Jakarta (ANTARA News) - Bintang film-film dewasa, Miyabi, dikabarkan akan mengunjungi Indonesia demi sebuah film nasional yang dibintanginya. Sejumlah kalangan menentang kedatangannya, sedangkan yang lainnya tidak memasalahkannya.

Uniknya, sejumlah pihak yang ditemui ANTARA News Kamis kemarin, menilai pornografi yang melekat ketat pada Miyabi, tidak hanya melulu berkaitan dengan soal-soal seksual, tetapi juga pornografi moral dan etika dalam soal hukum, politik, dan ekonomi.

Mereka juga mengkritik segelintir pelaku perfilman nasional yang memakai jalan pintas untuk mencapai popularitas dan keuntungan, dengan mengabaikan pesan-pesan ideal film.

"Saya lebih mengkhawatirkan Gayus (Tambunan) daripada Miyabi," kata Andrey Gromiko (24), mahasiswa Universitas Jember di Jakarta, Kamis (02/12).

Andrey mengatakan, Gayus merusak mental penegak hukum Indonesia dengan mengimingi uang, selain merugikan negara. Sebaliknya, Miyabi, dalam hubungannya dengan film biasa yang dibintanginya di Indonesia, tidak merugikan negara, sambung Andrey.

"Masalah moral biarlah itu tanggung jawab masing-masing," katanya.

Ayu Lestari (19), mahasiswi Institut Kesenian Jakarta, dan Ivan Habibi, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, berpandangan relatif sejalan dengan Andrey.

"Jika Miyabi bermain film dalam batas kewajaran dan kesopanan, ya oke-oke saja," kata Ayu.

Sedangkan Ivan menilai film bergenre horor yang diperankan Miyabi sama sekali bukan pornografi. "Artis-artis Indonesia malah tampil lebih seksi dari Miyabi yang memerankan film itu dan justru tidak dipermasalahkan," katanya.

Lain lagi dengan Agung Iriawan (30), seorang wirausaha. Dia mengkritik kualitas akting Miyabi dalam film nasional yang dibintanginya itu.

"Dalam film "Menculik Miyabi", akting Miyabi masih terlihat kaku," ujar Iriawan.

Pendapat Andrey, Ayu, dan Ivan disanggah sejumlah kaum muda lain yang memiliki perbedaan pandangan dan penilaian.

Bofan Muhammad (20), mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Orizon Astonia (19) yang mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ), mengemukakan pandangan sebaliknya dengan Andrey dkk.

Mereka berdua termasuk kelompok yang menentang Miyabi dan bintang-bintang porno lainnya turut membintangi film-film di tanah air.

"Walaupun negara demokrasi, budaya ketimuran masih melekat di Indonesia," kata Bofan.

Sementara Orizon menyatakan kemunculan Miyabi yang catatan kekuatan seni perannya meragukan --kecuali untuk film-film porno yang dibintanginya dan tak ada kaitanya dengan seni-- akan mengesankan bahwa tidak ada artis Indonesia yang pantas dan bertalenta untuk membintangi sebuah film.

"Meskipun Miyabi tidak main film panas di Indonesia, tapi ikon atau simbol yang melekat pada Miyabi adalah bintang porno," kata Orizon.

Partai politik


Orizon mengkritik metode kasar segelintir sineas dan produser film Tanah Air yang memanfaatkan secara vulgar popularitas bintang film porno dan label porno untuk menarik masyarakat menonton film-film mereka.

Rumah Produksi "Maxima Pictures", sebut Orizon, menggunakan Miyabi karena bintang panas itu sudah dikenal luas kalangan muda yang memang cenderung familiar dengan video-video porno yang bebas didapatkan di Indonesia.

"Maxima ingin memikat anak muda dengan wanita seksi dan berani. Dan itu semua terlihat dalam sosok Miyabi," kata Orizon.

Ivan menguatkan pendapat Orizon dengan menganalogikan prilaku segelintir sineas Indonesia itu dengan prilaku partai politik yang sering sekali menggunakan artis seksi untuk mendulang suara agar kandidat atau partainya menang dalam pemilu.

"Rumah produksi ingin melakukan hal serupa itu dengan menggunakan Miyabi karena para penonton jenuh dengan artis lokal," kata Ivan.

Pasar

Persaingan keras dalam dunia film nasional membuat rumah-rumah produksi memutar otak bagaimana filmnya laris di pasar tanpa memperhatikan pesan moral atau nilai dalam film itu.

Menjamurnya film bergenre horor dan cinta adalah contohnya, sedangkan film-film sarat nilai hanya muncul secara musiman, misalnya film perjuangan saat menjelang HUT Kemerdekaan RI dan film-film bertema rohani saat Ramadhan.

Orizon mengkritik rumah produksi karena lebih mementingkan pasar. "Segala cara ditempuh, hingga nekad mendatangkan artis porno.

Seharusnya rumah produksi melihat secara komprehensif karena karya film itu dinikmati khalayak ramai. Rumah produksi jenis ini egois karena hanya mengeduk untung untuk dirnya saja," kata Orizon.

Sementara Ayu mengkritik tema-tema film nasional yang temanya itu-itu saja. Saya sudah bosen dengan film cinta dan hantu yang tidak jelas," katanya.

Aji Utomo (20), mahasiswa IKJ lainnya, mencoba berpandangan seimbang dengan berusaha memahami kesulitan rumah produksi dalam menyeimbangkan antara kebutuhan memperkuat nilai dalam film dan tuntutan film itu harus lalu di pasar.

"Film yang nilainya bagus belum tentu laku, sedangkan film yang banyak peminatnya belum tentu memiliki nilai yang bagus," kata Aji. (*)

editor: jafar sidik