kompleksitas sistem dan fungsinya. Di daratan, ada hutan belantara yang menjadi paru-paru dunia, sementara di dasar lautan, fungsi serupa diperankan terumbu karang.
Peneliti senior dari The Nature Conservancy (TNC), Joanne Wilson, menyebutkan pemanasan global berakibat sangat mematikan terhadap terumbu karang.
"Kenaikan temperatur satu derajat Celcius saja bisa mematikan 16 persen mereka di seluruh dunia, sementara data menunjukkan kenaikan temperatur air laut itu lebih dari dua derajat Celcius di banyak perairan dunia," kata Wilson.
Pemutihan terumbu karang sendiri disebabkan oleh faktor yang bisa dikendalikan dan tidak bisa dikendalikan.
Pemanasan global adalah penyebab utama yang diklasifikasikan ke dalam faktor tidak bisa dikendalikan, sedangkan prilaku manusia dalam memanfaatkan kekayaan laut menjadi faktor yang bisa dikendalikan.
Sederhananya, demikian Wilson, kenaikan temperatur air laut yang sangat khas dari satu titik ke titik lain membuat ekosistem di satu perairan terganggu.
Pada satu sisi tervital sebagai "anak kandung" pemanasan global di laut, sirkulasi dan eksistensi oksigen terlarut ini meningkat sangat drastis yang meracuni terumbu karang.
Tiada makhluk hidup yang bisa hidup mandiri seratus persen, termasuk terumbu karang yang bersimbiosis mutualisma dengan satu varian spesifik alga, zooxanthellae.
Alga sangat renik ini adalah tumbuhan yang bisa berfotosintesis dan menyediakan nutrisi bagi inang tumpangannya, yaitu terumbu karang, namun tidak mampu melindungi diri dari lingkungan.
Zooxanthellae bewarna kuning kecoklatan memiliki flagelata primitif yang mampu menyerap beragam ekskresi makhluk di lautan
Pada tahap lanjut, zooxanthellae mampu dan harus menyusup ke dalam tubuh inangnya agar proses simbiosis itu semakin meningkat. Tahap lanjut inilah yang memerlukan sekaligus juga menciptakan keseimbangan semua unsur nutrisi dan lingkungan agar terjadi secara sinambung.
Wilson menyebut pola simbiosis seperti itu umum terjadi walau terdapat anomali. "Masalahnya, kenaikan temperatur air laut itu menyebabkan kadar oksigen terlarut berlebihan dan tidak ideal bagi zooxanthellae serta membuat mereka `keluar` dari tubuh inangnya," katanya.
Hal Ini membuat terumbu karang mengeluarkan satu substansi biokimia berwarna dengan sifat fluoresen yang kelihatan lebih indah bagi mata penyelam.
"Kelihatan lebih indah, namun sebetulnya terumbu karang itu sedang menuju kematiannya," sambung Wilson.
Setelah itu, katanya, terumbu karang mulai mengalami pemutihan yang ditandai memucatnya warna. Warna-warni terumbu karang yang menyolok mata memang sangat kaya dan bahkan selalu ada temuan baru pada spesies yang sudah dikenal.
Jika terumbu karang telah mati, maka yang tersisa cuma kerangka dasarnya, yaitu karang yang tidak memiliki daya ekologis memadai.
Kekayaan laut hayati diketahui ilmuwan biologi kelautan selalu berbanding lurus dengan kesehatan terumbu karangnya, karena salah satu habitat pemijahan ikan-ikan komersial berada dalam koloni terumbu karang itu.
"Indonesia ini sangat unik dan kaya, 75 persen jenis terumbu karang dunia ada di sini," kata Wilson.
Khusus untuk Bali, lanjut Wilson, banyak lokasi penyelaman yang menjadi indikator fenomena pemutihan terumbu karang, di antaranya di Desa Amed, Kabupaten Karangasem. Dia mengaku memperoleh data ini setelah masyarakat setempat mengadukan soal pemutihan terumbu karang kepadanya.
Pada Agustus 2009, katanya, TNC melakukan pengamatan di perairan itu dan mendapati 40 persen terumbu karang di sana telah memutih pada saat temperatur air laut mencapai 30 derajat Celcius.
Dari seluruh pantai utara dan timur Bali itu, pemutihan terumbu karang paling ringan terjadi di lokasi penyelaman Tulamben yang juga di Kabupaten Karangasem.
Kerusakan di sana cuma 10 persen yang diduga karena iklim mikro setempat masih lebih sejuk ketimbang di lokasi-lokasi lain.
Jenis-jenis terumbu karang yang memutih saat itu adalah Acropora piringan dan bercabang, Pocillopora, Stylophora, Montipora, Porites, Pavona, Hydnophora, Favites, Galaxea, Fungia, Ctenactis, Sandolitha, Astreopora, Symphyllia, Platygyra, Diploastrea, Heliopora, Lobophyllia, Millepora, Goniastrea, dan Pectinia.
Dari semua jenis itu, terumbu karang keras yang paling menderita adalah jenis Seriotopora, Pocillopora, Stylophora, dan Pavona. Tapi ada juga yang relatif tahan, diantaranya Porites.
Rupanya pemutihan itu juga melanda terumbu karang lunak, dari jenis Sarcophyton dan Sinularia, sampai pada jenis-jenis anemon dan zooanthid.
Pemutihan terumbu karang di Asia Tenggara saja diperkirakan telah berakibat pada kerugian ekonomi sampai 38,3 miliar dolar AS.
Itu baru dari aspek sosio-ekonomi, yang paling terasa adalah sektor pariwisata maritim dan perikanan tangkap laut serta industri-industri ikutannya.
Kerusakan massal terumbu karang seperti di Bali juga terjadi di Indonesia, ASEAN, dan Kawasan Indo-Pasifik.
Kawasan terakhir ini diketahui merupakan pusat utama kekayaan terumbu karang dunia dalam skala masif, dan boleh dikata kekayaan hayati laut yang dimanfaatkan langsung manusia berasal dari kawasan ini.
"Sampai saat ini relatif belum ada teknologi imbuhan manusia yang bisa diterapkan untuk mengatasi pemutihan terumbu karang ini. Hingga kini kita bisa cuma mengamati dan mencatat serta menganalisis serta memberi perkiraan tentang hal yang sudah terjadi dan yang akan terjadi," kata Wilson.
Secara analogi sama yang terjadi di daratan, Wilson menyatakan, terumbu karang yang adalah habitat plasma nutfah utama laut dunia itu kini sedang dalam ancaman bahaya besar. Masalah menjadi semakin pelik karena terumbu karang ada di dalam laut yang tidak bisa langsung dilihat manusia yang habitatnya di darat itu.
Hutan yang terbakar lebih mudah diamati dan diatasi, apalagi efeknya segera dirasakan manusia. Sebaliknya itu tak berlaku pada terumbu karang, padahal terumbu karang memainkan peran paling dasar dalam pola rantai makanan di lautan.
"Kalau pangkalnya sudah bermasalah maka ke hulu bisa lebih parah dan yang terjadi pada terumbu karang saat ini seperti kebakaran hutan global, tapi lokasinya di dasar lautan," demikian Wilson.(*)
Bahaya "Kebakaran Hutan" di Dasar Laut
25 Januari 2011 10:14 WIB
Seorang penyelam mendata terumbu karang yang mengalami pemutihan akibat naiknya suhu air laut yaitu dampak dari perubahan iklim di perairan Pantai Amed, Karangasem, Bali. (ANTARA/Nyoman Budhiana)
Oleh Ade P. Marboen
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011
Tags: