Jakarta (ANTARA News) - Ny Darlah bukanlah orang kaya, tapi dia bisa ke Malaysia setiap menit bahkan setiap detik tanpa mengeluarkan biaya dan paspor.
Untuk memasak keperluan sehari-hari, wanita asal Bone tersebut, harus "pergi" ke Malaysia dan saat istirahat di ruang tamu dia sudah berada lagi di Indonesia.
Dia juga tidak memerlukan paspor untuk bisa ke Malaysia, layaknya setiap orang yang akan pergi ke luar negeri.
Itu bisa terjadi, karena rumah Darlah yang berada di Dusun Abadi, Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik, Kalimantan Timur itu, tepat berada di perbatasan Malaysia dan Indonesia.
Rumah Darlah memang memiliki posisi unik, karena separuh rumahnya yang terbuat dari papan kayu berada berada di wilayah Indonesia, sedangkan sebagian lagi di Malaysia.
"Rumah saya memang berada tepat di perbatasan Indonesia-Malaysia. Dapur saya berada di Malaysia dan ruang tamu berada di Indonesia," kata Darlah yang sehari-hari hanya menjadi ibu rumah tangga.
Menurut Darlah, semula dirinya tidak mengetahui bahwa saat membangun rumah bersama suaminya, Mapangara, 10 tahun yang lalu, tanah yang dipergunakan memiliki perbatasan langsung antara dua negara.
Dia merasa tidak ada yang aneh terhadap kondisi rumahnya, bahkan mengaku kehidupannya berjalan seperti biasa dan jarang sekali didatangi petugas imigrasi dari Malaysia.
"Tidak ada yang aneh dengan kondisi ini dan saya juga tidak merasa ada yang mempermasalahkan posisi rumah saya," kata Darlah.
Mapangara mengatakan saat membangun rumah itu 10 tahun yang lalu, dirinya tidak mengetahui bahwa tanah yang dipergunakan bertepatan dengan perbatasan kedua negara.
"Saya tadinya tidak tahu kalau tanah ini ternyata perbatasan langsung dengan Malaysia. Saya tahunya setelah beberapa tahun rumahnya sudah jadi," kata Mapangara dengan logat Bone yang kental.
Sama halnya dengan istrinya, dia pun sewaktu-waktu bisa datang ke Malaysia tanpa memerlukan paspor, hanya untuk keperluan mengambil lauk pauk dan kembali ke Indonesia untuk beristirahat nonton televisi atau sekedar istirahat.
Darlah dan Mapangara, yang warganegara Indonesia, juga mengaku tidak pernah didatangi petugas imigrasi Malaysia untuk menanyakan paspor atau sekedar melihat isi rumah terkait posisi tempat tinggalnya.
Rumahnya yang terbuat dari kayu dan dicat warna Biru pun terlihat sederhana, sementara perabot dan benda-benda yang berada di dalam rumahnya pun tampak sangat sederhana.
"Saya hanya bekerja sebagai tukang bangunan dan kalau ada pekerjaan membangun rumah saya bekerja, tapi kalau tidak ya bekerja seadanya saja," kata Mapangara.
Di Dusun Abadi, rumah yang memiliki posisi seperti itu, sesungguhnya ada beberapa, tapi yang bangunannya tepat di atas garis perbatasan hanya rumah Mapangara.
Lain lagi dengan posisi rumah Riani, seorang ibu rumah tangga yang memiliki satu anak, posisi rumahnya berada di Malaysia tapi untuk berbelanja dan mengantarkan sekolah dia harus ke Malaysia.
"Wilayah Indonesia hanya berada satu meter di depan rumah saya, jadi saya rumahnya di Malaysia tapi untuk aktivitas di luar rumah saya ada di Indonesia," katanya.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia membuka warung keperluan sehari-hari dan yang berbelanja pun harus "menyebrang" ke Malaysia.
Sekalipun rumahnya berada di Malaysia, dia tetap memilih menjadi warganegara Indonesia.
"Saya datang dari Bugis untuk berkelana dan mencari nafkah ke sini, dan saya tetap warga Indonesia," katanya.
Dia mengatakan selama ini tidak ada masalah yang berarti dengan kondisi seperti itu, seperti dengan ditanya oleh pihak Imigrasi Malaysia tentang keberadaan rumahnya yang sesungguhnya sudah berada di negara Malaysia.
"Tidak pernah ada permintaan untuk meninggalkan atau memindahkan rumah saya saat ini, baik dari pihak Indonesia ataupun Malaysia," katanya.
Baik Mapangara maupun Riani mengaku, mereka tidak akan memindahkan rumahnya dan tetap mempertahankan warganegaranya, sekalipun kondisi hidupnya memaksa harus mondar-mandir Indonesia dan Malaysia.
Gubernur Kaltim Awang Farouk Ishak mengakui, memang cukup banyak warga di provinsinya yang posisi rumahnya bersinggungan dengan Malaysia.
Namun selama ini diakui tidak terlalu menimbulkan masalah yang berarti bagi kedua negara.
"Selama ini tidak terlalu ada masalah dan hubungan antara kedua pemerintah, sepertinya tidak terganggu dengan banyaknya warganegara kita yang memiliki bangunan berada di Malaysia," kata Gubernur Awang Farouk.
(A025/T010/A038)
Masak di Malaysia, Tidur di Indonesia
30 Desember 2010 01:38 WIB
(ANTARA/Grafis/Hanmus)
Oleh Ahmad Wijaya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010
Tags: