Jakarta (ANTARA News) - Innalillahi Wainnailaihi Rojiun. Tiada lagi sosok pria energik yang selalu tampil dandy, ceria, dan kalau berbicara penuh tenaga. Itulah Sudwikatmono. Termasuk sosok yang mendapat julukan "anak gaul Indonesia" karena demikian luas pergaulannya dengan pelbagai lapisan masyarakat.

Tokoh pengusaha nasional ini melalui kelompok bisnisnya dikenal sebagai perintis berbagai usaha strategis, mulai hiburan, semen dan industri bahan makanan.

Di dunia hiburan dialah yang merintis jaringan bioskop 21 yang megah dan modern seperempat abad lalu. Di dunia media televisi, Pak Dwi ---begitu ia akrab disapa--- mendirikan stasiun televisi nasional Surya Citra Televisi (SCTV).

Pak Dwi dipanggil menghadap Ilahi Rabbi Sabtu pagi pukul 06.30 waktu Singapura di Rumah Sakit (RS) Mount Elizabeth. Pak Dwi menghembuskan nafas terakhir dalam usia 76 tahun. Meninggalkan seorang istri, Ibu Sulastri, empat anak, delapan cucu.

Lebih sebulan Pak Dwi dirawat di RS Mount Elizabeth Singapura akibat komplikasi penyakit gagal ginjal dan berbagai penyakit lainnya. Saat meninggal ia ditunggui oleh Ibu Sulastri dan dua anaknya, Agus Lasmono dan Tri Hanurita, anggota DPR-RI. Putri sulungnya, Martina, tengah berada di Amerika Serikat (AS). Putrinya yang satu lagi, Miyana, sedang berada di tanah air.

Berita duka ini pertama kali saya terima dari sahabat almarhum yang anggota Lembaga Sensor Film (LSF) dan mantan Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), M. Johan Tjasmadi, dan Firman Bintang, anggota LSF yang juga Sekjen organisasi produser film (PPFI). Agus Lasmono, putera bungsu Pak Dwi yang berada di Singapura kemudian mengkonfirmasi berita duka tersebut.

"Mohon doa, Bapak sudah tiada," kata Agus.

Menurut Agus, jenasah Pak Dwi akan dibawa ke Jakarta hari Sabtu ini juga, diperkirakan tiba di Jakarta pukul enam sore. Menurut rencana jenasah Pak Dwi akan disemayamkan di rumah duka, di Bukit Golf Utama Pondok Indonesia.

Pemakamannya di komplek pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat, karena menunggu Martina, putri sulungnya dari AS. Itulah sebabnya waktu pemakaman belum dipastikan. Kalau tidak Minggu ya hari Senin. "Sampai saat ini belum ada konfirmasi mengenai penerbangan Martina dari AS. Pesawat sulit sekali, kebanyakan sudah penuh" kata Lala Hamid, salah seorang kerabat dekat keluarga almarhum.


Tokoh perfilman

Pak Dwi dikenal pula sebagai tokoh perfilman Indonesia yang amat penting. Sudah pada tempatnya lah jika dunia perfilman Indonesia berduka, kehilangan Pak Dwi yang memiliki peran sangat strategis dalam mendorong produksi film berkualitas dan menjadi pelopor modernisasi industri bioskop di tanah air. Dia pendiri jaringan bioskop 21 pada tahun 1986.

Studio 21 pertama yang megah di jalan MH Thamrin Kavling 21, Jakarta, dibangun Pak Dwi pada tahun 1986, setelah berhasil melakukan ujicoba sinepleks dengan mengubah ruang gedung bioskop Kartika Chandra di kawasan Jalan Gator Subroto, Jakara, menjadi beberapa layar. Sinepleks di Kartika Chandra dilaksanakan bekerjasama dengan Raam Punjabi.

Gagasan sinepleks itu diakui Pak Dwi diiilhami oleh trend bioskop di Amerika Serikat. Masa itu, penhenalan bioskop model sinepleks di tanah air dijadikan momentum oleh Pak Dwi untuk membangkitkan gairah masyarakat mendatangi kembali bioskop untuk menonton film yang di kala itu mengalami kelesuan.

Nama 21 diambil dari nomer kavling jalan MH Thamrin di lokasi Studio 21 pertama dibangun. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa nama itu sesungguhnya merupakan akronim dari "Su-Dwikat-Mono", nama lengkap Pak Dwi.

Gedung megah Studio 21 memang tidak ada lagi di Jalan MH Thamrin Kavling 21, karenaa kini berdiri gedung pencakar langit BII Tower, namun jaringan 21 hingga kini tetap eksis, megah, menjadi ikon kehidupan modern di Indonesia. Ramalan Pak Dwi terbukti, meskipun kelak, tepatnya di tahun 1999 Pak Dwi melepaskan kepemilikan jaringan bioskop 21 itu kepada mitranya, Benny Suherman dan Harris Lesmana.

Pak Dwi mengawali bisnis di dunia film lebih awal dari itu, di tahun 1970 an. Ia memulai produksi film sekalian dengan impor film Mandarin bekerjsama dengan dua bersaudara Bambang Soetrisno dan Benny Suherman.

Film produksi pertamanya lewat perusahaan Sejahtera Film, berjudul "Panji Tengkorak" yang mendatangkan sutradara dan sebagian kru dari Hongkong. Ia kemudian mendirikan Suptan Film, yang memproduksi sejumlah film bekerjasama dengan sutradara terkenal Teguh Karya.

Dari kerjasama itu lahir film-film yang menjadi langganan peraih Piala Citra FFI, seperti "Badai Pasti Berlalu", dan " Ibunda". Tahun 1980 an ia malah memodali Teguh Karya membuat kelompok kerja, namanya dulu dikenal dengan "Cap Ikan" untuk memproduksi film-film khas manajemen Teater Populer, grup teater Teguh Karya.

Pak Dwi amat peduli mendorong sineas film Nasional membuat film yang bermutu sekaligus laris. "Dengan itulah industri film Indonesia bisa ditopang', katanya.

Toh, begitu pun, ia banyak mendapat kritik karena dianggap hanya memanjakan film-film yang mendatangkan keuntungan ke bioskopnya. Yang paling dia sedihkan ketika kelompok bisnisnya dituduh memonopoli peredaran dan impor film. Padahal, sumbangannya kepada berbagai sektor tak disangkal banyak kalangan. Monumen Pers di Solo dan Gedung Dewan Pers di Jakarta merupakan sumbangan almarhum melalui asosiasi film impornya.

Sudwikatmono lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, pada 28 Desember 1934. Ia merupakan putera ketujuh pensiunan mantri pertanian Desa Wuryantoro, dan hanya dia yang tidak militer. Ia merantau ke Jakarta tahun 1955. Karir bisnisnya sering dikait-kaitkan dengan saudara sepupunya, Soeharto, yang Presiden RI periode 1966-1998.

Padahal, Pak Dwi memulai usaha dari bawah sekali, kulak karung di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. "Sejak kecil saya memang menyukai dagang" katanya.


Ayam goreng Kadipiro

Berpembawaan ramah dan familiar, Pak Dwi dikenal luas oleh berbagai lapisan masyarakat. Ia juga boleh dibilang anak gaul Indonesia. Temannya banyak. Hobinya makan.

Penulis termasuk yang pernah diundang "napak tilas" berwisata kuliner ke Yogyakarta, antara lain makan ayam goreng dan soto ayam Kadipiro di kawasan Wates. Ke tempat-tempat dia makan semasa mudanya, masa perjuangan, masa sulit uang, istilah dia.

Kami --Pak Dwi danhanya beberapa wartawan--- menelusuri tempat makan maknyus, yang lokasinya banyak di dalam gang sempit. Penulis sempat bergurau, memprotes ke beliau karena tempat-tempat makan kelas warung yang didatangi semacam itu, sudah lama diakrabi. "Mestinya, di tempat mahal yang belum pernah saya nikmati," protes penulis, yang sontak disambut gelak tawa Pak Dwi.

Beberapa tahun setelah itu penulis bertemu Pak Dwi, setelah dia mendapat serangan stroke. Dia menasehati, supaya menghindari sering menyantap makanan enak. "Akibatnya sudah saya rasakan sekarang, jadi penyakit. Menurut dokter sakit saya antara lain bersumber karena tidak bisa menghindari makan enak itu" ungkapnya.

Tahun 2004, ketika beliau dan isteri hadir dalam acara resepsi pernikahan putera penulis, di Balai Sudirman, Jakarta, sudah terlihat kondisi tubuhnya agak lemah.

Sebenarnya, kabar kondisi Pak Dwi yang kritis di Singapura sudah beredar lebih sebulan lalu. Namun, keluarga mengisyaratkan Pak Dwi belum bisa dibesuk.

Selamat jalan Pak Dwi.

*) Ilham Bintang (ilhambintangmail@yahoo.co.id, ilhambintang@cekricek.co.id; twitter: @ ilham_bintang) adalah wartawan senior, terutama liputan seni, budaya dan hiburan; Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI); Pemimpin Redaksi Tabloid Cek&Ricek (C&R).