Purwokerto (ANTARA) - Jaksa Agung Prof Dr ST Burhanuddin mengingatkan kepada seluruh aparat penegak hukum khususnya jaksa bahwa sumber dari hukum adalah moral, dan di dalam moral ada hati nurani.

"Ingat! Sumber dari hukum adalah moral, dan di dalam moral ada hati nurani. Saya sebagai Jaksa Agung tidak membutuhkan jaksa yang pintar tetapi tidak bermoral, dan saya juga tidak butuh jaksa yang cerdas tetapi tidak berintegritas. Yang saya butuhkan adalah para jaksa yang pintar dan berintegritas," kata Jaksa Agung, di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat.

Burhanuddin mengatakan hal itu dalam pidato berjudul "Hukum Berdasarkan Hati Nurani (Sebuah Kebijakan Penegakan Hukum Berdasarkan Keadilan Restoratif" yang dia bacakan saat dikukuhkan sebagai Profesor Bidang Ilmu Hukum dan Guru Besar Tidak Tetap Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto yang digelar di Auditorium Graha Widyatama Unsoed Purwokerto serta daring melalui Zoom dan Youtube.

Menurut dia, profesionalitas seorang jaksa akan sempurna jika dapat menyeimbangkan antara intelektual dan integritas.

"Saya sangat meyakini jika setiap manusia memiliki dan mampu untuk menggunakan hati nurani. Oleh karena itu, saya tidak menghendaki para jaksa melakukan penuntutan asal-asalan, tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan tidak ada dalam text book, tetapi ada dalam hati nurani," katanya lagi.

Dengan demikian, kata dia, jangan sekali-kali menggadaikan hati nurani, karena itu adalah anugerah termurni yang dimiliki manusia dan itu adalah cerminan dari sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Lebih lanjut dalam pidatonya, Burhanuddin mengatakan keadilan adalah tujuan utama dari hukum, tetapi bukan berarti tujuan hukum yang lain, yaitu kepastian dan
kemanfaatan terpinggirkan.

"Ketika keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum saling menegasikan, maka hati nurani menjadi jembatan untuk mencapai titik neraca keseimbangan," katanya.

Menurut dia, hati nurani bukanlah tujuan hukum, melainkan instrumen katalisator untuk merangkul, menyatukan, dan mewujudkan ketiga tujuan hukum tersebut secara sekaligus.

Ketika kemanfaatan hukum dan kepastian hukum yang dilandasi dengan hati nurani telah tercapai secara bersamaan, kata dia, maka keadilan hukum akan terwujud secara paripurna.

"Adanya komponen hati nurani yang memiliki andil besar dalam mewujudkan keadilan hukum ini, saya namakan sebagai Hukum Berdasarkan Hati Nurani," katanya menjelaskan.

Ia mengatakan semakin tinggi nilai penggunaan hati nurani, maka semakin tinggi pula nilai keadilan hukum yang dapat diwujudkan.

Dia pun mengutip tulisan Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo mengenai Bab-Bab tentang Penemuan yang menyebutkan bahwa hukum tanpa keadilan adalah sia-sia, dan hukum tanpa tujuan atau manfaat juga tidak dapat diandalkan.

"Hukum berdasarkan hati nurani adalah cara untuk mewujudkan keadilan hukum yang hakiki dengan berpijak pada kemanfaatan hukum dan kepastian hukum yang dicapai secara bersamaan dengan cara melibatkan hati nurani," katanya menegaskan.

Lebih lanjut, Burhanuddin mengatakan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Menurut dia, filosofi Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif adalah untuk melindungi masyarakat kecil. Hal esensial dari Keadilan Restoratif, yaitu "pemulihan.

"Pemulihan kembali akan kedamaian yang sempat pudar antara korban, pelaku maupun masyarakat," katanya pula.
Baca juga: Jaksa Agung minta jaksa menjadi penegak keadilan restoratif
Baca juga: Jaksa Agung ingatkan jajaran terapkan hukum berdasarkan hati nurani


Ia mengatakan Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif yang diundangkan pada tanggal 22 Juli 2020 itu, bertepatan dengan Hari Bhakti Adhyaksa yang ke-60 dan sekaligus menjadi kado penegakan hukum di Indonesia.

"Saya yakin Peraturan Kejaksaan ini akan menjadi momentum yang mengubah 'wajah penegakan hukum di Indonesia'. Tidak akan ada lagi kasus seperti Nenek Minah dan Kakek Samirin yang sampai di meja hijau. Tidak akan ada lagi penegakan hukum yang hanya melihat kepastian hukumnya saja, dan tidak akan ada lagi hukum yang hanya tajam ke bawah," kata Burhanuddin.