Jakarta (ANTARA News) - Amerika Serikat menganggap China "pesaing ekonomi bejat yang tidak bermoral" karena investasinya di Afrika malah menopang rezim-rezim lalim, demikian kawat diplomatik AS yang dibocorkan WikiLeaks.

Penilaian sejujurnya Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk urusan Afrika, Johnnie Carson, ini adalah salah satu diantara pengungkapan terbaru dari ribuan dokumen resmi yang dibocorkan laman peniup-peluit WikiLeaks.

"China adalah pesaing ekonomi yang sangat agresif dan bejat yang tidak bermoral. China berada di Afrika tidak untuk alasan altruistis (mulia demi kepentingan orang lain)," kata Carson pada pertemuan dengan para eksekutif minyak di Nigeria Februari lalu.

"China berada di Afrika hanya untuk China," katanya, menurut pesan rahasia yang ditulis pada 23 Februari oleh konsul jenderal AS di Lagos.

Carson menuliskan alasan lain kehadiran China di Afrika, yaitu "menggali suara di PBB dari negara-negara Afrika demi memuluskan tujuan bangsa itu sendirim dan memotong dukungan diplomatik Afrika untuk Taiwan.

Beijing memompakan dana sebesar 9,3 miliar dolar ke Afrika sampai akhir 2009, demikian China-Africa Trade and Economic Relationship Annual Report 2010, yang diluncurkanpada Oktober oleh sebuah lembaga riset pemerintah.

Investasinya sendiri di benua itu mencapai 1,44 miliar dolar pada 2009, sementara pada 2000 baru 220 juta dolar AS, papar laporan itu, menggambarkan meningkatnya ketergantungan China pada sumber daya Afrika untuk memacu perekonomiannya yang cepat bertumbuh itu.

Lebih dari 1.600 perusahaan China berinvestasi di Afrika di sektor pertambangan, pengolahan, perdagangan, pertanian, konstruksi, dan manufaktur, kata media pemerintah mengutip Kementerian Perdagangan.

China dikritik dunia Barat karena dukungannya terhadap para pemimpin garis keras seperti Omar Bashir di Sudan dan Robert Mugabe di Zimbabwe, sementara para pemimpin Afrika sendiri memuji Beijing karena tidak berkhotbah tentang hak asasi manusia.

"AS akan terus mendorong demokrasi dan kapitalisme, sementara kapitalisme otoriter China secara politis menentang itu," kata Carson.

Beijing menggunakan pendekatan yang "berbeda" dalam menghadapi orang-orang seperti Mugabe dan Bashir di dunia ini, sambungnya.

Awal pekan ini Beijing kembali menegaskan bahwa pembocoran kabel yang terus menerus oleh WikiLeaks tidak akan mempengaruhi hubungannya dengan AS.

Kementerian luar negeri China Kamis ini belum mengomentari keluarnya dokumen rahasia mengenai kebijakan China di Afrika. Sejauh ini kemenlu China terus menolak mengomentari dokumen bertalian Beijing tersebut.

Carson mengatakan AS memasang mata-mata untuk mengetahui perkembangan China di Afrika.

"Apakah China mengembangkan "blue-water navy" (armada laut yang besar yang bisa dipergelarkan ke seluruh samudera)? Apakah mereka pernah menandatangani perjanjian pangkalan militer? Apakah mereka melatih tentara (Afrika)? Apakah mereka telah membangun pangkalan intelijen?" katanya.

"Begitu bidang-bidang ini mereka kembangkan, maka saat itu pula AS akan mulai khawatir," katanya, namun dia mencatat untuk saat ini Washington tak memandang China memesankan "ancaman militer, keamanan atau intelijen".

Kabel lain yang dikirimkan Duta Besar AS untuk Kenya pada 17 Februari mengatakan Nairobi menerima senjata dan amunisi dari China untuk mendukung "prakarsa Jubaland", menunjuk sebuah provinsi di perbatasan Somali.

Negara Afrika timur itu juga menerima telekomunikasi dan peralatan komputer dari China untuk kegiatan intelijennya, demikian memo rahasia Deplu AS tersebut.

Kawat diplomatik itu mengatakan sebuah perusahaan telekomunikasi China mendapat kontrak untuk peralatan pemantauan darat atas bantuan para pejabat korup yang salah seorang diantaranya menerima bayaran perbulan lebih dari 5 ribu dolar sebagai tagihan biaya perawatan kesehatannya.

(Majalah Prancis) Le Monde memperkirakan perusahaan China itu adalah ZTE. Nama perusahaan itu tidak terdapat dalam kawat diplomatik yang muncul di situs WikiLeaks.

ZTE dan pesaingnya yang sama-sama dari China, Huawei, berusaha meningkatkan eksistensi mereka di AS,
di tengah tentangan parlemen AS yang mengkhawatirkan kemungkinan ancaman bagi keamanan nasional AS. (*)

AFP/Adm/AR09