Banda Aceh (ANTARA) - Para pihak di legislatif Aceh (DPRA) diingatkan, agar perumusan rancangan Qanun (peraturan daerah) tentang posisi Wali Nanggroe (WN) tidak sampai memunculkan konflik baru di Provinsi Aceh, kata Ahmad Farhan Hamid.

Wakil Ketua MPR RI itu di Banda Aceh, Sabtu, mengharapkan para anggota legislatif Aceh, agar mencermati rancangan Qanun WN tersebut secara arif dan bijaksana.

Dalam seminar nasional bertema "Membedah Rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe", ia mengharapkan produk hukum lokal yang digagas kalangan DPRA saat ini telah mengundang kontraversial masyarakat di provinsi tersebut.

"Adanya kontravesrsi yang muncul itu juga sebagai rangkaian konflik yang mulai terlihat. Saya juga melihat teman-teman di DPRA tidak mau mengambil risiko terhadap pengesahan rancangan qanun tersebut," kata Farhan Hamid.

Oleh karena itu, ia menilai legislatif khususnya Ketua DPRA Tgk Hasbi Abdullah pasti akan mengambil jalan arif dalam menyelesaikan sebuah Qanun yang tentunya akan aspiratif seluruh masyarakat Aceh.

"Saya pikir, DPRA akan merundingkan kembali dan mematri substansi yang sesuai ketentuan perundang-undangan dan sesuai dengan kebutuhan Aceh masa depan," kata dia.

Akan tetapi, Farhan menyatakan, salah satu pilihan terbaik untuk lembaga WN adalah adanya prinsip-prinsip demokratis.

"Artinya, posisi orang yang akan memangku jabatan WN tidak hanya terbatas pada seseorang saja. Tapi, untuk posisi WN agar diberi ruang atau kesempatan luas kepada masyarakat," kata dia.

Posisi WN tidak hanya tergantung pada seseorang, dengan masa jabatan yang tidak terbatas atau sampai mati. WN juga jangan sampai mengatur masalah politik dan pemerintahan.

"Lembaga WN cukup penting untuk mewujudkan secara konkret sebagai pihak yang memang berfungsi bagi pemersatu masyarakat Aceh," katanya menambahkan.

Menurut Farhan sistem monarkhi di zaman modern tidak sesuai lagi, sebab bertentangan dengan semangat demokratis yang dianut bangsa-bangsa di dunia ini.

Perlu juga menjadi pertimbangan legislatif Aceh bahwa untuk 10 tahun mendatang akan terjadi "boming" orang-orang terdidik. Bahkan, di dunia manapun akan terjadi evolusi pengambilan peran dalam sistem sosial politik.

"Artinya, orang-orang terdidik nantinya juga akan menuntut peran untuk menentukan masa depan Aceh. Masa depan Aceh nanti tidak bisa ditentukan oleh satu atau dua orang," katanya menambahkan.
(T.A042/P003)