Pegawai Eks Merpati mengadu ke Ketua DPD RI untuk meminta keadilan
2 September 2021 18:12 WIB
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti (tengah) usai menerima audiensi dari Paguyuban Pegawai Eks Merpati (PPEM), di Ruang Kerja Ketua DPD, Komplek Parlemen Senayan, Kamis (2/9/2021). (Dok Pribadi)
Jakarta (ANTARA) - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menerima audiensi dari Paguyuban Pegawai Eks Merpati (PPEM), di Ruang Kerja Ketua DPD, Komplek Parlemen Senayan, Kamis (2/9).
Ketua DPD didampingi Ketua Komite I DPD Fachrul Razi, Bustami Zainudin (Lampung), Adilla Azis (Jatim). Sedangkan rombongan PPEM yang hadir adalah Capt. Trisiswa, Ir Ery Wardhana, Sugiharto dan Laourens Haryandono.
Ery Wardhana sebagai juru bicara PPEM berharap agar Ketua DPD meneruskan permasalahan mereka ke Presiden sehingga ada penyelesaian.
"Kami mengadu ke sini, supaya ada keadilan. Tuntutan kami adalah pesangon yang merupakan hak kami agar segera dibayarkan. Selama 6 tahun hak pesangon dari 1.233 pegawai eks PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) sejumlah Rp318,17 miliar belum dibayarkan," kata Ery dalam keterangannya, Kamis.
Baca juga: PPA bukan penentu nasib Merpati Airlines
Menurutnya, sejauh ini PPEM sudah banyak melakukan aksi agar persoalan yang mereka hadapi tidak terkatung-katung. Antara lain mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada Kamis, 17 Juni 2021, meminta audiensi ke DPR, KSP dan Kementerian BUMN.
"Kami menempuh segala upaya sejak 2016. Namun untuk audiensi dengan Menteri BUMN belum mendapatkan kesempatan. Ke Presiden juga belum bisa, makanya kita berharap DPD RI mendorong permasalahan pesangon eks pegawai Merpati ini supaya menjadi atensi Presiden," ujarnya.
Dalam pemaparannya, Ery menyampaikan hingga saat ini cicilan kedua uang pesangon dari 1.233 pegawai sejumlah Rp318,17 miliar serta nilai hak manfaat pensiun berupa solvabilitas (Dapen MNA dalam Likuidasi) dari 1.744 pensiunan, sebesar Rp. 94,88 miliar belum diberikan.
Baca juga: Merpati Nusantara Airline akan buat pergerakan di 2019
"Kalaupun Merpati harus ditutup oleh negara, kami semua tidak masalah. Karena kami juga tidak punya kuasa. Namun sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya tidak lalai dalam kewajibannya memenuhi hak-hak bekas pegawainya," katanya.
Menanggapi keluhan tersebut, LaNyalla menyatakan akan berusaha menyampaikan persoalan itu ke Presiden melalui surat secara resmi. Namun, LaNyalla juga berharap PPEM melakukan audiensi dan pengaduan ke saluran yang lain secara lebih intens.
Seperti diketahui, anggota PPEM sudah tidak menerima gaji mulai Desember 2013. Kemudian pada tahun 2016, Pemerintah melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) menetapkan Program Restrukturisasi Karyawan berupa PHK massal, dengan pembayaran pesangon dicicil dalam 2 tahap.
Cicilan pesangon tahap I dibayarkan sebesar 50 persen, sedangkan cicilan pesangon tahap II diterbitkan menjadi Surat Pengakuan Utang (SPU) yang janjinya akan dilunasi pada Desember 2018. Tetapi hingga saat ini pembayaran cicilan Pesangon Tahap II tersebut tidak juga dilakukan.
Ketua DPD didampingi Ketua Komite I DPD Fachrul Razi, Bustami Zainudin (Lampung), Adilla Azis (Jatim). Sedangkan rombongan PPEM yang hadir adalah Capt. Trisiswa, Ir Ery Wardhana, Sugiharto dan Laourens Haryandono.
Ery Wardhana sebagai juru bicara PPEM berharap agar Ketua DPD meneruskan permasalahan mereka ke Presiden sehingga ada penyelesaian.
"Kami mengadu ke sini, supaya ada keadilan. Tuntutan kami adalah pesangon yang merupakan hak kami agar segera dibayarkan. Selama 6 tahun hak pesangon dari 1.233 pegawai eks PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) sejumlah Rp318,17 miliar belum dibayarkan," kata Ery dalam keterangannya, Kamis.
Baca juga: PPA bukan penentu nasib Merpati Airlines
Menurutnya, sejauh ini PPEM sudah banyak melakukan aksi agar persoalan yang mereka hadapi tidak terkatung-katung. Antara lain mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada Kamis, 17 Juni 2021, meminta audiensi ke DPR, KSP dan Kementerian BUMN.
"Kami menempuh segala upaya sejak 2016. Namun untuk audiensi dengan Menteri BUMN belum mendapatkan kesempatan. Ke Presiden juga belum bisa, makanya kita berharap DPD RI mendorong permasalahan pesangon eks pegawai Merpati ini supaya menjadi atensi Presiden," ujarnya.
Dalam pemaparannya, Ery menyampaikan hingga saat ini cicilan kedua uang pesangon dari 1.233 pegawai sejumlah Rp318,17 miliar serta nilai hak manfaat pensiun berupa solvabilitas (Dapen MNA dalam Likuidasi) dari 1.744 pensiunan, sebesar Rp. 94,88 miliar belum diberikan.
Baca juga: Merpati Nusantara Airline akan buat pergerakan di 2019
"Kalaupun Merpati harus ditutup oleh negara, kami semua tidak masalah. Karena kami juga tidak punya kuasa. Namun sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya tidak lalai dalam kewajibannya memenuhi hak-hak bekas pegawainya," katanya.
Menanggapi keluhan tersebut, LaNyalla menyatakan akan berusaha menyampaikan persoalan itu ke Presiden melalui surat secara resmi. Namun, LaNyalla juga berharap PPEM melakukan audiensi dan pengaduan ke saluran yang lain secara lebih intens.
Seperti diketahui, anggota PPEM sudah tidak menerima gaji mulai Desember 2013. Kemudian pada tahun 2016, Pemerintah melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) menetapkan Program Restrukturisasi Karyawan berupa PHK massal, dengan pembayaran pesangon dicicil dalam 2 tahap.
Cicilan pesangon tahap I dibayarkan sebesar 50 persen, sedangkan cicilan pesangon tahap II diterbitkan menjadi Surat Pengakuan Utang (SPU) yang janjinya akan dilunasi pada Desember 2018. Tetapi hingga saat ini pembayaran cicilan Pesangon Tahap II tersebut tidak juga dilakukan.
Pewarta: Adimas Raditya Fahky P
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: