Akademikus: Tingginya biaya kampanye dapat turunkan kualitas demokrasi
28 September 2021 18:08 WIB
Tangkapan layar ketika Profesor Comparative Political Anthropology Universitas Amsterdam Ward Berenschot memaparkan materi dalam seminar bertajuk “Indonesia Dalam Persimpangan Oligarki dan Demokrasi” yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Greenpeace Indonesia, Selasa (28/9/2021). ANTARA/Putu Indah Savitri
Jakarta (ANTARA) - Profesor Comparative Political Anthropology Universitas Amsterdam Ward Berenschot mengatakan bahwa kampanye yang berbiaya tinggi dalam pemilihan umum dapat menurunkan kualitas pemerintah dan demokrasi.
"Hanya kandidat kaya yang dapat berpartisipasi jika pemilu berbiaya tinggi," kata Ward ketika memaparkan materi dalam seminar bertajuk Indonesia dalam Persimpangan Oligarki dan Demokrasi yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Greenpeace Indonesia, Selasa.
Ward juga berpendapat bahwa biaya kampanye yang tinggi mengakibatkan kandidat pemilu menerima bantuan berupa dana kampanye dari perusahaan-perusahaan atau oknum-oknum yang memiliki kepentingan kelompok masing-masing.
Menurut dia, tidak jarang kepentingan kelompok tersebut dapat berdampak buruk bagi publik, khususnya terkait dengan pengelolaan sumber daya alam.
"Politikmus perlu mengembalikan investasi mereka dengan menggunakan kekuasaan," ucap peneliti senior ini.
Penggunaan kekuasaan untuk mengembalikan investasi milik pihak-pihak penyumbang berpotensi menjadi salah satu wujud penyalahgunaan kekuasaan yang menurunkan kualitas demokrasi.
Selain itu, akan terbentuk relasi kuasa antara pihak donor dan politikus yang menjabat sebagai pemerintah. Relasi kuasa tersebut, menurut Ward, mengurangi kapasitas pemerintah dalam menegakkan regulasi.
Adapun yang mengakibatkan tingginya biaya kampanye, lanjut Ward, yakni mahar politik, pembentukan tim sukses, praktik politik transaksional sebagai upaya membeli suara, dan para kandidat yang perlu mengeluarkan biaya untuk membayar saksi di TPS.
Oleh karena itu, Ward berpendapat bahwa Indonesia membutuhkan perbaikan terhadap persoalan biaya kampanye. Perbaikan tersebut dapat menjadi strategi yang signifikan dan efektif untuk mengatasi korupsi, meningkatkan mutu layanan publik, pengelolaan sumber daya alam, dan memperkuat kapasitas regulasi negara.
Ward menyebut upaya perbaikan tersebut sebagai reformasi pemilu. Mengurangi biaya kampanye dapat dengan meningkatkan pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Selain itu, Pemerintah bisa menghentikan praktik mahar politik dan meningkatkan dana negara untuk partai politik, serta mengurangi kebutuhan pemilu, seperti mengimplementasikan e-voting (pemungutan suara berbasis elektronik).
Baca juga: Perlu berpikir ulang terkait opsi model keserentakan pemilu
Baca juga: Akademikus: Negara jamin masyarakat tidak golput gegara belum divaksin
"Hanya kandidat kaya yang dapat berpartisipasi jika pemilu berbiaya tinggi," kata Ward ketika memaparkan materi dalam seminar bertajuk Indonesia dalam Persimpangan Oligarki dan Demokrasi yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Greenpeace Indonesia, Selasa.
Ward juga berpendapat bahwa biaya kampanye yang tinggi mengakibatkan kandidat pemilu menerima bantuan berupa dana kampanye dari perusahaan-perusahaan atau oknum-oknum yang memiliki kepentingan kelompok masing-masing.
Menurut dia, tidak jarang kepentingan kelompok tersebut dapat berdampak buruk bagi publik, khususnya terkait dengan pengelolaan sumber daya alam.
"Politikmus perlu mengembalikan investasi mereka dengan menggunakan kekuasaan," ucap peneliti senior ini.
Penggunaan kekuasaan untuk mengembalikan investasi milik pihak-pihak penyumbang berpotensi menjadi salah satu wujud penyalahgunaan kekuasaan yang menurunkan kualitas demokrasi.
Selain itu, akan terbentuk relasi kuasa antara pihak donor dan politikus yang menjabat sebagai pemerintah. Relasi kuasa tersebut, menurut Ward, mengurangi kapasitas pemerintah dalam menegakkan regulasi.
Adapun yang mengakibatkan tingginya biaya kampanye, lanjut Ward, yakni mahar politik, pembentukan tim sukses, praktik politik transaksional sebagai upaya membeli suara, dan para kandidat yang perlu mengeluarkan biaya untuk membayar saksi di TPS.
Oleh karena itu, Ward berpendapat bahwa Indonesia membutuhkan perbaikan terhadap persoalan biaya kampanye. Perbaikan tersebut dapat menjadi strategi yang signifikan dan efektif untuk mengatasi korupsi, meningkatkan mutu layanan publik, pengelolaan sumber daya alam, dan memperkuat kapasitas regulasi negara.
Ward menyebut upaya perbaikan tersebut sebagai reformasi pemilu. Mengurangi biaya kampanye dapat dengan meningkatkan pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Selain itu, Pemerintah bisa menghentikan praktik mahar politik dan meningkatkan dana negara untuk partai politik, serta mengurangi kebutuhan pemilu, seperti mengimplementasikan e-voting (pemungutan suara berbasis elektronik).
Baca juga: Perlu berpikir ulang terkait opsi model keserentakan pemilu
Baca juga: Akademikus: Negara jamin masyarakat tidak golput gegara belum divaksin
Pewarta: Putu Indah Savitri
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021
Tags: