Denpasar (ANTARA News) - Seniman lukis asal Bali I Wayan Sujana Suklu menggabungkan unsur tabuh dan tari Bali serta sastra ke dalam karya seni lukis dua dan tiga dimensi.

"Sejumlah karya itu sedang saya garap sebagai persiapan untuk menggelar pameran tunggal di sebuah galeri di perkampungan seniman Ubud, Agustus mendatang," kata I Wayan Sujana Suklu yang juga dosen seni lukis pada Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Kamis.

Ia mengatakan, aktivitas di luar proses belajar mengajar itu terfokus untuk menghasilkan karya seni sebagai persiapan untuk menggelar pameran yang telah ia jadwalkan.

Selain persiapan untuk menggelar pameran di Ubud, dia juga akan menggelar pameran tunggal di sebuah galeri bergengsi di Singapura selama dua minggu, mulai 16 Maret 2011.

"Sekarang saya betul-betul fokus untuk menyukseskan kedua pameran itu, tanpa mengenyampingkan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang dosen," ujarnya.

Karya kanvas yang dihasilkan sosok Sujana oleh pencinta dan pengamat seni dinilai cukup bermutu dan menjadi sasaran para kolektor seni rupa. Bahkan salah satu karya seninya pernah lolos dalam Bienale Beijing, China 2008.

Budayawan asal Prancis Dr Jean Cauteu yang sudah puluhan tahun menetap di Bali menilai, lambang-lambang yang tergores dalam kanvas karya I Wayan Sujana Suklu tersirat bahwa sebagian masyarakat Bali lupa akan kulturnya.

Sosok Sujana Suklu sendiri menyadari, betapa pentingnya memiliki suatu sikap kritis yang bertitik pijak pada kultur lokal guna menghindari alienasi.

Identitas tersebut tercermin dalam pola stilistik dasar repetitif seri karya abstrak "geometris" yang memang menjadi bagian dari pekerjaan kreatifnya yang digeluti selama puluhan tahun.

"Salah satu ciri yang paling menonjol dari estetika Bali, baik dalam musik, tarian maupun seni rupa, adalah pengulangan atau semi pengulangan dari patron-patron. Jadi yang dikombinasikan satu sama lain secara musikal, dengan irama gamelan, kelincahan olah tubuh maupun tembang-tembang bersuara emas dalam sastra Jawa kuno (Sansekerta) sebagai benang merah keutuhannya," ujar Jean Cauteu. (I006/M026/K004)