PDPI nyatakan asap rokok jadi faktor utama terjadinya penyakit paru
24 September 2021 12:51 WIB
Tangkapan layar Ketua Umum Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto dalam konferensi pers "Peringatan Hari Paru Sedunia (World Lung Day)" yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat (24/9/2021). ANTARA/Zubi Mahrofi.
Jakarta (ANTARA) - Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyatakan bahwa asap rokok menjadi faktor risiko utama terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
"Faktor risiko utama terjadinya PPOK adalah paparan asap rokok," kata Ketua Umum PDPI Agus Dwi Susanto dalam konferensi pers "Peringatan Hari Paru Sedunia (World Lung Day)" yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan di Indonesia PPOK menjadi salah satu penyakit paru penyebab kematian dengan angka prevalensi sekitar 4,5 persen.
Secara global, kata dia, diperkirakan terdapat 384 juta penduduk dunia yang mengalami PPOK, dengan tiga juta orang meninggal setiap tahunnya karena PPOK.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyampaikan, terdapat lima penyakit pernapasan yang paling besar dampaknya bagi sistem kesehatan yaitu PPOK, asma, infeksi saluran napas bawah akut, tuberkulosis (TB) dan kanker paru.
Pada penyakit asma, menurut dia, sekitar 334 juta penduduk dunia mengalami asma dan angka insidensinya selalu meningkat dalam tiga dekade terakhir.
"Terdapat sejumlah faktor yang dapat memicu munculnya asma yaitu faktor genetik, polusi udara, infeksi saluran napas pada masa kanak-kanak, faktor makanan dan paparan alergen lingkungan," katanya.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, disampaikan, prevalensi asma di Indonesia adalah 2,4 persen.
Untuk infeksi saluran napas bawah dan pneumonia, ia mengemukakan, merupakan penyakit pernapasan dengan angka kematian lebih dari empat juta orang per tahun.
"Penyakit tersebut menjadi beban besar kesehatan di negara berkembang. Data Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi pneumonia di Indonesia adalah empat persen," katanya.
Sementara itu, data Global TB Report tahun 2020 menunjukkan pada tahun 2019 dilaporkan sekitar 10 juta orang menderita TB di seluruh dunia, dengan 1,2 juta di antaranya meninggal dunia.
"Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang kasus TB di dunia, saat ini menduduki nomor dua di Dunia, dengan prevalensi TB paru
adalah 0,4 persen dari seluruh penduduk Indonesia," katanya.
Sedangkan penyakit kanker paru, kata dia, merupakan jenis kanker paling banyak dialami oleh pria dewasa dan urutan ketiga pada perempuan dewasa.
"Pada tahun 2012, sekitar 14 juta kasus baru kanker paru ditemukan di seluruh dunia. Sekitar 1,6 juta orang meninggal setiap tahunnya karena kanker paru," katanya.
Ia mengatakan, kerusakan pada paru mengakibatkan kecatatan permanen dan dapat menurunkan kualitas hidup.
"Penyakit paru diperkirakan bertanggungjawab terhadap lebih dari 10 persen hilangnya waktu dan produktivitas seseorang, yang diukur melalui satuan disability-adjusted life-years (DALYs)," demikian Agus Dwi Susanto.
Baca juga: PDPI: WHO-FDA tidak rekomendasikan penggunaan rokok elektronik
Baca juga: Konas PDPI gagas program kerja pengentasan masalah kesehatan paru
Baca juga: 90 persen perokok akan menderita penyakit
Baca juga: Rokok elektrik dengan cairan herbal tetap berbahaya, sebut PDPI
"Faktor risiko utama terjadinya PPOK adalah paparan asap rokok," kata Ketua Umum PDPI Agus Dwi Susanto dalam konferensi pers "Peringatan Hari Paru Sedunia (World Lung Day)" yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan di Indonesia PPOK menjadi salah satu penyakit paru penyebab kematian dengan angka prevalensi sekitar 4,5 persen.
Secara global, kata dia, diperkirakan terdapat 384 juta penduduk dunia yang mengalami PPOK, dengan tiga juta orang meninggal setiap tahunnya karena PPOK.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyampaikan, terdapat lima penyakit pernapasan yang paling besar dampaknya bagi sistem kesehatan yaitu PPOK, asma, infeksi saluran napas bawah akut, tuberkulosis (TB) dan kanker paru.
Pada penyakit asma, menurut dia, sekitar 334 juta penduduk dunia mengalami asma dan angka insidensinya selalu meningkat dalam tiga dekade terakhir.
"Terdapat sejumlah faktor yang dapat memicu munculnya asma yaitu faktor genetik, polusi udara, infeksi saluran napas pada masa kanak-kanak, faktor makanan dan paparan alergen lingkungan," katanya.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, disampaikan, prevalensi asma di Indonesia adalah 2,4 persen.
Untuk infeksi saluran napas bawah dan pneumonia, ia mengemukakan, merupakan penyakit pernapasan dengan angka kematian lebih dari empat juta orang per tahun.
"Penyakit tersebut menjadi beban besar kesehatan di negara berkembang. Data Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi pneumonia di Indonesia adalah empat persen," katanya.
Sementara itu, data Global TB Report tahun 2020 menunjukkan pada tahun 2019 dilaporkan sekitar 10 juta orang menderita TB di seluruh dunia, dengan 1,2 juta di antaranya meninggal dunia.
"Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang kasus TB di dunia, saat ini menduduki nomor dua di Dunia, dengan prevalensi TB paru
adalah 0,4 persen dari seluruh penduduk Indonesia," katanya.
Sedangkan penyakit kanker paru, kata dia, merupakan jenis kanker paling banyak dialami oleh pria dewasa dan urutan ketiga pada perempuan dewasa.
"Pada tahun 2012, sekitar 14 juta kasus baru kanker paru ditemukan di seluruh dunia. Sekitar 1,6 juta orang meninggal setiap tahunnya karena kanker paru," katanya.
Ia mengatakan, kerusakan pada paru mengakibatkan kecatatan permanen dan dapat menurunkan kualitas hidup.
"Penyakit paru diperkirakan bertanggungjawab terhadap lebih dari 10 persen hilangnya waktu dan produktivitas seseorang, yang diukur melalui satuan disability-adjusted life-years (DALYs)," demikian Agus Dwi Susanto.
Baca juga: PDPI: WHO-FDA tidak rekomendasikan penggunaan rokok elektronik
Baca juga: Konas PDPI gagas program kerja pengentasan masalah kesehatan paru
Baca juga: 90 persen perokok akan menderita penyakit
Baca juga: Rokok elektrik dengan cairan herbal tetap berbahaya, sebut PDPI
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021
Tags: