Jakarta (ANTARA) -
Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta mendorong penggunaan benih hibrida untuk meningkatkan produktivitas beras nasional sebagaimana telah berhasil dilakukan pada komoditas jagung.

“Belajar dari kesuksesan peningkatan produktivitas tanaman jagung, salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk mendorong produktivitas tanaman padi adalah dengan meningkatkan skala penggunaan varietas unggul, khususnya padi jenis hibrida. Hingga saat ini tingkat penerimaan petani terhadap benih padi hibrida masih sangat rendah,” kata Aditya dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Dia mengatakan saat ini adopsi benih jagung hibrida lebih tinggi daripada benih padi hibrida. Hal itu dapat terlihat dari capaian produktivitas jagung yang lebih tinggi daripada produktivitas beras.

Statistik menunjukkan produktivitas padi berada di angka 5 ton per hektar gabah kering giling (GKG) di 2019. Sementara itu, produktivitas jagung menunjukkan tren yang meningkat dengan capaian 5,5 ton pipilan kering per hektar pada tahun yang sama.

Ketimpangan produktivitas padi dan jagung antar wilayah Jawa dan luar Jawa juga merupakan isu yang penting untuk diselesaikan dalam upaya meningkatkan produktivitas nasional.


Baca juga: Mentan minta petani Kalsel tanam padi varietas hibrida

Produktivitas padi dan jagung di luar Jawa lebih rendah masing-masing sekitar 23 persen dan 13 persen dibanding di Jawa. Karena itu, peningkatan produktivitas lahan dan petani di luar Jawa, terutama di wilayah dengan produktivitas relatif rendah, harus menjadi fokus perhatian pemerintah.
Aditya menambahkan, walaupun memiliki potensi produktivitas lebih tinggi, padi hibrida tidak diminati oleh petani karena sejumlah hal, seperti ongkos budidaya yang relatif lebih tinggi karena membutuhkan penanganan yang lebih intensif dan kekhawatiran akan menghasilkan kualitas beras yang tidak sesuai dengan preferensi konsumen.

Rendahnya adopsi varietas unggul padi hibrida dapat dijelaskan oleh beberapa faktor baik dari sisi penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran, impor benih bersertifikat dilakukan dengan syarat ketersediaan pasokan dalam negeri, kapasitas produksi produsen benih swasta terbatas, serta terbatasnya penelitian dan pengembangan varietas baru yang sesuai dengan preferensi lokal. Sementara itu dari sisi permintaan, preferensi petani terlihat pada dominannya penggunaan varietas lama.

Untuk memaksimalkan potensi padi hibrida, ada beberapa hal yang direkomendasikan oleh CIPS yakni perlu memasukkan padi hibrida ke dalam prioritas perencanaan pembangunan pertanian.

Baca juga: CIPS dorong pemerintah kurangi ketergantungan impor benih padi hibrida

Padi hibrida memang belum dimasukkan ke dalam program utama yang terkait dengan perencanaan pembangunan pertanian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN.
Riset dan pengembangan benih padi hibrida juga perlu ditingkatkan, walaupun hal ini sangat bergantung pada keahlian teknis yang tersedia di Indonesia. Pengembangan padi hibrida di Indonesia saat ini juga terkendala oleh rendahnya jumlah pakar dan penangkar yang mampu mengembangkan varietas baru.

Agar impor benih dapat digantikan secara berkelanjutan, program pembangunan manusia perlu dilakukan secara bekerjasama dengan berbagai universitas.
“Pendirian pusat penelitian di berbagai daerah di Indonesia akan memungkinkan pengembangan varietas yang sesuai dengan preferensi konsumen tertentu serta iklim dan kondisi tanah di daerah-daerah yang berpotensi menjadi sentra produksi beras dari benih hibrida,” ujar Aditya.