Jakarta (ANTARA News) - Vonis tujuh tahun penjara dan denda sebesar 300 juta rupiah yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus mafia pajak Gayus Halomoan Partahanan Tambunan oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (19/1), mengundang tanggapan beragam dari masyarakat.
Sebagian menilai vonis itu terlalu ringan, sebagian menganggapnya biasa saja, namun ada juga yang mengaku bosan mengikuti kasus ini.
"Kasus Gayus itu persoalan besar, masa hukumannya hanya tujuh tahun?" kata Lukman Hakim (33), pegawai perusahaan pembiayaan di kawasan Ampera, Jakarta Selatan.
Dia menilai vonis tujuh tahun kepada Gayus terlalu ringan karena tidak sebanding dengan pelanggaran hukum yang diperbuatnya.
Lukman menilai kasus Gayus itu penuh dengan rekayasa dan nuansa politiknya kental. "Rakyat seperti saya hanya bisa menggelengkan kepala saja melihat putusan itu," katanya.
Penilaian relatif senada disampaikan Eko Djatmiko (27), pedagang rokok di Jakarta Selatan. Dia malah menyebut vonis tujuh tahun itu main-main dan rekayasa.
"Lihat saja wajah Gayus, tidak ada beban, saya kira hukumannya harus seumur hidup," katanya.
Vonis dan kasus Gayus ternyata menyita perhatian semua lapisan masyarakat, termasuk anak-anak muda, seperti Widya Larasati.
Gadis berusia 17 tahun yang siswi sebuah SMK di Pejaten ini menilai hukuman selama itu tak akan menjamin negara bersih dari korupsi. "Yang pasti para koruptor dan mafia pajak tak akan jera," katanya.
Tak percaya
Dalam persidangan Rabu siang tadi, Gayus mengaku dijebak oleh suatu kalangan, dalam perkara yang didakwakan kepadanya itu. Namun sebagian kalangan masyarakat meragukan pengakuan Gayus tersebut.
"Saya tidak percaya kalau Gayus dijebak," kata Rendi Surya Atmaja (31), pegawai PT Pos Indonesia.
Ia justru heran dengan sepak terjang seorang pegawai negeri sipil Dirjen Pajak golongan III A yang bisa melakukan aksi yang sensasional, termasuk pergi ke Bali dan ke luar negeri selagi berstatus tahanan.
"Mana bisa itu terjadi, kalau tak bersekongkol melalui membagi-bagi uang hasil korupsi dengan orang dalam? Jangan mengaku-ngaku dijebak deh," katanya.
Sebaliknya, Wijaya Rahardian (40), menganggap putusan hukuman penjara tujuh tahun kepada Gayus itu sebagai hal biasa karena memang terbukti dinyatakan melakukan korupsi oleh hakim.
Yang luar biasa adalah, sambung karyawan swasta di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan itu, adalah kalau kasus itu direkayasa dan dipolitisasi.
"Saya kasihan sama Gayus dia sudah ngaku ikan teri, tetapi masih saja terus dijadikan sasaran tembak," ungkapnya.
Wijaya menilai jika otak di belakang kasus Gayus atau "big fish"-nya belum tersentuh, maka semua orang semestinya mengetahui bahwa Gayus tidak sendirian melakukan kejahatannya. "Tetapi mengapa yang lain tidak dijerat bahkan tersentuh saja tidak?" tanyanya.
Pandangan unik diutarakan Arifin Himawan (37), seorang pedagang alata-alat listrik di Jakarta.
Dia menaksir Gayus paling-paling akan menjalani masa tahanannya lebih singkat ketimbang vonis yang ditajatuhkan hakim kepadanya.
"Dipotong masa tahanan dan tiap tahun mendapat remisi setiap hari raya, belum lagi Gayus kan memiliki banyak uang. Maka boleh dibilang hukuman sebenarnya paling hanya empat tahun," katanya.
Makin Rumit
Vonis yang dianggap terlalu rendah, mister-misteri yang dinilai masyarakat begitu tebal menyelimuti kasus ini, dan tuduhan Gayus kepada sejumlah pihak setelah dia divonis, membuat masyarakat semakin melihat kasus ini menjadi bertambah rumit.
"Saya makin tidak paham kasusnya," kata Ahmad Jamhari (29), petugas sebuah SPBU di kawasan Ampera, Jakarta Selatan.
Ia mengaku tidak mengerti mengapa kasus Gayus yang sepengetahuan berkaitan dengan soal mafia pajak, namun yang dibesar-besarkan adalah kasus paspor. "Saya makin bingung setelah muncul lagu 'Andai Aku Jadi Gayus," tambah Ahmad.
Pernyataan Ahmad ini diamini oleh Dewi Putrantiwi (26), karyawati Pejaten Village Mall, dengan menilai Kasus Gayus ini sudah melebar kemana-mana.
"Saya bingung sama kasus Gayus, maunya apa sih itu orang?" tanya Dewi.
Sejumlah orang lainnya menilai kasus Gayus ini akan terus bergulir, meskipun mantan pegawai Ditjen Pajak ini sudah divonis penjara tujuh tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Masih ada pihak yang ingin mempolitisasi dan membuat panjang kasus ini," kata Faisal Riza (33), karyawan bengkel mobil di Jakarta.
Dia malah berkata, "Kalau saya jadi Gayus, saya pasti akan lari ke luar negeri daripada dibuat rekayasa terus."
Lain lagi dengan Ana Ekawati (24), karyawati Adira Finance, Jakarta Selatan. Dia menilai kasus mafia pajak Gayus Tambunan menjadi pelajaran berharga bagi penegakan hukum, terutama untuk polisi dan jaksa agar lebih tegas lagi menghadapi koruptor.
"Polisi dan jaksa kurang tegas, kesannya malah seperti tidak berdaya sama Gayus," katanya. (*)
Vonis Gayus dalam Pandangan Masyarakat
Oleh Yudha Pratama
19 Januari 2011 22:19 WIB
Terdakwa kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan mengusap mata saat mendengarkan pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (19/1). Gayus divonis tujuh tahun penjara, denda Rp300 juta dan subsider tiga bulan. (FOTO ANTARA/Prasetyo Utomo )
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011
Tags: