Jakarta (ANTARA News) - Pendidikan adalah hak asasi manusia dan karena itu Pemerintah telah mencanangkan program Wajib Belajar 9 tahun, namun tingkat putus sekolah bahkan yang belum terjangkau pendidikan ternyata masih tinggi, sementara jutaan perempuan usia 15-19 tahun masih buta aksara.

Kondisi pendidikan sampai sekarang masih memprihatinkan. Terjadi jurang pendidikan yang cukup menganga lebar karena sistem pendidikan yang belum dapat menjangkau semua lapisan masyarakat.

Untuk itu perlu pemikiran serius guna membenahi sistem pendidikan yang ada agar pendidikan benar-benar merupakan suatu bentuk hak publik. Di sinilah, Rektor Universitas Paramadina Anis Baswedan dalam pertemuan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional ( I-4) yang berlangsung awal Januari lalu di Jakarta menyarankan perlunya Gerakan Pendidikan untuk mengatasi berbagai keruwetan dalam pendidikan.

Ia mencontohkan gerakan lingkungan hidup yang pada akhirnya dapat menggerakkan semua pihak untuk terlibat dalam gerakan go green itu.

Ketika akan membahas keruwetan sisi pendidikan, maka pertanyaan besar adalah, akan dimulai dari mana? Ini artinya, hampir di semua lini dunia pendidikan maka di situ ada benang kusutnya.

Lihat saja sisi internal dalam dunia pendidikan, maka akan kelihatan adanya kemandekan atau kebekuan yang sudah merasuk sejak lama, karena sekolah-sekolah termasuk sekolah swasta benar-benar dikungkung dengan paradigma pemerintah yang sarat dengan kepentingan politik.

Istilah ganti menteri ganti kebijaksanaan ternyata juga mempengaruhi internal pendidikan. Ini tampak jelas pada sistem kurikulum/beban pelajaran di sekolah. Bagaimana pun, indikator keberhasilan pendidikan adalah kurikulum.

Sekarang, kurikulum terlalu sarat dan berat bagi anak didik, sehingga hasilnya pun kurang memadai dan ini terefleksi pada tingkat penguasaan materi. Pernahkah Anda melihat tas-tas sekolah anak? Beratnya bukan main.

Akibatnya, banyak anak yang asal datang ke sekolah, duduk manis di bangku sekolah, tapi sebenarnya tidak menguasai materi pelajaran. Di sisi lain, beban guru pun menjadi berat karena tidak dapat mencapai target kurikulum. Demi pencapaian target kurikulum, guru mengajar semaunya.

Guru dan pengelola kurikulum tergoda untuk memberi materi sebanyak-banyaknya kepada peserta didik, sehingga kurikulum sarat dengan pokok bahasan. Sekolah-sekolah harus mematuhi kurikulum yang dibuat pemerintah.

Selain itu, kualitas dan sistem evaluasi belajar setiap sekolah tidak ada yang sama, padahal kurikulum yang diacu adalah yang sudah ditetapkan pemerintah. Ini terbukti dari hasil Ujian Nasional setiap tahun.

Meski media massa dan masyarakat setiap tahun menolak diadakannya sistem Ujian Nasional yang dinilai hanya menjebak anak, namun Pemerintah tetap teguh untuk melaksanakannya dengan alasan untuk menetapkan standar kelulusan siswa. Sistem evaluasi yang sifatnya instan, tanpa melihat proses belajar anak, justru akan merugikan peserta didik.

Ini juga terkait erat dengan kompetensi dan kesejahteraan guru. Sudah bukan rahasia lagi, sampai sekarang profesi guru masih terus dipertanyakan, apakah merupakan panggilan atau karena tidak punya pekerjaan lain. Tidak semua guru memiliki kompetensi khusus untuk pelajaran yang diampu.

Data Kementerian Pendidikan Nasional, dari sekitar 1,2 juta guru SD hanya 13,8% yang berpendidikan diploma 3 (D3) Kependidikan. Di pendidikan tinggi, dari sekitar 200 ribu dosen, baru 18,8 % yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).

Meski guru atau dosen bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, namun mereka memberikan andil besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggungjawabnya.

Informasi dari Dikmenti DKI ketika dilakukan tes kompetensi guru sesuai dengan mata pelajaran yang mereka asuh, ternyata ada guru fisika yang mendapat nilai 3, padahal soal yang diberikan adalah materi ulangan untuk murid, guru matematika dapat nilai 4, sementara ada guru kesenian yang tidak bisa membaca not balok.

Kondisi ini memiliki agaknya juga korelasi kuat dengan kesejahteraan guru, terutama guru swasta yang hanya mengandalkan gaji dari yayasan. Untuk guru negeri, boleh sedikit lega dengan banyaknya tunjangan pemerintah, namun kondisi ini ternyata juga menumbuhkan keprihatinan lain yakni dengan banyaknya guru yang terlibat dengan utang bank untuk keperluan kredit motor atau mobil dll.

Gaji guru SMA negeri di Jakarta minimal Rp8 juta setiap bulan, sementara guru honorer di SMA swasta hanya Rp850 ribu, sehingga banyak yang harus mengajar rangkap di sekolah lain atau melakukan pekerjaan sampingan..

Akibatnya banyak juga guru yang masih stres memikirkan ekonomi keuangan meski pemerintah (terutama Pemda DKI Jakarta) telah memberikan banyak tunjangan). Berbeda dengan guru swasta yang sudah pas-pasan, kecuali sekolah-sekolah swasta kaya dan sekolah internasional yang dapat memberikan gaji di atas standar. Sampai sekarang, guru honorer swasta belum mendapat perhatian Pemerintah.

Begitu juga dengan fasilitas sekolah juga tidak merata. Di DKI saja sekitar 437 gedung SD sampai sekarang masih rusak berat. Belum lagi berbicara tentang fasilitas sekolah, seperti laboratorium, perpustakaan dengan isinya, fasilitas olahraga.

Kondisi ini karena banyak yayasan swasta yang membangun sekolah hanya mengandalkan pemasukan uang sekolah anak didik, bahkan menjadikan sekolah sebagai ajang komersil.

Di samping itu, masih banyak sekolah yang terletak di pinggir jalan raya, dekat mal, dekat pusat perbelanjaan, bahkan dekat dengan tempat prostitusi, sehingga sangat mengganggu proses belajar terutama perkembangan anak didik. Ada sekolah yang sangat berdekatan seperti tetangga, sehingga menimbulkan persaingan dan kecemburuan tersendiri.

Bagaimana dengan prestasi siswa? Dengan rendahnya sarana fisik, kompetensi guru dan kesejahteraan guru, maka itu semua terefleksi pada prestasi siswa. Masyarakat melihatnya dengan hadirnya beragam jenis sekolah, ada dengan nama sekolah unggulan, sekolah pendamping unggulan, sekolah berstandar internasional, tapi juga ada sekolah pinggiran dan sekolah yang menumpang di sekolah lain.

Dengan julukan itu, tercermin prestasi siswanya. Jumlah siswa dalam satu kelas rata-rata 40 anak juga menyebabkan suasana belajar yang kurang nyaman. Hasil UN tingkat SD sampai SMA menunjukkan kesenjangan prestasi antarsekolah, bahkan banyak sekolah terutama di daerah yang ketidaklulusannya bisa mencapai 100%.
Dengan sistem evaluasi seperti ini, anak hanya belajar untuk menngejar nilai NEM yang tinggi.

Pemerataan kesempatan pendidikan juga belum menyentuh masyarakat keluarga ekonomi lemah. Mereka tentu sulit menjangkau sekolah-sekolah berkualitas, kecuali dengan tawaran beasiswa.

Meski ada pendidikan gratis untuk SD dan SMA, kesempatan pendidikan masih menunjukkan ketidakseimbangan. Ini semua karena biaya pendidikan memang sudah melekat dengan jargon bahwa pendidikan itu mahal.

Pendidikan bermutu memang tidak murah, namun siapa yang harus menanggungnya, karena masyarakat miskin akan semakin jauh dari sekolah. Biaya masuk TK biasa saja mencapai Rp4 juta, apalagi TK berbahasa Inggris akan lebih mahal lagi.

Pendidikan gratis di SD dan SMP pada faktanya tetap saja menuntut uang dari orang tua murid dengan berbagai alasan. Apalagi sekolah yang berstandar internasional, maka biaya pendidikan sangat tinggi. Semuanya ini merupakan pilihan orang tua.

Persepsi masyarakat
Persepsi masyarakat terutama orang tua terhadap sekolah belum sama, begitu juga dengan tujuan pendidikan. Banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan anaknya di sekolah sebagai urusan sekolah.

Masih banyak kasus pembantu rumah tangga atau sopir yang mengambil rapot anaknya, Meski sudah ada POMG atau BP3, namun peran orang tua dan masyarakat terhadap proses belajar masih rendah.

Kondisi ini diperparah dengan masih tingginya kasus tawuran dan kekerasan pelajar dan mahasiswa. Ini merupakan ekses sampingan sekolah yang kurang disipliln. Masih banyak guru yang suka membolos, lokasi sekolah yang dekat dengan keramaian, fasilitas angkutan yang kurang mendukung, beratnya beban kurikulum sekolah, merupakan beberapa faktor penyebab tindak kekerasan di kalangan remaja dan mahasiswa.

Faktor tersembunyi yang bisa jadi pemicu kekerasan di kalangan pelajar adalah sikap keras yang dilakukan guru terhadap muridnya. Masih banyak kisah guru di daerah yang memukul siswa, menyundut siswa dengan rokok, menyuruh siswa menghapus papan tulis dengan cara menjilatnya, dan sebagainya.

Keras di rumah (mungkin perlakuan orangtua terhadap anak juga keras), keras di sekolah (guru yang galak), keras di jalanan (sopir angkutan tidak mempedulikan mereka), maka tumbuhlah pelajar yang sadis dan terbawa sampai mahasiswa.

Kekerasan yang semakin marak di kalangan masyarakat menunjukkan betapa tipisnya kesadaran demokrasi.

Lanjutan dari kasus ini adalah tindakan plagiat yang bisa jadi dimulai dengan longgarnya urusan contek mencontek di sekolah, sehingga terbawa ketika dia sudah dewasa. Tindakan plagiat adalah tindakan kriminal, dan sayangnya hal ini masih terabaikan di sekolah. Plagiat berkorelasi dengan korupsi sehingga negeri ini mendapat gelar negeri terkorup ketiga di dunia.

Gerakan
Dengan kondisi fakta dan data yang ada mengenai dunia pendidikan di negeri ini, maka perlu pemikiran serius untuk membenahinya dengan cara memahami apa yang sebenarnya menjadi tuntutan dan kebutuhan peserta didik dalam menghadapi kehidupan.

Menurut pakar pendidikan Mochtar Buchori, “sekolah kita tidak mungkin bertahan pada keadaannya sekarang ini. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, sekolah kita harus mengubah diri, mengadakan reformasi dan transformasi, dan ini takkan terjadi tanpa adanya tekanan dan bantuan masyarakat”.

Untuk itu perlu gerakan yang berani melakukan perubahan terhadap sistem pendidikan agar terus bergerak yang dapat menyiapkan anak-anak menghadapi tantangan.

Beberapa langkah utama yang diperlukan adalah bagaimana membuat kurikulum yang relevan dengan pokok bahasan yang terpilih yang dikaitkan dengan kemandirian belajar.

Pendekatan proses, pendekatan menyelidiki, dan pendekatan belajar siswa aktif merupakan model belajar yang relevan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Kuncinya adalah sistem interlocked sekolah, orangtua murid dan pemerintah untuk sama-sama menjalin bentuk komunikasi interaktif yang berorientasi pada peserta didik.

Untuk tingkat SD sampai SMA, dalam pengembangan kurikulum diharapkan tetap dalam konteks perkembangan anak dengan tahapan-tahapannya. Perkembangan anak justru menjadi inti dalam landasan berfikir penyusunan pokok bahasan, bukan semata tuntutan kurikulum atau kepentingan pemerintah.

Untuk tingkat pendidikan tinggi, selain orientasi dengan perkembangan dan kebutuhan mahasiswa, mak program pendidikan tentulah mengacu pada kemahiran dan landasan akademiknya.

Hakikat pendidikan adalah suatu usaha untuk memilihkan yang terbaik untuk dipelajari peserta didik. Dengan berorientasi pada kebutuhan anak atau peserta didik, maka pendidikan merupakan suatu proses aktif dengan menjalin suatu sistem interlocked atau suatu komunitas yang terdiri dari guru dan sekolah, orang tua murid dan anggota masyarakat lainnya, yang akan secara terus menerus memantau perkembangan pendidikan. (***)


*) Dosen STIKOM London School of Public Relations