Jayapura (ANTARA) - Terlambat hanya sekitar sepuluh menit dari jadwal terbang seharusnya, pesawat Garuda Indonesia bernomor penerbangan GA0656 lepas landas meninggalkan Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng, Jakarta, langsung menuju Bandara Sentani di Jayapura, Kamis 30 September lalu sekitar pukul 00.15 WIB.

Terbang di atas ketinggian 36 ribu kaki atau sekitar 11.000 meter di atas permukaan laut, pesawat Boeing 737-800 itu menembus awan guna menjelajahi langit bersih di bawah tatapan bulan sabit memancarkan sinar keputihan di sepanjang separuh timur wilayah udara Indonesia dari Jakarta sampai ujung timur republik ini di Jayapura.

Garuda Indonesia menggunakan Boeing 737-800 untuk melayani rute jarak pendek dan regional termasuk untuk melayani penerbangan Jakarta – Jayapura ini. Untuk rute jarak menengah, maskapai BUMN ini mengerahkan armada Airbus A330-200/300/900neo, sedangkan Boeing B777-300ER mereka operasikan untuk membidik rute jarak jauh.

Mengutip laman maskapai raksasa nasional yang bergabung dengan salah satu dari tiga aliansi penerbangan terbesar di dunia SkyTeam pada 5 Maret 2014 itu, Garuda Indonesia saat ini memiliki total 142 pesawat yang di antaranya armada Boeing 737-800NG.

Dengan kecepatan sekitar 432 knot, Boeing-737 800 tujuan Jayapura ini bakal tiba 5 jam 25 menit kemudian di ibu kota Papua yang menjadi provinsi paling wetan Indonesia itu, pukul 05.40 WIB yang bertepatan dengan pukul 07.40 WIT (Waktu Indonesia Timur).

"Kecepatan (sekitar 432 knot) ini sama dengan kecepatan 800 km per jam kendaraan di darat," kata kapten Ricky Chandra yang memiloti pesawat ini, kepada para penumpang GA0656 saat sang pilot berangsur menaikkan ketinggian jelajah terbang pesawat yang dikemudikannya ke level aman 36 ribu kaki di atas permukaan laut.

Pesawat yang ditumpangi kebanyakan orang-orang yang terkait langsung dengan PON Papua 2021 itu, termasuk atlet-atlet berbagai provinsi, adalah penerbangan langsung paling jauh di Indonesia dan mungkin salah satu penerbangan domestik terjauh di dunia.

Penerbangan menempuh jarak 3.778 kilometer ini melebihi jarak dan waktu yang ditempuh penerbangan langsung intra-benua dari Paris di Prancis di bagian barat Eropa sampai Moskow di bagian timur Eropa di Rusia, yang di antaranya dioperasikan oleh maskapai Air France.

Air France membutuhkan waktu 3 jam 50 menit untuk mengangkut penumpang dari ibu kota Prancis yang juga pusat mode dunia itu, ke Moskow di bagian paling timur Eropa, yang jarak terbangnya sejauh 2.461 km. Ini lebih pendek dari jarak Jakarta ke Papua. Tetapi berbeda dari Jakarta -Jayapura yang hanya salah satu penerbangan domestik di Indonesia, penerbangan Paris - Moskow itu melintasi empat negara lainnya selain Prancis dan Rusia.


Lebih panjang

Penerbangan langsung Jakarta-Jayapura ini juga sedikit lebih jauh dan lebih lama dibandingkan penerbangan langsung yang menghubungkan kota paling barat di benua Australia di Perth dengan Brisbane yang berada di bagian paling timur Australia di Queensland.

Jarak terbang Perth - Brisbane mencapai 3.606 km dan memerlukan waktu sekitar 4 jam 20 menit untuk menempuh jarak sejauh itu. Dalam kata lain, sama dengan jika dibandingkan dengan penerbangan Paris - Moskow, rute Jakarta - Papua tetap lebih jauh dan lebih lama.

Penerbangan Soekarno-Hatta ke Papua ini juga masih lebih jauh dan lebih lama dibandingkan rute internasional Jakarta - Hong Kong, apalagi jika dibandingkan dengan penerbangan regional dari Jakarta ke ibu kota atau kota-kota utama di negara-negara Asia Tenggara mana pun, termasuk Yangon di Myanmar yang bersama Hanoi di Vietnam merupakan dua kota utama ASEAN yang berjarak paling jauh dari ibu kota Indonesia.

Penerbangan langsung Garuda dari Jakarta ke salah satu dari dua kota paling timur Indonesia yang berbatasan langsung dengan Papua New Guinea ini sebagian besar berlangsung di atas laut, tepatnya di atas Laut Jawa dan Laut Banda yang merupakan salah satu laut paling dalam di dunia.

Lepas Laut Banda, pesawat akan masuk langit daratan Papua, sekitar selama 40 menit sampai satu jam sampai pesawat mendarat di Bandara Sentani.

Bayangkan, ini baru Jakarta - Jayapura. Bagaimana kalau separuh timur wilayah Indonesia ini disambungkan dengan separuh baratnya, dari Banda Aceh atau Kota Sabang di ujung barat Indonesia?

Itu niscaya lebih luas lagi, sekitar dua kali lipat dari Jakarta - Jayapura. Dihitung-hitung, jarak Banda Aceh - Jayapura mencapai 5.126 kilometer.

Jarak sejauh itu melebihi jauh jarak dari Reykjavik di Islandia di ujung timur Eropa hanmpir di Atlantik Utara, ke Moskow di Rusia. Itu juga hanya berselisih 500 km dari jarak Rekykjavik ke Ankara di Turki yang kira-kira mencapai 5.677 km.

Indonesia memang ‘hanya’ negara dengan total wilayah terluas ke-14 di dunia, tetapi jarak dari tepi timur sampai tepi baratnya adalah salah satu yang terpanjang di dunia. Hanya Rusia, Amerika Serikat, dan Kanada yang mengalahkan panjang jarak tepi barat ke tepi timur Indonesia.

China, Brazil, India, Argentina, Kazakhstan, Kongo, Arab Saudi dan Meksiko yang semuanya memiliki total luas wilayah lebih besar dari Indonesia, tak memiliki bentangan tepi ke tepi sejauh dimiliki Indonesia.


Luas dan elok

Yang pasti gambaran itu mengilustrasikan betapa luas wilayah Indonesia. Dan manakala semua itu dilihat lebih dekat lagi, kesangat-luasan itu ternyata berdampingan dengan kesangat-kayaan Indonesia, tidak saja sumber daya alam dan keelokan wilayahnya, namun juga budaya dan tradisi para penghuninya.

Tentu saja yang terakhir ini tak bisa dikenali hanya dari ketinggian pesawat yang tengah menjelajah langit. Sebaliknya, Anda perlu merasakannya langsung dengan menjejakkan kaki di atas bumi Nusantara mana pun, termasuk Papua di mana PON Papua 2021 yang menjadi event olahraga besar nasional pertama era pandemi, digelar.

Namun, dari atas pesawat sekalipun, nuansa eksotis tanah Papua sudah terasa kuat dan terlihat lumayan jelas. Rangkaian hutan nan hijau dan tanah yang tak terlalu tersentuh polusi dan tangan jahil manusia terlihat indah dari ketinggian, sekaligus membangkitkan rasa kemanfaatannya bagi manusia dan kehidupan, termasuk menjadi paru-paru dunia.

Begitu mendarat, aura eksotisme itu kian besar saja, apalagi ketika tanah dipijak dan segala hal yang berada di atasnya dikenali, termasuk manusia-manusia yang menghuninya.

Tak banyak bangsa yang dikaruniai wilayah dan budaya sekaya dan seluas Indonesia. Sebaliknya, sedikit saja negara di dunia ini yang mengelola dengan begitu baik wilayah-wilayah yang tak hanya dipisahkan oleh laut dan teluk namun juga dibatasi adat istiadat dan budaya manusia yang bisa sangat berlain satu sama lain. Tapi dengan semua itu Indonesia lestari dan harmoni dalam bingkai sebuah negara.

Situasi ini terasa ironis jika dibandingkan dengan sebagian wilayah lain di dunia ini di mana beberapa negara hancur lebur atau kesulitan mempertahankan atau merawat eksistensinya karena terus dirongrong konflik, termasuk karena sektarianisme yang akut dan kerja yang tak pernah tuntas dalam mengharmonikan mayoritas dengan minoritas.

Indonesia tak seperti itu. Ini karena semua komponen masyarakat Indonesia berusaha terus mau mengenal satu sama lain sampai bisa memetik persamaan-persamaan yang membuat bangsa ini terus terikat dalam satu kesatuan.

Tapi itu semua mesti dirawat. Dan salah satu cara merawatnya adalah mendorong bangsa ini terus saling mengenal dengan saling mengunjungi dan saling berkomunikasi dengan meninggikan pluralisme, bukan primordialisme, meninggikan nasionalisme, bukan komunalisme, memuliakan persatuan dan kolektivisme, bukan sektarianisme dan kepartisanan.

Dengan cara seperti ini, kaum lebih sedikit merasa diayomi oleh kaum lebih banyak. Sebaliknya kaum lebih banyak merasa wajib meninggikan kaum lebih sedikit sehingga segala perbedaan pun lebih dilihat sebagai perekat untuk makin menyatu dan menjadi modal dalam menguatkan nasionalitas.

Namun begitu, jangan pernah menihilkan perbedaan, karena mengenali perbedaan malah bisa membantu mengidentifikasi kekurangan dan kekeliruan praktik bernegara yang pada akhirnya membuat negara selalu bisa menemukan cara dalam membuat bangsa ini makin menyatu hidup dalam harmoni.

Baca juga: PON Papua, prestasi olahraga dan industri wisata budaya
Baca juga: Budayawan: Atasi konflik Papua dengan pendekatan budaya
Baca juga: GTP UGM: Pendekatan sosial-budaya diperlukan tangani KKB Papua