NasDem sebut RUU PKS perlu diprioritaskan
31 Agustus 2021 00:25 WIB
Tangkapan layar draft Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dalam rapat pleno Baleg DPR RI, di Jakarta, Senin (30/8/2021). ANTARA/Fauzi Lamboka.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Bidang Hubungan Legislatif DPP Partai NasDem Atang Irawan mengatakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) perlu menjadi prioritas bagi parlemen, karena setiap tahun kekerasan seksual cenderung mengalami peningkatan.
"Bahkan, tak hanya terjadi pada perempuan dewasa, melainkan juga terhadap anak perempuan dan laki-laki," kata Atang dalam siaran persnya, di Jakarta, Senin.
Namun sayangnya, lanjut dia, darurat kekerasan seksual tidak dipahami sebagai sesuatu yang mendesak yang harus segera diprioritaskan.
"Padahal, Presiden Jokowi sejak tahun 2016 telah menyatakan bahwa kejahatan seksual yang marak terjadi akhir-akhir ini sebagai bentuk kejahatan berat yang harus ditangani secara serius," ujarnya
Politisi yang meraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Padjajaran ini mempersoalkan RUU PKS yang tidak disebutkan oleh Ketua DPR Puan Maharani dalam Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2024 beberapa waktu lalu.
Menurut Atang, problem utama dalam politik legislasi adalah kebijakan-kebijakan politik dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) acapkali tidak ditempatkan dalam semangat tujuan bernegara.
Atang memandang seharusnya dalam Prolegnas memerhatikan prioritas tujuan bernegara, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan demikian, tidak hanya selalu memprioritaskan demi kepentingan pemerintah, ekonomi, dan politik yang nyaris selalu meninggalkan RUU yang berakibat langsung kepada kepentingan rakyat.
Jika tidak ada prioritas tahunan dan klasifikasi RUU dalam setiap Prolegnas yang didasarkan pada semangat tujuan bernegara, kata Atang, maka nyaris RUU yang populis akan selalu tersingkir setiap tahunnya.
"Apalagi politik legislasi tidak bisa terhindar dari kepentingan pragmatisme politik yang bisa saja meninggalkan kepentingan-kepentingan rakyat," kata lelaki kelahiran Wonosobo, 10 Juli 1975 ini pula.
Dia menilai, sangatlah mengenaskan mengingat RUU PKS yang diinisiasi sejak tahun 2016 hingga saat ini belum memperoleh kepastian, bahkan sempat keluar dari Prolegnas 2020 yang kemudian ditetapkan kembali dalam Prolegnas 2021.
"Begitu lamanya pembahasan hingga entah sampai kapan. Apakah darurat kekerasan seksual yang selalu bertambah setiap tahun tidak dapat menyentuh moralitas kebangsaan, bahkan tidak dianggap urgen dalam politik legislasi," kata Atang mempertanyakan.
Dengan berbagai macam alasan, ujar dia lagi, dalam orkestrasi politik legislasi selalu dijadikan sebagai bahan mujarab untuk tidak mengesahkan RUU PKS, dari mulai terminologi, perbedaan socio-culture. Bahkan, alasan menunggu RUU KUHP ditetapkan kerap menjadi senjata pamungkas hingga pada sudut pandang ideologi.
Padahal, menurut Atang, ideologi merupakan dasar pedoman untuk mencapai cita-cita dan tujuan negara, sangat jelas bahwa tujuan bernegara Indonesia salah satu yang pokok adalah memberikan perlindungan kepada rakyat.
Dalam sila kedua Pancasila menegaskan 'kemanusiaan yang adil dan beradab’', sebagai fondasi meletakkan derajat kemanusiaan dan memanusiakan manusia.
Dia menambahkan, KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang belum bisa menjangkau perlindungan terhadap korban dan saksi.
"Karena ketiga UU tersebut hanya sebatas mengatur korban kekerasan dalam rumah tangga, anak, dan perdagangan manusia. Sedangkan aspek perlindungan korban dan termasuk upaya rehabilitasi korban sama sekali tak tersentuh," katanya pula.
Baca juga: Anggota DPR: Korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan dan anak
Baca juga: Tim Baleg DPR paparkan draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
"Bahkan, tak hanya terjadi pada perempuan dewasa, melainkan juga terhadap anak perempuan dan laki-laki," kata Atang dalam siaran persnya, di Jakarta, Senin.
Namun sayangnya, lanjut dia, darurat kekerasan seksual tidak dipahami sebagai sesuatu yang mendesak yang harus segera diprioritaskan.
"Padahal, Presiden Jokowi sejak tahun 2016 telah menyatakan bahwa kejahatan seksual yang marak terjadi akhir-akhir ini sebagai bentuk kejahatan berat yang harus ditangani secara serius," ujarnya
Politisi yang meraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Padjajaran ini mempersoalkan RUU PKS yang tidak disebutkan oleh Ketua DPR Puan Maharani dalam Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2024 beberapa waktu lalu.
Menurut Atang, problem utama dalam politik legislasi adalah kebijakan-kebijakan politik dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) acapkali tidak ditempatkan dalam semangat tujuan bernegara.
Atang memandang seharusnya dalam Prolegnas memerhatikan prioritas tujuan bernegara, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan demikian, tidak hanya selalu memprioritaskan demi kepentingan pemerintah, ekonomi, dan politik yang nyaris selalu meninggalkan RUU yang berakibat langsung kepada kepentingan rakyat.
Jika tidak ada prioritas tahunan dan klasifikasi RUU dalam setiap Prolegnas yang didasarkan pada semangat tujuan bernegara, kata Atang, maka nyaris RUU yang populis akan selalu tersingkir setiap tahunnya.
"Apalagi politik legislasi tidak bisa terhindar dari kepentingan pragmatisme politik yang bisa saja meninggalkan kepentingan-kepentingan rakyat," kata lelaki kelahiran Wonosobo, 10 Juli 1975 ini pula.
Dia menilai, sangatlah mengenaskan mengingat RUU PKS yang diinisiasi sejak tahun 2016 hingga saat ini belum memperoleh kepastian, bahkan sempat keluar dari Prolegnas 2020 yang kemudian ditetapkan kembali dalam Prolegnas 2021.
"Begitu lamanya pembahasan hingga entah sampai kapan. Apakah darurat kekerasan seksual yang selalu bertambah setiap tahun tidak dapat menyentuh moralitas kebangsaan, bahkan tidak dianggap urgen dalam politik legislasi," kata Atang mempertanyakan.
Dengan berbagai macam alasan, ujar dia lagi, dalam orkestrasi politik legislasi selalu dijadikan sebagai bahan mujarab untuk tidak mengesahkan RUU PKS, dari mulai terminologi, perbedaan socio-culture. Bahkan, alasan menunggu RUU KUHP ditetapkan kerap menjadi senjata pamungkas hingga pada sudut pandang ideologi.
Padahal, menurut Atang, ideologi merupakan dasar pedoman untuk mencapai cita-cita dan tujuan negara, sangat jelas bahwa tujuan bernegara Indonesia salah satu yang pokok adalah memberikan perlindungan kepada rakyat.
Dalam sila kedua Pancasila menegaskan 'kemanusiaan yang adil dan beradab’', sebagai fondasi meletakkan derajat kemanusiaan dan memanusiakan manusia.
Dia menambahkan, KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang belum bisa menjangkau perlindungan terhadap korban dan saksi.
"Karena ketiga UU tersebut hanya sebatas mengatur korban kekerasan dalam rumah tangga, anak, dan perdagangan manusia. Sedangkan aspek perlindungan korban dan termasuk upaya rehabilitasi korban sama sekali tak tersentuh," katanya pula.
Baca juga: Anggota DPR: Korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan dan anak
Baca juga: Tim Baleg DPR paparkan draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021
Tags: