Makassar (ANTARA) - Upaya mendorong pengalihan dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia, tidak terlepas dari kondisi lapangan untuk membuka peluang atau kesempatan baru membangun jejaring yang luas untuk pengembangan EBT pada masa transisi energi.

Hal itu dikemukakan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Univeristas Indonesia, Dr Alin Halimatussadiah pada virtual meeting membahas "Transisi Energi" yang digelar CASE for Southeast Asia bersama Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Society Indonesian Environment Journalists (SIEJ), Selasa.

Pada masa transisi energi ini banyak hal yang masih harus dibenahi dan diselaraskan oleh pengambil kebijakan di lapangan. Salah satunya adalah persoalan ketenagakerjaan pada saat pengalihan energi fosil ke EBT.

Selain itu, pengadaan perangkat untuk membangun pembangkit listrik berbasis EBT membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan umumnya peralatannya harus diimpor dari negara-negara maju yang lebih awal mengembangkan EBT.

Desakan untuk menurunkan emisi karbondioksida atau dekarbonisasi ini melalui penggunaan dan pemanfaatan EBT ini sudah menjadi trend dunia dan sesuai dengan Paris Agreement COP21 2015 terkait pemanasan iklim, pembiayaan, peran/konstribusi negara maju - berkembang.

"Klausal yang paling penting dari kesepakatan tersebut adalah global target Net Zero Emission (NZE) pada 2050 untuk mencapai maksimal 1,5 derajat maksimum pemanasan global," kata Alin.

Untuk mencapai NZE, negara maju dan berkembang sudah memasang strategi dan tahapan-tahapan untuk mencapai target tersebut misalnya Amerika Latin pada 2032, Afrika dan Timur Tengah pada 2034, sementara Indonesia paling cepat diprediksi 2045 dan paling lambat 2060, jauh di bawah target negara tetangga seperti Thailand.

Sementara mengenai dokumen kebijakan dan target bauran energi di Indonesia, diakui sudah cukup banyak, hanya saja di lapangan masih ada yang tumpang tindih dan masih membutuhkan sinkronisasi, sehingga kebijakan tersebut dapat terpadu.

Adapun dokumen kebijakan tersebut diantaranya Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Sementara itu, Project Manager CASE for Southeast Asia Agus Pradiyta Tampubolon yang menjadi pemateri sebelumnya mengatakan, potensi EBT di Indonesia sangat besar.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diketahui, total potensi EBT mencapai 417,8 GW dengan energi surya terbanyak yakni 207,8 GW, disusul hidro (air) dengan potensi 75 GW, bayu memiliki potensi 60,6 GW, bioenergi dengan potensi 32,6 GW, panas bumi 23,9 GW dan samudera dengan potensi 17,9 GW.

Jumlah potensi itu diprediksi lebih besar lagi dari paparan statistik EBTKE, sehingga pihaknya optimistis Indonesia ke depan berpeluang menggunakan EBT yang ramah lingkungan atau dikenal dengan energi hijau.
Tangkapan layar perbandingan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) Indonesia dengan negara lainnnya pada virtual meeting membahas "Transisi Energi" yang digelar CASE for Southeast Asia bersama Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Society Indonesian Environment Journalists (SIEJ), Selasa (21/9/2021). ANTARA Foto/ Suriani Mapong