Karawang (ANTARA) - Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menyatakan izin tambang PT Atlasindo Utama telah dibekukan sejak beberapa tahun terakhir.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan setempat Wawan Setiawan, di Karawang, Selasa, mengatakan ada beberapa alasan sampai izin PT Atlasindo Utama dibekukan.

Menurut dia, Atlasindo mulai melakukan kegiatan pertambangan di wilayah Karawang selatan pada 2006.

"Mulai tahun itu, setiap lima tahun sekali, izinnya diperpanjang. Terakhir izinnya Diperpanjang pada 2017 oleh provinsi," katanya.

Baca juga: Dedi Mulyadi pertanyakan izin tambang di kawasan hutan Karawang

Baca juga: Bupati Karawang tolak tambang pabrik semen


Hal tersebut disampaikan Wawan kepada anggota DPR RI Dedi Mulyadi yang saat itu mendatangi kantornya, membahas rencana pengusulan kawasan Gunung Sanggabuana menjadi Taman Nasional ke pusat.

Pada 2017 izin Atlasindo diperpanjang pemerintah provinsi, karena terjadi peralihan wewenang pertambangan dari pemerintah kabupaten ke pemerintah provinsi.

Sesuai dengan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Karawang, sejak tahun 2006 lalu Atlasindo melakukan pertambangan di lahan seluas sekitar 20 hektare.

Lahan seluas 20 hektare itu terdiri atas 14 hektare wilayah kehutanan dan 6 hektare milik perusahaan.

Namun, saat ini izin Atlasindo dibekukan. Itu dilakukan sejak 2018 karena terdapat ketidaksesuaian dokumen lingkungan tahun 2006 dengan tahun 2017.

Pada tahun 2006, dokumen lingkungannya hanya untuk pertambangan. Namun, pada 2017, perusahaan itu melakukan produksi batu split.

"Jadi dibekukan izinnya," kata dia.

Meski telah bertahun-tahun dibekukan, Dedi Mulyadi menyatakan di lapangan masih ada kegiatan Atlasindo.

Atas hal tersebut, legislator dapil Karawang, Purwakarta dan Bekasi ini menyarankan agar ada kompensasi terhadap 30 warga yang bekerja di Atlasindo.

Kompensasi ini akan dibahas lebih lanjut oleh Dedi Mulyadi, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pemerintah kecamatan dan pemerintah desa.

"Saya kira harus ada kompensasi supaya perusahaan tidak berdalih atas nama masyarakat untuk terus melakukan kegiatan," kata Dedi Mulyadi.*