BNPB: Indonesia berkomitmen besar dalam penanganan bencana
1 September 2021 11:39 WIB
Tangkapan layar Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Raditya Jati dalam konferensi pers virtual dari Graha BNPB, Jakarta, Rabu (7/4/2021). (ANTARA/ Zubi Mahrofi)
Jakarta (ANTARA) - Deputi Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Raditya Jati mengatakan Pemerintah Indonesia berkomitmen besar dalam penanganan bencana.
"Indonesia menjadi tolak ukur negara lain, karena selain banyak bencana terjadi tapi komitmen Indonesia juga besar," katanya dalam Webinar Journal Club #6 bertema "Menjalankan Amanat SFDRR Pasca HFA untuk Indonesia Tangguh" yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Risma: Perlu kearifan lokal dalam tangani bencana
Komitmen tersebut berkaitan dengan butir kelima kerangka pengurangan risiko bencana pasca Hyogo Framework for Action (HFA) 2012, yang menyebutkan bahwa komitmen politik yang harus dilaksanakan pada semua tingkatan, kesadaran, pendidikan, dan akses publik untuk informasi, peningkatan pengelolaan.
Lebih lanjut, Raditya menjelaskan komitmen Indonesia tersebut dengan dikeluarkannya Perpres No.87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanganan Bencana dalam kerangka untuk menuju Indonesia tangguh, baik dalam kebencanaan, perubahan iklim dan lainnya.
"Artinya, komitmen secara politik sudah dibangun dan tertuang dalam legalitas. Tidak hanya itu, saya rasa dalam hal implementasi di lapangan juga banyak pergerakan-pergerakan yang telah dilakukan masyarakat," katanya.
Komitmen lainnya, tambah Raditya, adanya alat ukur indeks risiko yang tertuang dan menjadi acuan Bappenas untuk mengukur kemampuan Indonesia menuju ketahanan menghadapi bencana, begitu pula dengan indikator kapasitas pemerintah daerah.
Selain itu, modal sosial menjadi penting sebagai kekuatan yang masih dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
Indonesia selalu berperan aktif dalam konferensi kebencanaan yang diselenggarakan UNISDR/UNDRR sejak 2009. Indonesia juga berperan aktif dalam perumusan SFDRR dan mendorong agar negara kepulauan menjadi entitas khusus yang harus diperhatikan dalam perumusan strategi pengurangan risiko bencana global.
Baca juga: Tsunami Krakatau jadi pembelajaran kesiapsiagaan bencana geologi
Baca juga: BNPB kaji risiko bencana Tanjung Kelayang sebagai destinasi wisata
SFDRR atau Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030 merupakan acuan kerja dalam aktivitas pengurangan risiko bencana yang telah disepakati 187 negara.
Kerangka kerja ini diluncurkan yang pengimplementasiannya dalam Konferensi Dunia Ketiga PBB di Sendai, Jepang, pada 8 Maret 2015. SFDRR merupakan kelanjutan dari Hyogo Framework for Action (HFA).
"Indonesia menjadi tolak ukur negara lain, karena selain banyak bencana terjadi tapi komitmen Indonesia juga besar," katanya dalam Webinar Journal Club #6 bertema "Menjalankan Amanat SFDRR Pasca HFA untuk Indonesia Tangguh" yang dipantau secara daring di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Risma: Perlu kearifan lokal dalam tangani bencana
Komitmen tersebut berkaitan dengan butir kelima kerangka pengurangan risiko bencana pasca Hyogo Framework for Action (HFA) 2012, yang menyebutkan bahwa komitmen politik yang harus dilaksanakan pada semua tingkatan, kesadaran, pendidikan, dan akses publik untuk informasi, peningkatan pengelolaan.
Lebih lanjut, Raditya menjelaskan komitmen Indonesia tersebut dengan dikeluarkannya Perpres No.87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanganan Bencana dalam kerangka untuk menuju Indonesia tangguh, baik dalam kebencanaan, perubahan iklim dan lainnya.
"Artinya, komitmen secara politik sudah dibangun dan tertuang dalam legalitas. Tidak hanya itu, saya rasa dalam hal implementasi di lapangan juga banyak pergerakan-pergerakan yang telah dilakukan masyarakat," katanya.
Komitmen lainnya, tambah Raditya, adanya alat ukur indeks risiko yang tertuang dan menjadi acuan Bappenas untuk mengukur kemampuan Indonesia menuju ketahanan menghadapi bencana, begitu pula dengan indikator kapasitas pemerintah daerah.
Selain itu, modal sosial menjadi penting sebagai kekuatan yang masih dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
Indonesia selalu berperan aktif dalam konferensi kebencanaan yang diselenggarakan UNISDR/UNDRR sejak 2009. Indonesia juga berperan aktif dalam perumusan SFDRR dan mendorong agar negara kepulauan menjadi entitas khusus yang harus diperhatikan dalam perumusan strategi pengurangan risiko bencana global.
Baca juga: Tsunami Krakatau jadi pembelajaran kesiapsiagaan bencana geologi
Baca juga: BNPB kaji risiko bencana Tanjung Kelayang sebagai destinasi wisata
SFDRR atau Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030 merupakan acuan kerja dalam aktivitas pengurangan risiko bencana yang telah disepakati 187 negara.
Kerangka kerja ini diluncurkan yang pengimplementasiannya dalam Konferensi Dunia Ketiga PBB di Sendai, Jepang, pada 8 Maret 2015. SFDRR merupakan kelanjutan dari Hyogo Framework for Action (HFA).
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021
Tags: