Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan bahwa pembatasan konten internet yang diatur dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE masih belum jelas.

"Pasal 40 ayat (2b) UU ITE belum secara jelas menyebutkan jenis-jenis konten yang melanggar undang-undang dan jenis bahaya apa yang mengancam," kata Wahyudi Djafar dalam keterangan tertulis yang diterima oleh ANTARA di Jakarta, Kamis.

Selain itu, tutur Wahyudi menambahkan, undang-undang tersebut juga belum mengatur prosedur dalam melakukan pembatasan, termasuk peluang untuk melakukan pengujian terhadap tindakan pembatasan tersebut (judicial oversight).

Mengacu pada prinsip dan instrumen hak asasi manusia (HAM), setiap tindakan pembatasan terhadap hak, termasuk di dalamnya hak atas informasi, setidaknya harus memenuhi tiga hal, yakni diatur oleh hukum (prescribed by law), untuk suatu tujuan yang sah (legitimate aim), serta tindakan tersebut betul-betul mendesak dan diperlukan (necessity).

"Prinsip-prinsip pembatasan ini yang semestinya dirumuskan secara baik dan ketat dalam UU ITE," ucapnya.

Baca juga: ELSAM: RUU PDP jangan hadirkan sanksi pidana baru

Baca juga: Hakim MK minta DPR jelaskan mekanisme pemutusan akses dalam UU ITE


Meskipun demikian, ia mengatakan bahwa tindakan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan hak atas informasi memang memungkinkan, selama pengaturan dan pelaksanaannya tetap tunduk pada syarat-syarat dan melalui prosedur yang ketat.

Atas landasan tersebut, ELSAM bermaksud untuk memberi pandangan sesuai bidang keahlian kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sebelum memutus perkara pengujian Pasal 40 ayat (2b) UU ITE.

Sidang perkara pengujian materiil Pasal 40 ayat (2b) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap UUD 1945 akan memasuki babak akhir. Yang mana proses persidangan di Mahkamah Konstitusi sudah sampai pada tahap kesimpulan.

Bagi Wahyudi, pembatasan akses konten internet merupakan bagian dari pembatasan hak atas informasi, berpendapat, dan berekspresi.

"Oleh karenanya, berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan hukum internasional hak asasi manusia, ketentuan pembatasnya, termasuk prosedurnya, mesti diatur dalam format undang-undang," demikian Wahyudi.