Gunung Bromo yang memiliki ketinggian 2.329 meter dari permukaan laut (mdpl) memiliki arti yang sangat penting bagi Suku Tengger yang hidup di lereng gunung api yang sejak 23/11 hingga kini (3/12) berstatus "Awas" atau level IV.

Masyarakat Tengger merupakan penduduk asli yang mendiami daerah di lereng Gunung Bromo yang meliputi empat kabupaten yakni Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang di Jawa Timur. Mereka menjadi petani sayur dan pemandu wisata di kawasan Gunung Bromo.

Bagi suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci karena setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara "Yadnya Kasada".

Upacara tersebut bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara, kemudian upacara itu dilanjutkan ke puncak Gunung Bromo untuk memberikan persembahan hasil pertanian dan ternak.

Menurut legenda, kata "tengger" berasal dari nama pasangan suami istri Roro Anteng (putri raja Majapahit) dan Joko Seger (putera seorang Brahmana) yang menjadi cikal bakal penghuni wilayah Tengger.

Di Kabupaten Lumajang, sebagian besar warga Tengger berada di Desa Argosari dan Desa Ranupane, Kecamatan Senduro. Mereka bermata pencaharian sebagai petani sayur di lereng Gunung Bromo.

Pejabat sementara (Pjs) Kepala Desa Argosari, Martiam, mengakui bahwa Gunung Bromo memiliki sejarah penting dalam kehidupan warga Tengger karena gunung yang memiliki ketinggian 2.329 memberikan berkah kehidupan yang cukup besar bagi Suku Tengger.

"Suku Tengger menganggap Gunung Bromo adalah gunung suci, sehingga aktivitas dan kehidupan warga Tengger tidak bisa dipisahkan dengan Gunung Bromo," tuturnya.

Ia menjelaskan, warga Tengger di Lumajang sudah mengetahui bahwa aktivitas Gunung Bromo meningkat dan mengeluarkan erupsi beberapa kali selama beberapa hari terakhir ini, namun sejauh ini masih aman.

"Warga Tengger yang hidup di lereng Gunung Bromo tidak panik terhadap peningkatan aktivitas Gunung Bromo karena mereka yakin, erupsi Bromo tidak akan membahayakan warga yang tinggal di lereng Bromo," paparnya.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan bahwa status Gunung Bromo meningkat dari "Siaga" (level III) menjadi "Awas" (level IV) sejak Selasa (23/11) pukul 15.30 WIB.

Warga Tengger yang bekerja sebagai petani sayur dan pedagang, katanya, tetap melakukan aktivitas rutinnya dan tidak terganggu dengan peningkatan aktivitas Gunung Bromo.

"Warga Tengger sudah hidup lama di lereng Gunung Bromo, sehingga mereka mengenal dengan seksama aktivitas gunung api yang menjadi objek wisata bagi wisatawan domestik dan mancanegara itu," tuturnya menjelaskan.

Menurut dia, legenda tentang Roro Anteng dan Joko Seger yang berjanji pada Dewa untuk menyerahkan putra bungsu mereka, Raden Kusuma, merupakan keyakinan Suku Tengger bahwa Gunung Bromo tidak akan "marah" lagi setelah Raden Kusuma menjadi persembahan bagi kawah Gunung Bromo.

Pemberian persembahan Raden Kusuma ke kawah Gunung Bromo merupakan awal mula terjadinya upacara Kasada, warga Tengger memberikan persembahan ke Gunung Bromo berupa hasil pertanian dan ternak sebagai wujud syukur.

"Seluruh warga Tengger yang berada di Lumajang selalu berangkat ke Bromo untuk mengikuti Upacara Kasada, setiap tahun. Mereka berangkat secara berkelompok dan perorangan untuk melakukan ritual suci itu," ucap mantan kepala Desa Argosari dua periode itu.

Warga Tengger yang mengikuti Upacara Kasada, membawa sesajen berupa hasil panen (hasil bumi) sebagai rasa syukur karena upacara itu disebut juga sebagai "Hari Raya Kurban".

Martiam mengemukakan, tidak hanya warga Tengger yang beragama Hindu yang berangkat ke Bromo untuk melaksanakan upacara Kasada, bahkan warga Tengger yang memeluk agama Islam (mualaf) pun berangkat ke Bromo.

"Biasanya mualaf Tengger datang ke Bromo untuk berwisata dan silaturahmi dengan warga Tengger lainnya. Mualaf Tengger tidak mengikuti upacara ritual Kasada," ujarnya.


Hidup Rukun

Menurut Martiam, seluruh warga Tengger di Desa Argosari saling menjaga toleransi umat beragama, sehingga perbedaan agama tidak pernah menimbulkan konflik di sana.

"Desa Argosari memiliki empat dusun yakni Dusun Gedog, Argosari, Bakalan dan Pusung Dhuwur. Sebagian besar mualaf Suku Tengger berada di Dusun Gedog," tuturnya Martiam yang menjadi mualaf sejak tahun 2004.

Ia mengemukakan, jumlah penduduk Tengger di Argosari sebanyak 3.372 orang atau 870 kepala keluarga (KK) hidup damai sejak dulu, tanpa ada permusuhan meskipun berbeda keyakinan.

"Tempat ibadah warga Tengger yang beragama Hindu (pura) juga berdampingan dengan tempat ibadah mualaf Tengger (mushalla dan masjid), semua suku Tengger saling menjaga toleransi beragama," katanya menerangkan.

Jumlah tempat ibadah mualaf Tengger di Desa Argosari sebanyak dua masjid dan sembilan mushalla yang tersebar di empat dusun di Argosari, sementara jumlah pura dan sanggar (tempat khusus di sekitar rumah untuk sembahyang umat Hindu) cukup banyak.

Salah seorang tokoh agama Islam di Dusun Gedog, Achmad Choirul Tama mengatakan, perbedaan keyakinan warga Tengger tidak menyebabkan kebencian antara sesama suku Tengger.

"Kami hidup saling berdampingan dan membantu satu sama lain, meskipun berbeda agama," kata sesepuh mualaf Tengger yang akrab disapa dengan Sutomo atau Pak Tomo.

Sesepuh mualaf Tengger yang masuk Islam sejak tahun 1971 itu mengatakan, warga Tengger saling menghormati perbedaan keyakinan beragama dan hidup damai di Argosari.

"Tidak ada rasa benci dan iri sesama warga Tengger, meski keyakinan yang dianut tidaklah sama. Kami saling menghormati keyakinan yang dianut masing-masing warga Tengger," katanya menambahkan.


Kearifan Lokal

Warga Tengger memiliki sejumlah karakteristik yang unik dan sikap kearifan lokal yang menjadi falsafah hidup mereka seperti keluhuran budi, kedamaian dan kesederhanaan tergambar sebagai etos budaya masyarakat Tengger.

"Warga Tengger memiliki sifat jujur, sehingga tidak ada kasus kriminalitas di sekitar objek wisata Gunung Bromo dan kawasan pemukiman warga Tengger," ujar budayawan Prof Ayu Sutarto yang menjadi peneliti Suku Tengger selama beberapa tahun.

Orang Tengger memiliki petunjuk yang mengarah kepada keharmonisan dan kelestarian dalam persaudaraan, seperti yang terdapat dalam "sesanti pancasetia" (lima petunjuk kesetiaan).

Petunjuk itu, yakni "setya budaya" (taat dan hormat kepada adat), "setya wacana" (kata harus sesuai dengan perbuatan), "setya semaya" (selalu menepati janji), "setya laksana" (bertanggung jawab terhadap tugas) dan "setya mitra" (selalu membangun kesetiakawanan).

"Orang Tengger juga memiliki lima falsafah hidup untuk taat kepada Tuhan, taat kepada pemerintah, taat kepada orang tua, taat kepada guru, dan taat kepada orang yang memberikan pengetahuan atau ilmu kepada mereka," tutur mantan pengajar Bahasa Jawa orang Suriname di Rotterdam itu.

Ayu Surato memilih Suku Tengger Gunung Bromo sebagai bahan disertasi program doktornya di Universitas Indonesia. Selama beberapa tahun, laki-laki yang pernah memperoleh beasiswa ILDEP di Universitas Leiden Belanda itu, sering tinggal di lereng Gunung Bromo bersama Suku Tengger.

"Saya bisa memahami, kenapa warga Tengger enggan mengungsi saat terjadi erupsi Gunung Bromo karena mereka memiliki kedekatan emosional dari berbagai aspek dengan Gunung Bromo," ucap penulis buku berjudul "Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang" (1997).

Bangsa Indonesia, katanya, bisa belajar banyak dari kehidupan warga Tengger yang cukup harmonis dan tidak mengenal kata konflik. Mereka juga menjunjung tinggi toleransi beragama dan hidup rukun berdampingan dengan warga Tengger yang memeluk agama Islam, Kristen, Protestan, dan Hindu.

"Falsafah hidup mereka cukup mudah yakni menghargai orang lain dan jujur, sehingga mereka tidak pernah berdebat masalah keyakinan yang berbeda dan hampir tidak ada konflik di tengah masyarakat Tengger," ucap dosen Fakultas Sastra Universitas Jember itu.

Ia mengemukakan, warga Tengger masih menjaga kelestarian budaya dengan melakukan upacara ritual yang digelar pada waktu-waktu tertentu.

Masyarakat Tengger menjalankan sekian banyak ritual dalam kehidupan mereka, di antaranya Upacara Karo dan Kasada yang diikuti seluruh oleh warga Tengger yang tersebar di Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang.

Upacara Karo atau Hari Raya Karo merupakan ritual keagamaan warga Tengger untuk mengenang dan memberikan penghormatan kepada arwah leluhur.

Hal tersebut dilakukan karena warga Tengger beharap arwah leluhur tetap melindungi masyarakat Tengger yang masih hidup di dunia, dan menjauhkan dari bahaya.

Sementara Upacara Yadnya Kasada dikenal sebagai Hari Raya Kurban, warga Tengger berbondong-bondong menuju puncak Gunung Bromo dengan membawa ongkek yang berisi sesaji dari berbagai hasil pertanian, ternak dan sebagainya, lalu dilemparkan ke kawah Gunung Bromo.

Sesaji itu diberikan kepada Dewa Bromo yang dipercayai Suku Tengger bersemayam di Gunung Bromo. Upacara tersebut memohon agar masyarakat Tengger mendapatkan berkah dan diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa.

Pada perayaan Kasada tersebut, para dukun senior Tengger juga melantik para calon dukun untuk disahkan menjadi dukun melalui proses "mulunen".

"Selain Karo dan Kasada, ada juga upacara Kapat, Kawulu, Kasanga, Unan-Unan, dan berbagai ritual individu yang digelar warga Tengger," tutur penulis Kamus Budaya dan Religi Tengger itu.

Masyarakat Tengger dengan khas kain sarungnya tersebut memelihara kelestarian budaya dengan sepenuh hati, sehingga budaya itu masih dilestarikan hingga kini.

Bahkan, sejumlah ritual dan upacara yang dilakukan keturunan Roro Anteng dan Joko Seger tersebut mampu menarik ribuan wisatawan domestik dan mancanegara. (ANT-070*C004/K004)