Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Suparji Ahmad menyatakan Presiden Joko Widodo menjadi kunci penyelesaian polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk 57 pegawai komisi pemberantasan korupsi (KPK).

Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, Suparji menegaskan keputusan akhir dari polemik itu bukan berada di tubuh pimpinan KPK, melainkan berada di tangan pemerintah. Dalam hal ini adalah Presiden Jokowi.

Kata Suparji, hal itu didasarkan pada berkas putusan putusan uji materi Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diajukan oleh pegawai KPK beberapa waktu lalu.

Selain itu, menurut putusan MA, gugatan terhadap Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 yang menjadi dasar TWK tidak tepat. Sebab, hasil asesmen TWK itu bukan kewenangan KPK, melainkan pemerintah.

“Putusan Mahkamah Agung (MA), hasil asesmen TWK bagi pegawai KPK menjadi kewenangan pemerintah. Selama pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi, tidak melakukan keputusan apapun, sebaiknya pimpinan lembaga antirasuah juga melakukan hal yang sama,” kata Suparji menegaskan.

Hal senada disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sigit Riyanto yang meminta Presiden Jokowi segera mengambil sikap terkait nasib pegawai KPK non aktif.

"Presiden Jokowi punya kesempatan untuk menunjukkan komitmennya pada aspirasi publik dan menentukan sikap yang jelas bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Sigit.

Sigit menegaskan temuan Ombudsman RI dan Komnas HAM yang masing-masing menemukan malaadministrasi dan pelanggaran HAM. Walaupun kata dia, temuan kedua lembaga tersebut sudah tertolak di hadapan MK.

Baca juga: KPK bantah percepat berhentikan 56 pegawainya

Namun, menurut Sigit, argumen masing-masing lembaga tersebut menunjukkan triangulasi terhadap alih status pegawai KPK melalui asesmen TWK tidak relevan, tidak kredibel dan tidak adil.

Sehingga kata Sigit, saat ini tersisa dua argumen untuk membela nasib pegawai non aktif KPK. Pertama, uji materi keterbukaan informasi publik KPK, dan kedua sikap Presiden Jokowi terhadap keputusan final nasib pegawai non-aktif.

Beberapa waktu lalu, Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan polemik tes TWK itu.

Tiga desakan kepada presiden itu yakni Presiden Jokowi harus berpegang teguh pada komitmen awal dan membuktikannya dengan sikap konkret menengahi polemik TWK pegawai KPK.

Presiden Jokowi mengikuti rekomendasi Komnas HAM berupa tindakan korektif untuk mengangkat seluruh pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK.

Baca juga: Koalisi masyarakat sipil mendirikan kantor darurat berantas korupsi

Presiden Jokowi memerintahkan KPK untuk mengikuti rekomendasi Komnas HAM dan melaksanakan tindakan korektif yang diminta Ombudsman.

Sebelumnya, tiga pegawai KPK non aktif yakni Hotman Tambunan, Ita Khoiriyah, dan Iguh Sipurba telah memasukan gugatan terkait keterbukaan informasi TWK KPK kepada Komisi Informasi Pusat (KIP).

Selain itu, penyidik senior nonaktif KPK, Novel Baswedan bahkan menyebutkan beberapa pegawai nonaktif KPK ditawari untuk bekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) supaya tidak lagi menggugat keputusan hasil assessmen menjadi ASN KPK.

"Kawan-kawan memilih di KPK karena ingin berjuang untuk kepentingan negara dalam melawan korupsi, tidak hanya untuk sekedar bekerja," kata Novel.

Dia pun menilai, perbuatan tersebut merupakan langkah sewenang-wenang. Hal ini dinilai semakin nyata untuk menyingkirkan pegawai KPK berintegritas.

Baca juga: KPK sampaikan penghargaan atas jasa 56 pegawai yang akan diberhentikan