Jakarta (ANTARA) - Bilamana kehamilan kedua tak kunjung terjadi, mungkin Anda dan pasangan mengalami infertilitas sekunder. Menurut WHO, infertilitas didefinisikan sebagai kegagalan pasangan suami istri untuk hamil setelah satu tahun berhubungan seksual secara teratur tanpa alat kontrasepsi. Definisi ini juga berlaku pada infertilitas sekunder, bedanya pasangan tersebut sudah memiliki anak sebelumnya.

Dalam hal kesuburan, riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya tidak selalu membuat peluang kehamilan selanjutnya lebih mudah, kata Spesialis Kebidanan Kandungan dr. Upik Anggraheni, Sp.OG-KFER dari Universitas Indonesia. Penyebabnya sering berkaitan dengan bertambahnya usia yang memengaruhi kuantitas dan kualitas sel telur dan sperma.

"Jadi, penyebab infertilitas sekunder ini bukan hanya salah satu pihak (wanita atau pria) saja, tetapi keduanya. Faktor penyebab infertilitas sekunder dapat berasal dari wanita, pria, ataupun kombinasi keduanya," kata Upik dikutip dari keterangan resmi, Kamis.

Berbagai faktor termasuk usia, infeksi, lingkungan, genetik, bahkan nutrisi, dan stres dapat berkontribusi menjadi penyebab terjadinya masalah kesuburan. Faktor usia menjadi salah satu faktor yang tidak dapat dikendalikan. Usia 35 tahun pada wanita adalah titik di mana cadangan ovarium mulai menurun secara cepat sampai dengan usia 45 tahun, di mana usia ini merupakan batas usia dilakukannya program IVF (bayi tabung) dengan sel telur milik sendiri.

Baca juga: Waspadai endometriosis pada perempuan

Berdasarkan jurnal kesehatan, penyebab paling sering dari infertilitas sekunder adalah infeksi. Penelitian tahun 2011 menunjukkan adanya hubungan bermakna antara infertilitas sekunder dengan riwayat buruk kehamilan sebelumnya, persalinan dengan operasi sesar, dan peningkatan indeks massa tubuh. Wanita dengan infertilitas sekunder juga diketahui empat kali lebih sering mengalami masalah kandungan (ginekologi).

Wanita dengan indeks massa tubuh di atas 25 kg/m2 cenderung lebih sering mengalami infertilitas dibandingkan dengan mereka yang memiliki berat badan ideal. Hal ini terkait dengan gangguan ovulasi seperti PCOS yang sering terjadi pada wanita gemuk. Begitu pula dengan pria gemuk.

"Mereka lebih sering mengalami gangguan kesuburan yang dipengaruhi oleh adanya peningkatan suhu akibat penumpukan lemak di sekitar kemaluan," kata Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Konsultan Fertilitas, Endokrinologi, dan Reproduksi di RS Pondok Indah IVF Centre.

Meski demikian, penyebab terbanyak infertilitas sekunder pada pria adalah varikokel (pembesaran pembuluh darah di dalam skrotum).

Terapi dan pengobatan infertilitas sekunder tetap mengikuti alur penanganan infertilitas pada umumnya, yaitu mencakup analisis lengkap riwayat medis pasangan, identifikasi risiko terkait kesuburan (frekuensi berhubungan seksual, paparan asap rokok, polusi, alkohol, kafein, dan gaya hidup), pemeriksaan fisik pasangan, evaluasi ovulasi, USG transvaginal, dan histerosalpingografi (HSG) pada wanita, serta analisis sperma pada pria.

Ahli urologi dr. Jeanne O'Brien dari University of Rochester Medical Center, dikutip dari New York Times, mengatakan meski banyak perempuan yang membuat janji dengan spesialis untuk masalah kesuburan, alasannya bisa jadi dari pasangan laki-laki. Masalah yang paling umum adalah rendahnya jumlah sperma yang bisa disebabkan perubahan suhu secara ekstrem, misalnya karena secara rutin berendam air panas, penggunaan steroid dan kegemukan.

Perbaikan gaya hidup harus dilakukan oleh kedua belah pihak. Kaum Adam yang ingin meningkatkan jumlah sperma direkomendasikan untuk mengonsumsi vitamin seperti vitamin E, vitamin C, L-karnitin, Vitamin D, Zinc dan asam folat. Jagalah agar diri tetap bahagia dan kurangi stres, juga jaga agar tubuh tetap ideal dan tidak kelebihan berat badan. Merokok dan konsumsi alkohol tidak disarankan bila ingin memperbaiki kualitas sperma, sebab rokok bisa berdampak kepada kerusakan DNA sperma, sementara alkohol menurunkan libido, juga jumlah dan volume sperma.

Sementara itu, evaluasi ovulasi dapat dinilai dari riwayat menstruasi dan pengukuran kadar progesteron darah atau luteinizing hormone (LH) urin. HSG merupakan tes yang efektif untuk menilai kondisi rongga rahim dan ada tidaknya sumbatan di saluran tuba fallopi. Pada kasus kecurigaan endometriosis, adanya perlekatan atau masalah lain pada saluran telur dapat dipertimbangkan untuk dilakukan laparaskopi terlebih dahulu, sebelum program kehamilan dimulai. Analisis sperma adalah hal yang wajib dilakukan oleh pria untuk menentukan pilihan terapi selanjutnya.

Pada umumnya, analisis sperma berlaku untuk tiga bulan terkait dengan spermatogenesis yang terjadi setiap 90 hari. Hasil analisis sperma mencakup volume, konsentrasi sperma, pergerakan, dan bentuk sperma yang normal. Dari hasil tersebut, dapat diketahui jumlah total sperma yang bergerak untuk menentukan kelayakan sperma membuahi sel telur secara alami. Pilihan terapi akan ditentukan setelah dokter spesialis kebidanan dan kandungan konsultan fertilitas, endokrinologi, dan reproduksi mengetahui masalah kesuburan pasangan sehingga dapat diketahui peluang dari setiap pilihan yang ada, baik program alami (sanggama terencana), inseminasi intrauterine, ataupun bayi tabung (IVF).

Para pasangan sebaiknya jangan ragu dalam mengecek kondisi sebelum merencanakan kehamilan buah hati yang kedua.Perubahan gaya hidup, pertambahan usia, riwayat penyakit, atau tindakan bedah di daerah kandungan dapat mempengaruhi kesuburan Anda dan pasangan. Peluang keberhasilan terjadinya kehamilan terbantu dengan perencanaan serta persiapan matang dari ayah dan ibu.

Baca juga: IUI untuk bantu atasi masalah infertilitas

Baca juga: Morula IVF Indonesia kerja sama dengan RSIA Restu Ibu Sragen

Baca juga: Terobosan studi perkembangan manusia, ilmuwan temukan iBlastoid