Surabaya (ANTARA News) - Penggagas "Gerakan Indonesia Mengajar" Anies Baswedan PhD menyatakan Indonesia saat ini mengalami kekurangan guru hingga 34 persen, baik di kota, di desa, maupun daerah terpencil.

"Kekurangan guru di kota mencapai 21 persen, kekurangan guru di desa mencapai 37 persen, dan kekurangan guru di daerah terpencil mencapai 66 persen. Kalau rata-rata, seluruh Indonesia kurang 34 persen," katanya di Surabaya, Rabu.

Rektor Universitas Paramadina Jakarta itu mengemukakan hal itu saat melakukan sosialisasi "Gerakan Indonesia Mengajar" di Gedung Rektorat ITS Surabaya dan di Gedung Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa).

Menurut dia, Indonesia sebenarnya sudah mengalami kemajuan yang luar biasa, karena jumlah penduduk melek huruf pada tahun 1945 hanya lima persen, sedangkan tahun 2010 sudah mencapai 92 persen, padahal di India masih ada 40 persen warganya yang belum melek huruf.

"Itu kemajuan yang luar biasa, tapi kita nggak merasa mengalami hal itu, karena sekarang kita banyak bicara kegagalan. Tahun 1945, masyarakat kita optimistis dalam keterbatasan fasilitas, tapi sekarang kita pesimistis saat fasilitas cukup banyak," katanya.

Namun, katanya, kemajuan Indonesia itu tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai tingkat "advance" (mampu menyelesaikan masalah) yakni satu persen.

"Kalau penduduk Taiwan, Korea, Singapura, dan Hong Kong mencapai 30-45 persen yang `advance`, meski jumlah satu persen bagi penduduk Indonesia itu cukup besar, karena jumlah penduduknya 220 juta lebih," katanya.

Ia mengatakan rendahnya kualitas penduduk Indonesia dibandingkan negara lain itu terlihat dari jumlah penduduk SD yang melanjutkan hingga perguruan tinggi yakni penduduk yang menempuh pendidikan tingkat SD mencapai 4,6 juta, tapi hanya 6,5 persen yang sempat kuliah.

"Jadi, ada tiga jutaan yang hilang, karena itu kami mengundang sarjana yang terdidik untuk mau mengajar kepada bangsanya yang tertinggal akibat minimnya fasilitas dan keterbatasan lainnya," katanya.

Hal itu, katanya, penting, karena guru merupakan ujung tombak untuk meningkatkan kemajuan bangsa Indonesia, sebab sebagus apapun program atau kurikulum pendidikan yang dicanangkan pemerintah, maka hal itu tidak ada artinya bila tidak ada guru yang berkualitas.

"Kami menantang para sarjana untuk menyalakan lilin di tengah kegelapan daripada mengecam kegelapan tanpa berbuat apapun, karena itu Indonesia Mengajar adalah gerakan, bukan program, karena mengajar adalah tanggung jawab kita semua sesuai termaktub dalam UUD 1945 yakni mencerdaskan," katanya.

Ada dua tujuan dari Gerakan Indonesia Mengajar yakni mengirim sarjana yang terdidik ke sekolah yang kekurangan guru dengan prioritas SD, pengajar `Indonesia Mengajar` akan dapat menjadi "model" bagi masyarakat terpelosok untuk cita-cita anaknya.

"Ada warga terpelosok umumnya yang hanya bercita-cita anaknya menjadi sopir angkutan umum, karena model paling tinggi di sana memang hanya itu, tapi kalau ada mahasiswa terdidik yang datang ke sana, maka mereka bisa bermimpi anaknya seperti para sarjana itu," katanya.

Di balik dua manfaat itu, katanya, pengajar dari "Gerakan Indonesia Mengajar" yang hanya dibatasi satu tahun mengajar itu akan menjadi pemimpin di segala sektor yang peduli kepada dunia pendidikan, karena mereka sudah tahu masalah yang dihadapi rakyatnya.

"Itu pelatihan kepemimpinan selama setahun yang luar biasa, karena pengalaman setahun di desa dan anak-anak di desa itu akan menjadi memori yang kuat, sehingga para pemuda terdidik yang mempunyai kompetensi global akan tetap memahami akar masalah rakyatnya," katanya.

Angkatan pertama (2010), Gerakan Indonesia Mengajar telah memberangkatkan 51 pengajar muda di Kabupaten Bengkalis (Riau), Kabupaten Tulang Bawang Barat (Lampung), Kabupaten Paser (Kalimantan Timur), Kabupaten Majene (Sulawesi Barat), dan Kabupaten Halmahera Selatan (Maluku Utara).

Tahun 2011, Gerakan Indonesia Mengajar menargetkan 200 pengajar muda dengan lima provinsi, tapi akan ditambahkan untuk pulau-pulau terluar. Sebelum berangkat, mereka mendapatkan pelatihan selama 7 (tujuh) minggu di Ciawi, Jawa Barat, tentang ilmu pengajaran dan cara hidup di lokasi terpencil.(*)
(ANT/R009)