Semarang (ANTARA) - Masih cukup waktu untuk memilih model lain terkait dengan keserentakan pemilihan umum ketimbang opsi sekarang ini, terutama kompleksitas dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada tahun yang sama.

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) harus cermat ketika menyusun rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Tahapan, Program, dan Jadwal. Jangan sampai terjadi irisan tahapan antara pemilu dan pilkada.

Baca juga: Analis: UUD tak mengatur detail soal tanggal pelaksanaan pemilu

Baca juga: Ketua Bawaslu berharap ada harmonisasi antara UU Pemilu dan Pemilihan

Kemungkinan yang bakal terjadi perlu diantisipasi. Oleh karena itu, penetapan hari-H pencoblosan Pemilu Presiden/Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR RI, dan Pemilu Anggota DPD RI, serta pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota sangat menentukan.

Perlu kajian matang, termasuk antisipasi apabila Pemilu 2024 diselenggarakan pada bulan April seperti pemilu sebelumnya. Hal ini mengingat pada tahun yang sama juga menggelar pemilihan kepala daerah di 34 provinsi dan di 514 kabupaten/kota.

Perhelatan demokrasi akbar itu tentunya membutuhkan data agregat kependudukan per kecamatan (DAK2) dan daftar penduduk potensial pemilih pemilihan (DP4) dalam negeri dan luar negeri. Tidak lepas dari kemungkinan bakal ada tambahan calon pemilih dalam rentang waktu antara pelaksanaan pemilu dan pilkada.

Belum lagi terkait dengan persiapan pendaftaran dan verifikasi partai politik. KPU akan melakukan verifikasi terhadap partai-partai calon peserta Pemilu 2024, baik yang punya kursi di DPR RI, partai tak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) pada Pemilu 2019, maupun partai baru.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVIII/2020, KPU tetap melakukan verifikasi secara administrasi terhadap sembilan partai politik (parpol) yang lolos parliamentary threshold. Namun, parpol yang memiliki kursi di DPR ini tidak diverifikasi secara faktual.

Sementara itu, tujuh parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen pada pemilu lalu dan partai baru yang sudah mengantongi surat keputusan (SK) pengesahan badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) diverifikasi secara administrasi dan secara faktual.

Sejumlah partai baru itu, antara lain Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Partai Ummat, Partai Nusantara, Partai Era Masyarakat Sejahtera (Partai Emas), Partai Indonesia Terang (PIT), dan Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai).

Berikutnya, Partai Indonesia Damai (PID), Partai Masyumi, Partai Usaha Kecil Menengah (Partai UKM), Partai Usaha Kecil Menengah Indonesia (Partai UKM Indonesia), dan Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima).

Hari-H Pencoblosan

KPU melakukan verifikasi terhadap partai-partai politik calon peserta pemilu setelah mengeluarkan PKPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pemilu 2024. Aturan main pesta demokrasi ini disusun setelah diputuskan hari-H pencoblosan Pemilu 2024.

Di tengah pembahasan antara penyelenggara pemilu, pemerintah, dan DPR RI, muncul wacana pelaksanaan pemilu pada bulan April dan Mei meskipun KPU telah mengusulkan tanggal pemilihan 21 Februari 2024. Sementara itu, pilkada serentak nasional pada tanggal 27 November 2024.

Baca juga: KPU usulkan Rp8 triliun untuk tahun anggaran 2022

Baca juga: Anggota DPR minta anggaran Pemilu 2024 dihitung ulang


Apabila usulan KPU itu disepakati, penyelenggara pemilu tidak lepas dari beban yang sangat berat. Begitu pula parpol harus menyiapkan bakal pasangan calon presiden/wakil presiden, bakal calon anggota legislatif (tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota), serta bakal pasangan calon kepala daerah.

Terkait dengan penentuan tanggal Pemilu 2024, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013—2015 Hamdan Zoelva menyarankan pembuat undang-undang untuk menetapkan agenda pemilu pada tanggal dan bulan yang sama, atau tidak berubah-ubah setiap pemilu.

Dalam Kajian Islam dan Konstitusi bertajuk "Maju Mundur Jadwal Pemilu 2024", pakar hukum tata negara Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. mencontohkan hari-H pencoblosan Pemilu 2019 pada tanggal 17 April. (Sumber: YouTube Salam Radio Channel, Jumat, 24 September 2021).

Dengan penetapan pemilu setiap 17 April, menurut Hamdan yang pernah sebagai anggota DPR RI periode 1999—2004, tidak mengubah agenda pelantikan pasangan calon terpilih pada pilpres, yakni setiap 20 Oktober. Hal ini sudah teruji pada Pilpres 2014 dan 2019.

Pelantikan calon anggota legislatif (caleg) terpilih pada Pemilu Anggota DPR dan Pemilu Anggota DPD 2019, misalnya, juga sudah dipastikan sebelum anggota DPR/DPD periode 2014—2019 berakhir. Produk Pemilu 2019 dilantik pada tanggal 1 Oktober.

Hamdan yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfiziah Syarikat Islam memandang perlu hal-hal teknis lainnya tinggal menyesuaikan dengan agenda tahunan itu.

Jika pelaksanaan pemilu pada tanggal 17 April, kemudian pilkada pada tanggal 27 November, anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini memprediksi bakal terjadi irisan krusial pada bulan April—Juni 2024.

Penyelenggara perlu memperhitungkan pula sengketa hasil pemilu di MK, bahkan ada kemungkinan pemungutan suara ulang (PSU). Pada saat yang sama, pilkada memasuki tahapan bimtek petugas, pemutakhiran data pemilih, dan verifikasi dukungan calon perseorangan. Belum lagi, kalau ada putaran kedua pilpres.

Tahapan Pemilu 2024, kata Titi, akan dimulai pada bulan Agustus 2022 (20 bulan sebelum pemungutan suara Pemilu 2024) dan tahapan pilkada akan dimulai pada bulan November 2023. Ketika tahapan pilkada dimulai, saat bersamaan Pemilu 2024 masuk tahapan kampanye.

Ini juga patut menjadi bahan pertimbangan pemerintah, DPR RI, dan penyelenggara pemilihan umum jika "memaksakan" pemilu dan pilkada pada tahun yang sama.

Diatasi Perpu

Selain masalah teknis terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2024, Hamdan memandang perlu menyesuaikan undang-undangnya dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk mengatasinya.

Dengan demikian, pilpres dan pemilu anggota legislatif tetap pada tahun 2024. Setelah pemilu, baru mulai tahapan pilkada. Terkait dengan wacana ini ada pula yang mengusulkan sebelum pemilu.

Baca juga: Perludem: Perlu protokol khusus penanganan disinformasi pemilu

Baca juga: KPU tetap waspadai pandemi pada Pemilu 2024

Namun, di sisi lain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 telah menetapkan pelaksanaan pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, serta wali kota/wakil wali kota di seluruh wilayah NKRI pada bulan November 2024.

Jika tidak memungkinkan pemerintah dan DPR RI merevisi UU No. 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada), Presiden berhak menetapkan perpu, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945.

Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan perpu. Apakah pergeseran pelaksanaan pilkada ini masuk kategori "kegentingan yang memaksa"?

Merujuk pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 (halaman 19) disebutkan bahwa penerbitan perpu diperlukan dalam tiga kondisi: Pertama, adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Jadi, sangat memungkinkan sekali pemilu nasional dan pemilu lokal tidak pada tahun yang sama. Namun, yang perlu ditekankan adalah pilpres dan pileg tetap pada tahun 2024 agar tidak terjadi kevakuman jabatan presiden/wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPD RI.