Peneliti minta aparat cegah kelompok radikal termotivasi Taliban
6 September 2021 22:33 WIB
Tangkapan layar peneliti terorisme Universitas Brawijaya Milda Istiqomah (kanan atas) menyampaikan pandangannya soal gerakan radikal di Indonesia pascakemenangan Taliban, pada sesi seminar virtual yang disiarkan di Youtube sebagaimana diikuti, di Jakarta, Senin (6/9/2021). ANTARA/Genta Tenri Mawangi
Jakarta (ANTARA) - Peneliti isu terorisme meminta aparat penegak hukum fokus mencegah kelompok radikal di Indonesia menggunakan momen kemenangan Taliban sebagai motivasi baru mendirikan negara Islam lewat aksi-aksi teror.
Pasalnya, ada kemungkinan kelompok-kelompok radikal di Tanah Air memanfaatkan kemenangan Taliban menggulingkan pemerintahan yang sah di Afghanistan sebagai inspirasi membentuk negara Islam lewat aksi teror, kata peneliti terorisme Universitas Brawijaya Milda Istiqomah pada acara seminar virtual yang diikuti, di Jakarta, Senin.
“Yang disampaikan Densus patut diwaspadai, Jamaah Islamiyah (JI) mulai bangkit, menata kembali, dan metode perekrutannya sudah tidak lagi seperti dulu, (saat ini) sangat sporadis dan menyasar ke semua lini. Itu harus jadi perhatian,” ujar Milda.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2008 menetapkan Jamaah Islamiyah sebagai organisasi terlarang, tetapi Kepala Badan Ops Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri Kombes Pol Aswin Siregar bulan lalu menyebut kelompok teroris JI masih aktif bergerak membangun jaringan dan merekrut anggota.
JI merupakan salah satu kelompok bentukan warga Indonesia yang sempat ikut berlatih dan bertempur di Afghanistan pada periode 1980-an sampai 1990-an, Milda menerangkan.
“Sekitar 80-an, Afghanistan jadi training ground (tempat pelatihan, Red.) dan battle ground (arena tempur, Red.) teroris, termasuk jihadis Indonesia. Flashback pada 90-an, banyak pengiriman militan (Indonesia) ke Afghanistan, dan saat pulang mereka terlibat aksi terorisme, mencetuskan JI, dan terlibat bom bali,” kata Milda, yang telah meneliti isu-isu terorisme selama 12 tahun.
Terkait itu, ia menjelaskan aparat penegak hukum dan lembaga terkait lainnya perlu mengambil langkah tepat mencegah proses radikalisasi berjalan. Pertanyaannya, kata Milda, kapan intervensi perlu dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Menurut dia, langkah pencegahan itu perlu dilakukan ketika ada keyakinan dan paham-paham ekstrem yang mulai mengarah pada kekerasan.
Penyebaran paham-paham ekstrem masih termasuk dalam tahap pertama, yang kemudian berlanjut pada proses radikalisasi dan berujung pada aksi teror, ujar Milda pula.
“Kaitan dengan kemenangan Taliban ini ada di proses pertama. Simpatisannya banyak sekali (di Indonesia),” kata dia menegaskan.
Namun, posisi sebagai simpatisan bukan perbuatan yang melanggar hukum, karena keyakinan dan paham pribadi dilindungi oleh konstitusi. Namun, peran sebagai simpatisan dan pemikiran-pemikiran yang ekstrem punya dampak hukum ketika itu telah memuat unsur kekerasan.
“Kalau simpatisan saja itu memang diperbolehkan, tetapi ketika mengarah pada kekerasan, itu tidak boleh,” kata Milda.
Baca juga: Ketua MPR khawatir kemenangan Taliban jadi inspirasi kelompok radikal
Baca juga: JK: Masyarakat harus bersatu lawan kelompok radikal
Pasalnya, ada kemungkinan kelompok-kelompok radikal di Tanah Air memanfaatkan kemenangan Taliban menggulingkan pemerintahan yang sah di Afghanistan sebagai inspirasi membentuk negara Islam lewat aksi teror, kata peneliti terorisme Universitas Brawijaya Milda Istiqomah pada acara seminar virtual yang diikuti, di Jakarta, Senin.
“Yang disampaikan Densus patut diwaspadai, Jamaah Islamiyah (JI) mulai bangkit, menata kembali, dan metode perekrutannya sudah tidak lagi seperti dulu, (saat ini) sangat sporadis dan menyasar ke semua lini. Itu harus jadi perhatian,” ujar Milda.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2008 menetapkan Jamaah Islamiyah sebagai organisasi terlarang, tetapi Kepala Badan Ops Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri Kombes Pol Aswin Siregar bulan lalu menyebut kelompok teroris JI masih aktif bergerak membangun jaringan dan merekrut anggota.
JI merupakan salah satu kelompok bentukan warga Indonesia yang sempat ikut berlatih dan bertempur di Afghanistan pada periode 1980-an sampai 1990-an, Milda menerangkan.
“Sekitar 80-an, Afghanistan jadi training ground (tempat pelatihan, Red.) dan battle ground (arena tempur, Red.) teroris, termasuk jihadis Indonesia. Flashback pada 90-an, banyak pengiriman militan (Indonesia) ke Afghanistan, dan saat pulang mereka terlibat aksi terorisme, mencetuskan JI, dan terlibat bom bali,” kata Milda, yang telah meneliti isu-isu terorisme selama 12 tahun.
Terkait itu, ia menjelaskan aparat penegak hukum dan lembaga terkait lainnya perlu mengambil langkah tepat mencegah proses radikalisasi berjalan. Pertanyaannya, kata Milda, kapan intervensi perlu dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Menurut dia, langkah pencegahan itu perlu dilakukan ketika ada keyakinan dan paham-paham ekstrem yang mulai mengarah pada kekerasan.
Penyebaran paham-paham ekstrem masih termasuk dalam tahap pertama, yang kemudian berlanjut pada proses radikalisasi dan berujung pada aksi teror, ujar Milda pula.
“Kaitan dengan kemenangan Taliban ini ada di proses pertama. Simpatisannya banyak sekali (di Indonesia),” kata dia menegaskan.
Namun, posisi sebagai simpatisan bukan perbuatan yang melanggar hukum, karena keyakinan dan paham pribadi dilindungi oleh konstitusi. Namun, peran sebagai simpatisan dan pemikiran-pemikiran yang ekstrem punya dampak hukum ketika itu telah memuat unsur kekerasan.
“Kalau simpatisan saja itu memang diperbolehkan, tetapi ketika mengarah pada kekerasan, itu tidak boleh,” kata Milda.
Baca juga: Ketua MPR khawatir kemenangan Taliban jadi inspirasi kelompok radikal
Baca juga: JK: Masyarakat harus bersatu lawan kelompok radikal
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021
Tags: