Kritik Sineas Didengar Presiden
23 Desember 2010 13:06 WIB
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2 kanan) dan Wakil Presiden Boediono (kanan) memimpin sidang kabinet paripurna di kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (23/12). (ANTARA/Widodo S. Jusuf )
Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan revisi kebijakan perpajakan pada 2011 agar benar-benar tepat untuk mendukung perkembangan dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Perintah Presiden itu disampaikan kepada para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II dalam pengantarnya sebelum rapat kabinet paripurna di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis.
Presiden menjelaskan dasar keprihatinannya terhadap masalah pajak yang masih dianggap timpang dan tidak adil bagi rakyat setelah membaca pernyataan pelaku perfilman Indonesia, Hanung Bramantyo, di salah satu media massa nasional.
Dalam artikel tersebut Hanung menyatakan pemerintah telah "membunuh "industri perfilman nasional karena terlalu mahal pajak yang dikenakan kepada industri perfilman nasional dibanding mengimpor film dari luar negeri.
"Saya terusik kata-kata beliau (Hanung) . Tentu ini tidak benar. Bagaimana kita ingin mengembangkan industri perfilman nasional kalau pajaknya demikian. Oleh karena itu silakan diteliti nanti, dikaji, apakah itu benar. Kalau ternyata keliru kita lakukan perbaikan," kata Presiden.
Dia juga mengemukakan "Saya minta kerja keras dan peduli . Jangan hanya dilepas ke Direktorat Jenderal (Pajak, red) dan Menteri Keuangan sendiri, tapi harus sampai pada tingkat saya. Ke depan, pajak kita harus adil bagi rakyat dan bagi pembayar pajak."
Ia mengaku juga menerima pesan pendek dari sosiolog Imam Prasodjo yang melaporkan bantuan cuma-cuma dari negara sahabat pun dikenakan pajak dan birokrasi yang berbelit-belit sehingga seringkali para pemberi bantuan itu akhirnya enggan dan menghentikan proyek sukarelanya di Indonesia.
Presiden pun menyatakan ia sudah mendengar pajak yang terlalu tinggi di beberapa industri strategis seperti industri galangan kapal sehingga mengimpor dari luar negeri jauh lebih masuk akal bagi para pelaku usaha.
Kepala Negara meminta revisi pemberlakukan pajak segera dilakukan agar kebijakan pajak yang tidak tepat jangan sampai mengurangi manfaat dunia usaha dan dalam jangka panjang nantinya mengurangi penerimaan negara karena investasi dan ekonomi tidak bisa berkembang.
"Mengenai pajak ini yang intinya mari kita lakukan pembenahan dan penataan kembali kebijakan perpajakan agar benar-benar kita bisa membangun iklim investasi dan bisnis yang baik serta memberikan rasa adil dan kepastian," tuturnya.
Presiden menekankan pentingnya pemberlakukan pajak yang optimum dan juga meminimalkan distorsi dalam pengumpulan dan administrasi pajak.
Ia juga meminta kepastian dalam setiap keputusan menteri dan juga peraturan atau keputusan Dirjen Pajak sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam penyelesaian perkara sengketa pajak.
"Pastikan agar keputusan menteri dan juga peraturan,SK Dirjen Pajak, itu tidak boleh bersifat multitafsir. Saya banyak sekali mendapatkan masukan akibat penafsiran berbeda-beda akhirnya banyak dispute (perselisihan, red). Begitu masuk ke pengadilan pajak kadang-kadang ouput tidak seperti diartikan banyak orang," jelasnya.
Presiden menginginkan kebijakan pajak diselaraskan dengan empat pilar kebijakan ekonomi pemerintah, yaitu pro growth, pro poor, pro job, dan pro environment.
Menurut Presiden, perlu dikembangkan kebijakan insentif pajak bagi industri yang mendukung pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, serta bersahabat dengan lingkungan.
Sebaliknya, bagi industri yang bertentangan dengan kebijakan ekonomi pemerintah perlu dikenakan disinsetif pajak atau pemberlakuan pajak yang lebih tinggi.
Presiden memberikan waktu satu bulan kepada para menteri terkait untuk selanjutnya mengusulkan revisi kebijakan perpajakan yang lebih baik untuk diimplementasikan oleh pemerintah.
(D013/B/A011/A038)
Perintah Presiden itu disampaikan kepada para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II dalam pengantarnya sebelum rapat kabinet paripurna di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis.
Presiden menjelaskan dasar keprihatinannya terhadap masalah pajak yang masih dianggap timpang dan tidak adil bagi rakyat setelah membaca pernyataan pelaku perfilman Indonesia, Hanung Bramantyo, di salah satu media massa nasional.
Dalam artikel tersebut Hanung menyatakan pemerintah telah "membunuh "industri perfilman nasional karena terlalu mahal pajak yang dikenakan kepada industri perfilman nasional dibanding mengimpor film dari luar negeri.
"Saya terusik kata-kata beliau (Hanung) . Tentu ini tidak benar. Bagaimana kita ingin mengembangkan industri perfilman nasional kalau pajaknya demikian. Oleh karena itu silakan diteliti nanti, dikaji, apakah itu benar. Kalau ternyata keliru kita lakukan perbaikan," kata Presiden.
Dia juga mengemukakan "Saya minta kerja keras dan peduli . Jangan hanya dilepas ke Direktorat Jenderal (Pajak, red) dan Menteri Keuangan sendiri, tapi harus sampai pada tingkat saya. Ke depan, pajak kita harus adil bagi rakyat dan bagi pembayar pajak."
Ia mengaku juga menerima pesan pendek dari sosiolog Imam Prasodjo yang melaporkan bantuan cuma-cuma dari negara sahabat pun dikenakan pajak dan birokrasi yang berbelit-belit sehingga seringkali para pemberi bantuan itu akhirnya enggan dan menghentikan proyek sukarelanya di Indonesia.
Presiden pun menyatakan ia sudah mendengar pajak yang terlalu tinggi di beberapa industri strategis seperti industri galangan kapal sehingga mengimpor dari luar negeri jauh lebih masuk akal bagi para pelaku usaha.
Kepala Negara meminta revisi pemberlakukan pajak segera dilakukan agar kebijakan pajak yang tidak tepat jangan sampai mengurangi manfaat dunia usaha dan dalam jangka panjang nantinya mengurangi penerimaan negara karena investasi dan ekonomi tidak bisa berkembang.
"Mengenai pajak ini yang intinya mari kita lakukan pembenahan dan penataan kembali kebijakan perpajakan agar benar-benar kita bisa membangun iklim investasi dan bisnis yang baik serta memberikan rasa adil dan kepastian," tuturnya.
Presiden menekankan pentingnya pemberlakukan pajak yang optimum dan juga meminimalkan distorsi dalam pengumpulan dan administrasi pajak.
Ia juga meminta kepastian dalam setiap keputusan menteri dan juga peraturan atau keputusan Dirjen Pajak sehingga tidak menimbulkan multitafsir dalam penyelesaian perkara sengketa pajak.
"Pastikan agar keputusan menteri dan juga peraturan,SK Dirjen Pajak, itu tidak boleh bersifat multitafsir. Saya banyak sekali mendapatkan masukan akibat penafsiran berbeda-beda akhirnya banyak dispute (perselisihan, red). Begitu masuk ke pengadilan pajak kadang-kadang ouput tidak seperti diartikan banyak orang," jelasnya.
Presiden menginginkan kebijakan pajak diselaraskan dengan empat pilar kebijakan ekonomi pemerintah, yaitu pro growth, pro poor, pro job, dan pro environment.
Menurut Presiden, perlu dikembangkan kebijakan insentif pajak bagi industri yang mendukung pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, serta bersahabat dengan lingkungan.
Sebaliknya, bagi industri yang bertentangan dengan kebijakan ekonomi pemerintah perlu dikenakan disinsetif pajak atau pemberlakuan pajak yang lebih tinggi.
Presiden memberikan waktu satu bulan kepada para menteri terkait untuk selanjutnya mengusulkan revisi kebijakan perpajakan yang lebih baik untuk diimplementasikan oleh pemerintah.
(D013/B/A011/A038)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010
Tags: