Anggota DPR dukung pemerintah lawan penggelapan dan penghindaran pajak
28 September 2021 15:32 WIB
Tangkapan layar - Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam dalam konferensi pers secara daring, Selasa (28/9/2021). ANTARA/HO-Kuntum Riswan
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam menyatakan dukungannya kepada pemerintah untuk melawan segala bentuk praktek penggelapan dan penghindaran pajak, termasuk transfer pricing.
“Kami menyarankan pemerintah agar punya cara lain yang dibenarkan oleh UU untuk perusahaan yang menghindari, mengelapkan dan transfer pricing,” kata anggota Komisi XI dari Fraksi PKS itu dalam konferensi pers secara daring, Selasa.
Menurut Ecky, pembahasan mengenai transfer pricing atau upaya menghindari kewajiban pajak yang menyebabkan hilangnya pendapatan negara, perlu menjadi pembahasan dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang saat ini tengah dibahas oleh Komisi XI DPR bersama Kementerian Keuangan.
“Ada ribuan perusahaan di Indonesia termasuk perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia selama bertahun-tahun, tapi tidak bayar pajak karena mengaku rugi dan melakukan transfer pricing. Pemerintah harus bisa mencegah dan mengatasi praktek tersebut,” ujar Ecky.
Ecky mengatakan bahwa fraksinya menolak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan mendorong agar tarif PPN setinggi-tingginya 10 persen.
Menurut dia, kenaikan tarif PPN akan kontraproduktif dengan rencana pemulihan ekonomi nasional karena sumber PPN terbesar berasal dari dari dalam negeri seperti konsumsi masyarakat dan PPN impor yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri.
“Artinya kenaikan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi industri,” katanya.
Dikatakannya, fraksinya juga menolak rencana pemerintah tentang pengenaan PPN pada draf RUU KUP pada sejumlah barang/jasa seperti jasa pendidikan, kesehatan hingga jasa kesenian, karena berpotensi menambah beban masyarakat berpendapatan rendah.
Selain juga menolak pasal-pasal terkait dengan “tax amnesty” jilid kedua dan/atau sunset policy karena hanya akan membuka ruang ketidakpatuhan bagi wajib pajak.
Fraksi PKS juga mengusulkan dan memperjuangkan kebijakan tentang omset/penghasilan bruto wajib pajak pelaku UMKM yang tidak dikenakan pajak penghasilan final ditingkatkan hingga mencapai Rp1 miliar.
Serta mengajukan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) hingga Rp8 juta dan mendorong peningkatan nominal di tarif pajak 5 persen dari yang awalnya di penghasilan sampai dengan Rp 50 juta menjadi sampai dengan Rp100 juta.
Baca juga: Kemenkeu: Pemerintah dorong ekonomi hijau dengan RUU KUP
Baca juga: DJP: Indonesia baru pungut 66,58 persen dari total potensi PPN
Baca juga: CORE: Kelanjutan RUU KUP kunci dorong penerimaan pajak 2022
“Kami menyarankan pemerintah agar punya cara lain yang dibenarkan oleh UU untuk perusahaan yang menghindari, mengelapkan dan transfer pricing,” kata anggota Komisi XI dari Fraksi PKS itu dalam konferensi pers secara daring, Selasa.
Menurut Ecky, pembahasan mengenai transfer pricing atau upaya menghindari kewajiban pajak yang menyebabkan hilangnya pendapatan negara, perlu menjadi pembahasan dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang saat ini tengah dibahas oleh Komisi XI DPR bersama Kementerian Keuangan.
“Ada ribuan perusahaan di Indonesia termasuk perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia selama bertahun-tahun, tapi tidak bayar pajak karena mengaku rugi dan melakukan transfer pricing. Pemerintah harus bisa mencegah dan mengatasi praktek tersebut,” ujar Ecky.
Ecky mengatakan bahwa fraksinya menolak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan mendorong agar tarif PPN setinggi-tingginya 10 persen.
Menurut dia, kenaikan tarif PPN akan kontraproduktif dengan rencana pemulihan ekonomi nasional karena sumber PPN terbesar berasal dari dari dalam negeri seperti konsumsi masyarakat dan PPN impor yang merupakan konsumsi bahan modal dan bahan baku bagi industri.
“Artinya kenaikan tarif PPN tidak hanya melemahkan daya beli masyarakat, tetapi juga akan meningkatkan tekanan bagi industri,” katanya.
Dikatakannya, fraksinya juga menolak rencana pemerintah tentang pengenaan PPN pada draf RUU KUP pada sejumlah barang/jasa seperti jasa pendidikan, kesehatan hingga jasa kesenian, karena berpotensi menambah beban masyarakat berpendapatan rendah.
Selain juga menolak pasal-pasal terkait dengan “tax amnesty” jilid kedua dan/atau sunset policy karena hanya akan membuka ruang ketidakpatuhan bagi wajib pajak.
Fraksi PKS juga mengusulkan dan memperjuangkan kebijakan tentang omset/penghasilan bruto wajib pajak pelaku UMKM yang tidak dikenakan pajak penghasilan final ditingkatkan hingga mencapai Rp1 miliar.
Serta mengajukan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) hingga Rp8 juta dan mendorong peningkatan nominal di tarif pajak 5 persen dari yang awalnya di penghasilan sampai dengan Rp 50 juta menjadi sampai dengan Rp100 juta.
Baca juga: Kemenkeu: Pemerintah dorong ekonomi hijau dengan RUU KUP
Baca juga: DJP: Indonesia baru pungut 66,58 persen dari total potensi PPN
Baca juga: CORE: Kelanjutan RUU KUP kunci dorong penerimaan pajak 2022
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021
Tags: