Artikel
Luhut dan ujian kebebasan berekspresi
Oleh Edy Sujatmiko
30 September 2021 19:39 WIB
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melaporkan Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulida ke Polda Metro Jaya atas dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks, Rabu (22/9). ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat
Jakarta (ANTARA) - Aktivis Haris Azhar agaknya tak menduga unggahan pada akun di media sosial Youtube "NgeHAMtam" miliknya pada 20 Agustus 2021 akan bermasalah.
Jika ditonton videonya saat itu, tampak seperti tidak ada sesuatu yang berarti dan diskusi dalam tayangan berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga ada!!" berdurasi 26 menit 51 detik itu, berjalan lancar.
Diskusi terasa gayeng dan menghadirkan dua nara sumber yakni pertama, pengurus organisasi pegiat lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dari Papua dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti.
Isi diskusi saat itu adalah memperbincangkan laporan dari riset terbaru sejumlah organisasi non pemerintah (non goverment organization/NGO) tentang bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI di balik bisnis tambang emas atau rencana eksploitasi wilayah Blok Wabu di Intan Jaya, Papua.
Namun, siapa duga, ternyata materi diskusi yang sampai Rabu (29/9) pukul 17.53 WIB telah ditonton 320.634 kali oleh publik itu telah membuat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) memperkarakan dengan melaporkannya kepada polisi.
Luhut datang ke Polda Metro Jaya pada Rabu (22/9) guna melaporkan Haris dan aktivis lainnya atas dugaan penyebaran berita bohong dalam tayangan Youtube itu.
Tentu saja, laporan itu berkaitan dengan dugaan pelanggaran terhadap Undang Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ternyata tidak hanya itu, Menko Marves juga melaporkan dugaan pidana umum terkait fitnah dan pencemaran nama baik, termasuk perdata di dalamnya.
Kuasa hukum Luhut Panjaitan, Juniver Girsang menyebut, Luhut melaporkan setidaknya pelanggaran tiga pasal di UU ITE dan pidana umum. Sedangkan perdatanya, Luhut akan menggugat kedua terlapor sebesar Rp100 miliar.
Jika hal itu nantinya dikabulkan oleh hakim maka akan disumbangkan kepada masyarakat Papua.
Laporan polisi itu telah diterima Polda Metro Jaya dan terdaftar dengan nomor laporan polisi: STTLP/B/4702/IX/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA tanggal 22 September 2021.
Baca juga: Luhut laporkan Haris Azhar dan Fatia Maulida ke Polda Metro
Baca juga: Polisi terima laporan Luhut terhadap Haris Azhar-Fatia Maulidiyanti
Materi sensitif
Publik tak ayal dibuat kaget dan drama pejabat menggugat aktivis ini.
Sejumlah pertanyaan muncul ke permukaan, ada apakah sebenarnya? Benarkah ada sesuatu yang sangat krusial sehingga seorang pejabat negara merasa perlu untuk memperkarakan sebuah diskusi di ruang publik atau media sosial? Benarkah pola ini akan mengancam kebebasan berekspresi di republik ini?
Jika menilik diskusi itu, sebenarnya tak ada yang baru jika hanya menyimak hasil sebuah riset atau penilaian ilmiah oleh sebuah lembaga terhadap sebuah persoalan.
Namun, ternyata kesimpulan yang menyimpang dan melenceng dari substansi dan bernada tendensius yang belum tentu benar, meski itu hanya sebuah pernyataan pendek, bisa berimplikasi lain.
Pada berbagai kesempatan, kuasa hukum LBP, Juniver Girsang menjelaskan, objek tindak pidana yang diduga dilakukan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dan Direktur Lokataru Haris Azhar adalah berpusat pada pencemaran nama baik dan fitnah.
Jika ditelusuri pada tayangan video itu tampaknya dipicu oleh ucapan Fatia Maulidiyanti pada menit 14.26.
"Luhut bisa dibilang bermain, di dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini," kata Fatia dalam video tersebut.
Bahkan sebelum menyebut nama Luhut, Fatia menjelaskan tentang dugaan keterlibatan PT Tobacom Del Mandiri dalam pertambangan di Blok Wabu. Korporasi itu lantas disebut sebagai anak usaha Toba Sejahtera Group.
"Kita tahu juga bahwa Toba Sejahtera Group ini juga dimiliki sahamnya oleh salah satu pejabat kita," kata Fatia dalam video. "Siapa?," tanya Haris Azhar.
"Namanya adalah Luhut Binsar Pandjaitan," kata Fatia.
"LBP, The Lord," kata Haris Azhar membalas.
Itulah tampaknya dua kata dan pernyataan kunci yang cukup sensitif karena isinya sudah sangat jelas bertendensi dan menuduh keterlibatan seseorang.
Karena itu, pihak Luhut sebagaimana disampaikan Juniver sudah berusaha melayangkan somasi kepada mereka agar hal itu diklarifikasi. Jika dinilai tidak benar hendaknya punya itikad baik seperti minta maaf dan sebagainya.
Namun, upaya itu tidak berbalas sesuai dengan harapan.
Juniver pun pada sebuah diskusi pada tayangan televisi swasta nasional menegaskan, dirinya sudah mempelajari hasil riset itu dan ternyata tak ada kesimpulan yang mengarah kepada keterlibatan kliennya.
Bahkan, seusai memenuhi panggilan Polda Metro Jaya pada Senin (27/9), Luhut menegaskan, dirinya tidak punya keterlibatan dengan bisnis pertambangan di Papua. Dia meminta kepada Haris Ashar untuk membuka ke publik hasil risetnya itu.
Baca juga: Luhut tegaskan tidak ada kriminalisasi terkait laporannya
Baca juga: Pengacara: Laporan Luhut ke Haris dan Fatia "judicial harassment" Pelecehan hukum
Tanggapan berbeda tentu disampaikan oleh kubu Haris Azhar dan Fatia melalui kuasa hukumnya, Nurkholis Hidayat.
Mereka menilai langkah yang dilakukan yang dilakukan LBP melaporkan Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras
Fatia Maulidiyanti ke Kepolisian merupakan pelecehan terhadap hukum (judicial harassment).
“Upaya hukum baik perdata atau pidana, bagi kami itu 'judicial harassment' (pelecehan terhadap hukum),” kata Nurkholis.
Nurkholis menyebutkan pihak LBP belum memberi klarifikasi, jawaban, data-data dan hasil kajian pembanding yang diminta oleh pihak Haris Azhar.
LBP hanya melayangkan somasi sebanyak tiga kali, kemudian lapor ke Kepolisian.
Karena itu, Haris belum berniat meminta maaf atau mengklarifikasi pernyataannya dalam sesi wawancara bersama Fatia yang disiarkan di media sosial Youtube.
Alasannya, LBP belum membantah dengan data-data valid hasil kajian koalisi masyarakat sipil bersihkan Indonesia.
Hasil kajian itu menjadi rujukan pernyataan para terlapor pada sesi wawancara.
Kajian itu menduga adanya kepentingan bisnis yang mendorong operasi militer di Intan Jaya, Papua. Dalam kajian itu, LBP menjadi salah satu pejabat publik yang terkena sorotan.
Penasihat hukum Fatia, Asfinawati juga mengingatkan pernyataan Koordinator Kontras ditujukan pada LBP sebagai pejabat publik, bukan pribadi.
Menurut dia, publik harusnya berterima kasih kepada kedua aktivis itu karena menyuarakan kepentingan publik.
Publik, menurut Ketua YLBHI ini, punya kepentingan untuk mengawasi para pejabat agar mereka tidak terjebak dalam konflik kepentingan dan menjalankan tugasnya sesuai ketentuan.
Seharusnya yang mengawasi pemerintah itu masyarakat, bukan terbalik pemerintah mengawasi rakyat, bahkan mengkriminalisasi rakyat.
"Itu ciri-ciri pemerintah otoriter, karena pemerintah mengawasi rakyat,” kata Asfinawati.
Baca juga: Polda Metro segera undang Luhut terkait laporan terhadap Haris Azhar
Baca juga: Luhut penuhi undangan klarifikasi Polda Metro Jaya
Keadilan restoratif
Publik kini berharap agar persoalan pejabat gugat aktivis semacam ini setidaknya tidak mengemuka di tengah kondisi upaya pemulihan dari krisis akibat pandemi hampir dua tahun ini.
Memang, saat video itu dibuat semangatnya adalah salah satu bentuk pengawasan publik kepada pemerintah, sekaligus wujud kebebasan berekspresi.
Namun, hal itu menjadi berbeda jika kebebasan berekspresi itu menyentuh wilayah personal dan tendensius. Apalagi jika nantinya terbukti di pengadilan, tudingan itu tidak terbukti.
Maka, sangat dimaklumi jika ke depan, ada harapan agar para aktivis itu juga berhati-hati dengan kebebasan ekspresi itu sendiri.
Karena sejatinya, kebebasan berekspresi, menurut kaca mata hukum positif di Indonesia, masih dibatasi oleh hak azasi orang lain juga.
Selain itu, andai saat video itu dibuat dan ternyata ada materi sensitif yang menyinggung pihak lain, lalu dibuatkan segera klarifikasi dan mengundang pihak yang sebelumnya tertuduh oleh muatan sensitif itu, mungkin ceritanya akan berbeda.
Artinya, jika ada keseimbangan dalam penyampaian ekspresi itu disertai dengan pola berimbang (cover both side) maka persoalan hukum semacam ini dimungkinkan tidak terjadi.
Kini, akhirnya bisa berharap agar laporan LBP ini akan menjadi pelajaran berharga bagi kebebasan berekspresi di negeri ini.
Kemudian, publik pun punya harapan baru terhadap akhir dari penyelesaian kasus itu agar penegak hukum bisa mengedepankan pendekatan "restorative justice" dalam penanganan perkara dugaan pencemaran nama baik LBP itu.
Tentu ada harapan agar terwujud kesepakatan damai di antara mereka.
Namun, jika tidak, semoga dalam prosesnya nanti hingga di pengadilan, publik pun mendapatkan pelajaran berharga, termasuk bagi para aktivis di republik ini.
Jika ditonton videonya saat itu, tampak seperti tidak ada sesuatu yang berarti dan diskusi dalam tayangan berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga ada!!" berdurasi 26 menit 51 detik itu, berjalan lancar.
Diskusi terasa gayeng dan menghadirkan dua nara sumber yakni pertama, pengurus organisasi pegiat lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dari Papua dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti.
Isi diskusi saat itu adalah memperbincangkan laporan dari riset terbaru sejumlah organisasi non pemerintah (non goverment organization/NGO) tentang bisnis para pejabat atau purnawirawan TNI di balik bisnis tambang emas atau rencana eksploitasi wilayah Blok Wabu di Intan Jaya, Papua.
Namun, siapa duga, ternyata materi diskusi yang sampai Rabu (29/9) pukul 17.53 WIB telah ditonton 320.634 kali oleh publik itu telah membuat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) memperkarakan dengan melaporkannya kepada polisi.
Luhut datang ke Polda Metro Jaya pada Rabu (22/9) guna melaporkan Haris dan aktivis lainnya atas dugaan penyebaran berita bohong dalam tayangan Youtube itu.
Tentu saja, laporan itu berkaitan dengan dugaan pelanggaran terhadap Undang Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ternyata tidak hanya itu, Menko Marves juga melaporkan dugaan pidana umum terkait fitnah dan pencemaran nama baik, termasuk perdata di dalamnya.
Kuasa hukum Luhut Panjaitan, Juniver Girsang menyebut, Luhut melaporkan setidaknya pelanggaran tiga pasal di UU ITE dan pidana umum. Sedangkan perdatanya, Luhut akan menggugat kedua terlapor sebesar Rp100 miliar.
Jika hal itu nantinya dikabulkan oleh hakim maka akan disumbangkan kepada masyarakat Papua.
Laporan polisi itu telah diterima Polda Metro Jaya dan terdaftar dengan nomor laporan polisi: STTLP/B/4702/IX/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA tanggal 22 September 2021.
Baca juga: Luhut laporkan Haris Azhar dan Fatia Maulida ke Polda Metro
Baca juga: Polisi terima laporan Luhut terhadap Haris Azhar-Fatia Maulidiyanti
Materi sensitif
Publik tak ayal dibuat kaget dan drama pejabat menggugat aktivis ini.
Sejumlah pertanyaan muncul ke permukaan, ada apakah sebenarnya? Benarkah ada sesuatu yang sangat krusial sehingga seorang pejabat negara merasa perlu untuk memperkarakan sebuah diskusi di ruang publik atau media sosial? Benarkah pola ini akan mengancam kebebasan berekspresi di republik ini?
Jika menilik diskusi itu, sebenarnya tak ada yang baru jika hanya menyimak hasil sebuah riset atau penilaian ilmiah oleh sebuah lembaga terhadap sebuah persoalan.
Namun, ternyata kesimpulan yang menyimpang dan melenceng dari substansi dan bernada tendensius yang belum tentu benar, meski itu hanya sebuah pernyataan pendek, bisa berimplikasi lain.
Pada berbagai kesempatan, kuasa hukum LBP, Juniver Girsang menjelaskan, objek tindak pidana yang diduga dilakukan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dan Direktur Lokataru Haris Azhar adalah berpusat pada pencemaran nama baik dan fitnah.
Jika ditelusuri pada tayangan video itu tampaknya dipicu oleh ucapan Fatia Maulidiyanti pada menit 14.26.
"Luhut bisa dibilang bermain, di dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini," kata Fatia dalam video tersebut.
Bahkan sebelum menyebut nama Luhut, Fatia menjelaskan tentang dugaan keterlibatan PT Tobacom Del Mandiri dalam pertambangan di Blok Wabu. Korporasi itu lantas disebut sebagai anak usaha Toba Sejahtera Group.
"Kita tahu juga bahwa Toba Sejahtera Group ini juga dimiliki sahamnya oleh salah satu pejabat kita," kata Fatia dalam video. "Siapa?," tanya Haris Azhar.
"Namanya adalah Luhut Binsar Pandjaitan," kata Fatia.
"LBP, The Lord," kata Haris Azhar membalas.
Itulah tampaknya dua kata dan pernyataan kunci yang cukup sensitif karena isinya sudah sangat jelas bertendensi dan menuduh keterlibatan seseorang.
Karena itu, pihak Luhut sebagaimana disampaikan Juniver sudah berusaha melayangkan somasi kepada mereka agar hal itu diklarifikasi. Jika dinilai tidak benar hendaknya punya itikad baik seperti minta maaf dan sebagainya.
Namun, upaya itu tidak berbalas sesuai dengan harapan.
Juniver pun pada sebuah diskusi pada tayangan televisi swasta nasional menegaskan, dirinya sudah mempelajari hasil riset itu dan ternyata tak ada kesimpulan yang mengarah kepada keterlibatan kliennya.
Bahkan, seusai memenuhi panggilan Polda Metro Jaya pada Senin (27/9), Luhut menegaskan, dirinya tidak punya keterlibatan dengan bisnis pertambangan di Papua. Dia meminta kepada Haris Ashar untuk membuka ke publik hasil risetnya itu.
Baca juga: Luhut tegaskan tidak ada kriminalisasi terkait laporannya
Baca juga: Pengacara: Laporan Luhut ke Haris dan Fatia "judicial harassment" Pelecehan hukum
Tanggapan berbeda tentu disampaikan oleh kubu Haris Azhar dan Fatia melalui kuasa hukumnya, Nurkholis Hidayat.
Mereka menilai langkah yang dilakukan yang dilakukan LBP melaporkan Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras
Fatia Maulidiyanti ke Kepolisian merupakan pelecehan terhadap hukum (judicial harassment).
“Upaya hukum baik perdata atau pidana, bagi kami itu 'judicial harassment' (pelecehan terhadap hukum),” kata Nurkholis.
Nurkholis menyebutkan pihak LBP belum memberi klarifikasi, jawaban, data-data dan hasil kajian pembanding yang diminta oleh pihak Haris Azhar.
LBP hanya melayangkan somasi sebanyak tiga kali, kemudian lapor ke Kepolisian.
Karena itu, Haris belum berniat meminta maaf atau mengklarifikasi pernyataannya dalam sesi wawancara bersama Fatia yang disiarkan di media sosial Youtube.
Alasannya, LBP belum membantah dengan data-data valid hasil kajian koalisi masyarakat sipil bersihkan Indonesia.
Hasil kajian itu menjadi rujukan pernyataan para terlapor pada sesi wawancara.
Kajian itu menduga adanya kepentingan bisnis yang mendorong operasi militer di Intan Jaya, Papua. Dalam kajian itu, LBP menjadi salah satu pejabat publik yang terkena sorotan.
Penasihat hukum Fatia, Asfinawati juga mengingatkan pernyataan Koordinator Kontras ditujukan pada LBP sebagai pejabat publik, bukan pribadi.
Menurut dia, publik harusnya berterima kasih kepada kedua aktivis itu karena menyuarakan kepentingan publik.
Publik, menurut Ketua YLBHI ini, punya kepentingan untuk mengawasi para pejabat agar mereka tidak terjebak dalam konflik kepentingan dan menjalankan tugasnya sesuai ketentuan.
Seharusnya yang mengawasi pemerintah itu masyarakat, bukan terbalik pemerintah mengawasi rakyat, bahkan mengkriminalisasi rakyat.
"Itu ciri-ciri pemerintah otoriter, karena pemerintah mengawasi rakyat,” kata Asfinawati.
Baca juga: Polda Metro segera undang Luhut terkait laporan terhadap Haris Azhar
Baca juga: Luhut penuhi undangan klarifikasi Polda Metro Jaya
Keadilan restoratif
Publik kini berharap agar persoalan pejabat gugat aktivis semacam ini setidaknya tidak mengemuka di tengah kondisi upaya pemulihan dari krisis akibat pandemi hampir dua tahun ini.
Memang, saat video itu dibuat semangatnya adalah salah satu bentuk pengawasan publik kepada pemerintah, sekaligus wujud kebebasan berekspresi.
Namun, hal itu menjadi berbeda jika kebebasan berekspresi itu menyentuh wilayah personal dan tendensius. Apalagi jika nantinya terbukti di pengadilan, tudingan itu tidak terbukti.
Maka, sangat dimaklumi jika ke depan, ada harapan agar para aktivis itu juga berhati-hati dengan kebebasan ekspresi itu sendiri.
Karena sejatinya, kebebasan berekspresi, menurut kaca mata hukum positif di Indonesia, masih dibatasi oleh hak azasi orang lain juga.
Selain itu, andai saat video itu dibuat dan ternyata ada materi sensitif yang menyinggung pihak lain, lalu dibuatkan segera klarifikasi dan mengundang pihak yang sebelumnya tertuduh oleh muatan sensitif itu, mungkin ceritanya akan berbeda.
Artinya, jika ada keseimbangan dalam penyampaian ekspresi itu disertai dengan pola berimbang (cover both side) maka persoalan hukum semacam ini dimungkinkan tidak terjadi.
Kini, akhirnya bisa berharap agar laporan LBP ini akan menjadi pelajaran berharga bagi kebebasan berekspresi di negeri ini.
Kemudian, publik pun punya harapan baru terhadap akhir dari penyelesaian kasus itu agar penegak hukum bisa mengedepankan pendekatan "restorative justice" dalam penanganan perkara dugaan pencemaran nama baik LBP itu.
Tentu ada harapan agar terwujud kesepakatan damai di antara mereka.
Namun, jika tidak, semoga dalam prosesnya nanti hingga di pengadilan, publik pun mendapatkan pelajaran berharga, termasuk bagi para aktivis di republik ini.
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2021
Tags: