Warga Bengkulu tulis surat ke Presiden Jokowi harap KPK diperkuat
24 September 2021 17:34 WIB
Para aktivis, mahasiswa, dan warga Bengkulu, Provinsi Bengkulu, Jumat, mengirim surat bersama untuk Presiden Joko Widodo guna memperkuat lembaga KPK dengan membatalkan pemecatan 56 pegawai yang dinilai tidak lolos tes wawasan kebangsaan. ANTARA/Helti M Sipayung
Bengkulu (ANTARA) - Sejumlah aktivis lingkungan, mahasiswa dan warga Bengkulu, Provinsi Bengkulu, menulis surat ke Presiden Joko Widodo meminta penguatan KPK dengan membatalkan pemecatan 56 pegawai KPK yang dinilai tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
"Aksi menulis dan mengirim surat ini sebagai bentuk keprihatinan terhadap proses yang kami duga adalah pelemahan KPK karena 56 pegawai yang dipecat itu tidak diragukan lagi integritasnya. Karena itu kami berharap ke Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pemecatan dan mengangkat mereka tetap menjadi pegawai KPK," kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Puskaki) Bengkulu, Melyansori, di Bengkulu, Jumat.
Baca juga: Pegawai KPK tetap yakin hasil TWK bukan rahasia negara
Menulis surat bersama kepada presiden itu digelar bersamaan dengan diskusi yang dihadiri seratusan peserta yang mengulas tentang nasib para pegawai KPK yang akan dipecat per 30 September 2021.
Diskusi itu menghadirkan pemateri yaitu Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bengkulu, JT Pareke, Ketua Yayasan Kanopi Hijau Indonesia sekaligus representasi Gerakan #BersihkanIndonesia, Ali Akbar, dan Direktur Puskaki Bengkulu, Melyansori.
Baca juga: Lili Pintauli dilaporkan ke Dewas KPK atas dugaan pembohongan publik
Dalam diskusi dengan tema khusus itu para peserta sepakat pemberhentian 56 pegawai KPK itu bentuk upaya melemahkan KPK karena yang diberhentikan adalah orang-orang yang berintegritas dan memiliki andil dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.
Melyan menyatakan, Jokowi dalam hal ini harus turun tangan untuk membuat keputusan membatalkan TWK agar Novel Baswedan dan 55 pegawai lain KPK bisa beralih status menjadi ASN agar kepercayaan masyarakat terhadap KPK pulih.
Baca juga: Pakar: Presiden Jokowi kunci penyelesaikan polemik TWK pegawai KPK
“Sebetulnya yang kita harapkan agar lembaga KPK ini diperkuat, tapi lahirnya UU KPK Nomor 19/2019 kami anggap memperlemah KPK lalu kembali ke persoalan TWK yang kita bahas, sudah jelas lembaga Ombudsman menyatakan ini melanggar hukum administrasi terhadap proses TWK ini. Lalu Komnas HAM juga sudah mengeluarkan rekomendasinya,” kata dia.
Ia mempertanyakan kenapa pimpinan KPK mengabaikan rekomendasi dua lembaga negara yang bekerja secara professional itu. "Kami menunggu presiden bersikap secara nyata terkait situasi sekarang yang sudah genting karena ini menjadi titik nadir," katanya.
Baca juga: KPK bantah percepat berhentikan 56 pegawainya
Akbar mengatakan, KPK adalah anak kandung reformasi yang saat ini terus dilemahkan di tengah kinerja lembaga yudikatif belum mendapat kepercayaan publik.
Menurut dia, nasib 56 pegawai KPK yang dikenal berintegritas tapi dipecat jadi cerminan nasib pemberantasan korupsi saat ini.
"Ini tidak hanya soal 56 orang tapi masa depan kita tentang bagaimana pemberantasan korupsi ke depan karena itu kami mendesak Presiden Joko Widodo segera membatalkan pemberhentian 56 orang pegawai KPK," kata dia.
"Aksi menulis dan mengirim surat ini sebagai bentuk keprihatinan terhadap proses yang kami duga adalah pelemahan KPK karena 56 pegawai yang dipecat itu tidak diragukan lagi integritasnya. Karena itu kami berharap ke Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pemecatan dan mengangkat mereka tetap menjadi pegawai KPK," kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Puskaki) Bengkulu, Melyansori, di Bengkulu, Jumat.
Baca juga: Pegawai KPK tetap yakin hasil TWK bukan rahasia negara
Menulis surat bersama kepada presiden itu digelar bersamaan dengan diskusi yang dihadiri seratusan peserta yang mengulas tentang nasib para pegawai KPK yang akan dipecat per 30 September 2021.
Diskusi itu menghadirkan pemateri yaitu Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bengkulu, JT Pareke, Ketua Yayasan Kanopi Hijau Indonesia sekaligus representasi Gerakan #BersihkanIndonesia, Ali Akbar, dan Direktur Puskaki Bengkulu, Melyansori.
Baca juga: Lili Pintauli dilaporkan ke Dewas KPK atas dugaan pembohongan publik
Dalam diskusi dengan tema khusus itu para peserta sepakat pemberhentian 56 pegawai KPK itu bentuk upaya melemahkan KPK karena yang diberhentikan adalah orang-orang yang berintegritas dan memiliki andil dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.
Melyan menyatakan, Jokowi dalam hal ini harus turun tangan untuk membuat keputusan membatalkan TWK agar Novel Baswedan dan 55 pegawai lain KPK bisa beralih status menjadi ASN agar kepercayaan masyarakat terhadap KPK pulih.
Baca juga: Pakar: Presiden Jokowi kunci penyelesaikan polemik TWK pegawai KPK
“Sebetulnya yang kita harapkan agar lembaga KPK ini diperkuat, tapi lahirnya UU KPK Nomor 19/2019 kami anggap memperlemah KPK lalu kembali ke persoalan TWK yang kita bahas, sudah jelas lembaga Ombudsman menyatakan ini melanggar hukum administrasi terhadap proses TWK ini. Lalu Komnas HAM juga sudah mengeluarkan rekomendasinya,” kata dia.
Ia mempertanyakan kenapa pimpinan KPK mengabaikan rekomendasi dua lembaga negara yang bekerja secara professional itu. "Kami menunggu presiden bersikap secara nyata terkait situasi sekarang yang sudah genting karena ini menjadi titik nadir," katanya.
Baca juga: KPK bantah percepat berhentikan 56 pegawainya
Akbar mengatakan, KPK adalah anak kandung reformasi yang saat ini terus dilemahkan di tengah kinerja lembaga yudikatif belum mendapat kepercayaan publik.
Menurut dia, nasib 56 pegawai KPK yang dikenal berintegritas tapi dipecat jadi cerminan nasib pemberantasan korupsi saat ini.
"Ini tidak hanya soal 56 orang tapi masa depan kita tentang bagaimana pemberantasan korupsi ke depan karena itu kami mendesak Presiden Joko Widodo segera membatalkan pemberhentian 56 orang pegawai KPK," kata dia.
Pewarta: Helti Marini S
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021
Tags: