"Karena sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia memiliki relasi dengan negara-negara Islam lainnya, termasuk Afghanistan," kata Chappy saat menjadi pembicara Webinar Moya Institute bertajuk "Dampak Berkuasanya Kembali Taliban Bagi Keamanan Indonesia", Jumat.
Apalagi, lanjut dia, dalam sejarahnya, Afghanistan pernah menjadi "training center" para teroris. "Hal ini yang harus kita waspadai," ujar Chappy dalam siaran persnya.
Terkait Taliban sendiri, Chappy mengamati bahwa Taliban itu tidak utuh dan masih ada faksi-faksi yang belum solid.
"Sebagai pemerintahan, Taliban belum efektif. Maka masih terlalu dini apabila Indonesia memberikan endorse pada Taliban," ujar Founder dan Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) itu.
Meski, Taliban menyatakan akan menjadi pemerintahan yang inklusif dan lainnya, tambah dia, tapi masih harus diuji kebenarannya.
Baca juga: Hamidin: Waspada potensi radikalisme setelah berkuasanya Taliban
Baca juga: Ketum Gelora: Lebih penting antisipasi dampak persaingan AS-Tiongkok
Sementara itu, Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menyatakan Indonesia harus bisa mengantisipasi agar tidak menjadi 'residu' dari 'perang' supremasi antara Amerika Serikat (AS) dan China.Baca juga: Hamidin: Waspada potensi radikalisme setelah berkuasanya Taliban
Baca juga: Ketum Gelora: Lebih penting antisipasi dampak persaingan AS-Tiongkok
Anis mengatakan, Indonesia harus mewaspadai dampak perang supremasi itu, karena Indonesia dekat dengan salah satu spot perang supremasi tersebut, yakni Laut China Selatan.
Guna mengantisipasi perang supremasi itu, Anis memberi catatan penting bagi Angkatan Perang atau Militer Indonesia.
"Ingat, di Militer Indonesia ini, sudah puluhan tahun tidak punya pengalaman perang yang besar," ujar Anis.
Hal penting berikutnya yang perlu diwaspadai, sambung Anis, adalah ketimpangan ekonomi. Berdasarkan pengamatan Anis, ketimpangan ekonomi di Indonesia terkait dengan dua isu lainnya, yakni agama dan etnis.
"Sebab, kemiskinan ini banyak dialami oleh umat Islam, dan yang dominan di perekonomian adalah etnis China. Isu ini, bila dimanfaatkan oleh global player yang masuk, akan menciptakan kekacauan di negeri ini. Maka, pemerintah harus menangani ini secara serius," tuturnya.
Terkait berkuasanya Taliban di Afghanistan, Anis menilai hal itu tak memiliki dampak besar bagi keamanan Indonesia.
Sebab narasi yang dibawa Taliban saat ini, sudah sangat berbeda dengan Taliban pada dekade 1990-an.
"Taliban kini memberi pengampunan pada orang-orang yang bekerja dengan pemerintah sebelumnya. Taliban kini juga menyatakan diri sebagai Imarah Islamiyyah, bukan Khilafah Islamiyyah, yang artinya Taliban hanya ingin berdaulat di teritori Afghanistan," papar mantan Politikus PKS itu.
Webinar itu juga diisi oleh Mantan Duta Besar RI untuk PBB Prof. Dr. Makarim Wibisono, Pengamat Politik Internasional Prof. Imron Cotan dan Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto sebagai pemantik diskusi.