Pakar: Teliti Gunung Api Purba
7 Desember 2010 20:28 WIB
Seorang penyelam menyelam diantara gelembung yang keluar dari gunung Mahangetang yang berada dibawah laut di Siau, Kabupaten Sitaro, Sulawesi Utara, Kamis (3/6). (ANTARA/Basrul Haq)
Bandung, (ANTARA) - Peneliti dari Badan Geologi Prof Dr Sutikno Bronto memandang perlu penelitian gunung api sebagai antisipasi jangka panjang terhadap letusan kaldera dan longsoran besar tubuh gunung api purba.
"Sekalipun sudah termasuk gunung api purba, kalau kegiatan tektonika di daerah itu aktif kembali maka tidak menutup kemungkinan terjadi periode volkanisme baru," kata Sutikno Bronto pada pengukuhan Profesor Riset Bidang Vulkanologi di Badan Geologi, Selasa.
Metoda evaluasi ancaman bahaya gunung api purba itu, menurut dia, seyogianya diterapkan pada pemanfaatan uap panas bumi untuk pusat pembangkit tenaga listrik yang banyak terdapat di kawasan gunung api serta keteknikan lainya, termasuk rencana pembangunan jembatan Selat Sunda.
"Supaya sumber daya alam gunung api dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dan risiko bencana yang ditimbulkannya dapat diminimalisasi maka pandangan geologi gunung api seyogyanya mulai diperhatikan di dalam pembelajaran geologi di Indonesia," ujarnya.
Ia menyebutkan, kaldera besar bekas letusan jutaan tahun silam tetap harus diwaspadai. Bila gaya tektonika berarah mendatar masih dominan, maka potensi bencana gempa bumi saja yang mengancam daerah itu.
Sedangkan bila berarah vertikal yang lebih kuat yang disebabkan magma yang sedang menekan dan bergerak ke atas maka yang terjadi adalah bencana dahsyat berupa letusan kaldera gunung.
Hal itu, menurut Sutikno bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi apalagi di Indonesia terdapat beberapa kawasan dengan gunung api aktif.
"Gunung api muda relatif mudah mengidentifikasinya, sebaliknya gunung api tua yang sudah masuk gunung api purba penentuan lokasi erupsinya memerlukan penelitian geologi gunung api yang komprehensif," katanya.
Ia mencontohkan Gunung Sinabung di Sumatera Utara yang sebelumnya dianggap gunung api purba, namun kembali erupsi.
Terkait longsoran gunung api besar, menurut Sutikno, memang jarang terjadi, tetap sekali terjadi akan menimbulkan bencana luar biasa.
Ia mencontohkan longsoran raksasa gunung api (gigantic landslide) dari tubuh kerucut gunung api terjadi di Mount St Helens Amerika Serikat tahun 1980.
Di Indonesia juga terjadi di Gunung Papandayan (1772), Gunung Gede, Galunggung dan Ciremai. Sedangkan lonsoran gunung api terbesar di Indonesia terdapat di kompleks Gunung Gadung-Raung Jember, Jawa Timur.
"Seringnya terjadi gempa bumi mikro, turut berkontribusi memperlemah kestabilan batuan sehingga memicu terjadinya gerakan tanah di kawasan gunung api," demikian profesor riset vulkanologi itu.
S033/R007
"Sekalipun sudah termasuk gunung api purba, kalau kegiatan tektonika di daerah itu aktif kembali maka tidak menutup kemungkinan terjadi periode volkanisme baru," kata Sutikno Bronto pada pengukuhan Profesor Riset Bidang Vulkanologi di Badan Geologi, Selasa.
Metoda evaluasi ancaman bahaya gunung api purba itu, menurut dia, seyogianya diterapkan pada pemanfaatan uap panas bumi untuk pusat pembangkit tenaga listrik yang banyak terdapat di kawasan gunung api serta keteknikan lainya, termasuk rencana pembangunan jembatan Selat Sunda.
"Supaya sumber daya alam gunung api dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dan risiko bencana yang ditimbulkannya dapat diminimalisasi maka pandangan geologi gunung api seyogyanya mulai diperhatikan di dalam pembelajaran geologi di Indonesia," ujarnya.
Ia menyebutkan, kaldera besar bekas letusan jutaan tahun silam tetap harus diwaspadai. Bila gaya tektonika berarah mendatar masih dominan, maka potensi bencana gempa bumi saja yang mengancam daerah itu.
Sedangkan bila berarah vertikal yang lebih kuat yang disebabkan magma yang sedang menekan dan bergerak ke atas maka yang terjadi adalah bencana dahsyat berupa letusan kaldera gunung.
Hal itu, menurut Sutikno bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi apalagi di Indonesia terdapat beberapa kawasan dengan gunung api aktif.
"Gunung api muda relatif mudah mengidentifikasinya, sebaliknya gunung api tua yang sudah masuk gunung api purba penentuan lokasi erupsinya memerlukan penelitian geologi gunung api yang komprehensif," katanya.
Ia mencontohkan Gunung Sinabung di Sumatera Utara yang sebelumnya dianggap gunung api purba, namun kembali erupsi.
Terkait longsoran gunung api besar, menurut Sutikno, memang jarang terjadi, tetap sekali terjadi akan menimbulkan bencana luar biasa.
Ia mencontohkan longsoran raksasa gunung api (gigantic landslide) dari tubuh kerucut gunung api terjadi di Mount St Helens Amerika Serikat tahun 1980.
Di Indonesia juga terjadi di Gunung Papandayan (1772), Gunung Gede, Galunggung dan Ciremai. Sedangkan lonsoran gunung api terbesar di Indonesia terdapat di kompleks Gunung Gadung-Raung Jember, Jawa Timur.
"Seringnya terjadi gempa bumi mikro, turut berkontribusi memperlemah kestabilan batuan sehingga memicu terjadinya gerakan tanah di kawasan gunung api," demikian profesor riset vulkanologi itu.
S033/R007
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010
Tags: