Jakarta (ANTARA) - Psikolog Klinis dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Anna Surti Ariani mengatakan pemberian edukasi seksualitas pada masyarakat dapat membantu mencegah terjadinya suatu pernikahan dini kepada seorang anak.

“Anak remaja tidak suka dibuat penasaran. Itu justru membuat mereka ingin mencoba, harusnya kita melakukan pendidikan seksualitas di usia yang tepat, termasuk memberi tahu risiko-risiko pernikahan dini,” kata Anna saat dihubungi oleh ANTARA melalui telepon, Senin.

Anna mengatakan pemberian edukasi seksualitas sudah dapat dilakukan sejak dini. Namun, perlu dilakukan secara bertahap sesuai dengan usia tumbuh kembang seorang anak.

Pada saat memberikan edukasi seksualitas yang terkait dengan pernikahan dini, Anna mengatakan sangat penting untuk setiap pihak menjabarkan bagaimana sebenarnya suka duka yang terjadi apabila melakukan pernikahan dini.

Edukasi itu tidak hanya memberikan pemahaman mengenai bagaimana cara berhubungan seks yang sehat atau sekadar memperkenalkan alat kelamin itu sendiri, tetapi juga segala hal yang berhubungan dengan seks termasuk cara berkomunikasi sehat dengan orang lain.

Pada anak balita (bayi di bawah umur lima tahun) misalnya, dia menyarankan agar orang tua dapat mengedukasi anak dengan memperkenalkan anak kepada nama alat kelaminnya. Dengan memperkenalkan anak pada bagian seksualnya, anak akan lebih cepat bertindak apabila terjadi suatu kejahatan seksual.

“Orang tua melindungi apa ketika anak melaporkan sesuatu yang tidak jelas? Tapi ketika sudah diberi tahu nama alat kelaminnya, anak bisa melaporkan dengan cepat ketika dia sampai mengalami kejahatan seksual,” kata Anna.

Edukasi pada anak balita itu, termasuk membiasakan anak agar tidak melepas baju di sembarang tempat atau memperlihatkan bagian tubuhnya di lingkungan yang terbuka serta mengajarkan adanya sentuhan baik dan sentuhan buruk yang dilakukan oleh seseorang saat melakukan kontak fisik dengan anak.

Lebih lanjut Anna menuturkan, bagi anak yang telah duduk di bangku sekolah dasar (SD), para guru dapat mulai mengajarkan peran-peran yang dilakukan oleh setiap gender. Sedangkan untuk sekolah menengah pertama (SMP) perlu diajarkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika memiliki ketertarikan pada lawan jenis.

“Penting untuk diajarkan pada pendidikan seksualitas. Kemudian nanti saat SMA, bisa dilanjutkan bagaimana menjalin relasi yang sehat dengan orang lain, bukan relasi yang toksik. Itu juga pendidikan seksualitas yang perlu dibahas,” ujar dia.

Baca juga: Pendidikan seks kunci penegakan hak otonomi tubuh

Baca juga: Pernikahan dini berpotensi timbulkan kekerasan terhadap anak


Ia mengatakan sangat salah apabila masyarakat masih berpikiran bahwa pemberian edukasi seksual tidak boleh dilakukan. Karena melalui pelajaran tersebut, anak-anak dapat menghormati diri sendiri, kesehatan seksualnya serta mampu lebih menghormati lawan jenis.

“Dengan mereka mendapatkan pendidikan seksualitas yang sesuai dengan usianya, justru anak itu terlindung dari risiko-risiko masalah kejahatan seksual, risiko-risiko melakukan hal-hal yang tidak benar dari seksualitas dia, justru dia memiliki kehidupan seksulitas yang lebih sehat. Jadi salah sekali kalau tidak boleh melakukan pendidikan seksualitas, justru ini penting sekali,” ucap Anna.

Secara terpisah, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyoroti edukasi mengenai pernikahan pada anak perlu lebih digalakkan untuk dapat mencegah terjadinya kematian ibu dan bayi.

“Salah satu hal yang perlu kita lakukan adalah kita luruskan bahwa pemahaman terhadap kesehatan reproduksi itu penting,” kata Hasto dalam Rakor BKKBN dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) RI yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (16/9).

Hasto mengatakan, hal tersebut penting untuk dilakukan lebih masif lagi untuk dapat merubah pandangan masyarakat pada sexual education (edukasi seksual) yang masih dianggap sebagai suatu hal yang tabu.

Ia menjelaskan apabila anak tersebut memilih untuk hamil pada usia yang lebih muda, tulang akan berhenti bertambah panjang dan mudah untuk terkena penyakit saat usia tua, karena perempuan akan mengalami menopause (berakhirnya masa mensturasi pada perempuan) dan osteoporosis (kondisi berkurangnya kepadatan tulang) serta rentan terkena kanker mulut rahim.

Hasto menegaskan apabila seorang anak telah memahami dan mengetahui pentingnya kesehatan pada sistem reproduksi tubuh, maka seorang anak akan memiliki pola fikir dan perilaku yang berbeda saat menanggapi hal terkait perkawinan.

Baca juga: Usia pernikahan perempuan 19 tahun kurangi risiko kematian saat hamil

Baca juga: Lindungi milenial dari pernikahan usia dini