Riyadh (ANTARA News/AFP) - Memo diplomatik AS yang dirilis Wikileaks menunjukkan Arab Saudi terobsesi dengan ancaman dari Iran, dimana Raja Abdullah mendesak Amerika untuk menghancurkan program senjata nuklir Tehran.

Biasanya menahan diri dalam pernyataan-pernyataan publik tentang musuh bebuyutannya di Teluk, Riyadh bernafsu secara privat tentang dugaan aktivitas subversif Iran dan upaya untuk memperoleh bom nuklir untuk supremasi regional, menurut telegram tersebut.

Namun mereka juga menyingkapkan bahwa para tetangga kerajaan Teluk itu, semuanya selain Qatar, juga mengkhawatirkan dugaan ambisi Iran untuk menyebarluaskan Islam Syiah.

"Ia mengatakan kepada Anda agar memotong kepala ular itu," penasehat utama masalah luar negeri Abdullah Adel al-Jubeir, duta besar untuk Washington, mengatakan kepada duta besar AS untuk Irak, Ryan Crocker, dan Jenderal David Petraeus selama pertemuan dengan raja itu pada April 2008.

Jubeir mengingatkan mereka tentang "seringnya desakan raja kepada AS agar menyerang Iran dan dengan demikian mengakhiri program senjata nuklirnya," menurut sebuah memo dari pertemuan tersebut.

Pada Januari 2009, Deputi Menteri Luar Negeri Pangeran Turki al-Kabeer "memperingatkan bahwa jika Iran mencoba untuk membuat senjata nuklir, negara-negara lain di wilayah Teluk akan dipaksa melakukan hal yang sama" sebagai penghalang.

Sebuah dokumen Februari 2010 dari kedutaan besar AS di Riyadh mengatakan Raja Abdullah mengulangi sentimen yang sama kepada penasehat keamanan nasional Gedung Putih waktu itu Jenderal James Jones.

"Raja memberitahu Jenderal Jones bahwa jika Iran berhasil mengembangkan senjata nuklir, setiap orang di wilayah ini akan melakukan hal yang sama, termasuk Arab Saudi."

Dalam dokumen tersebut, Abdullah mengatakan kepada delegasi Amerika pada sebuah pertemuan Maret 2009 bahwa Iran tidak menganggap mereka melakukan kesalahan apapun dan tidak mengakui kesalahan mereka.

Bahkan meskipun konflik Israel-Palestina terselesaikan, Abdullah mengatakan, "Tujuan Iran adalah menimbulkan masalah."

"Tidak diragukan ada yang tidak stabil pada mereka ... Semoga Tuhan melindungi kita agar tidak menjadi korban kejahatan mereka."

Sementara pandangan keras raja belum dipublikasikan di masa lampau, memo-memo tersebut tidak mengejutkan para spesialis keamanan regional.

"Ini merupakan sikap yang sangat diketahui umum," kata Theodore Karasik pada Institute for Near East and Gulf Military Analysis di Dubai.

"Perasaan tersebut dimaksudkan agar disimpan lebih pribadi ... agar supaya dapat menukangi kebijakan," katanya.

Terletak di seberang Teluk, Saudi selalu menentang kepentingan geopolitik Iran dengan mengangkat tema "Arab lawan Persia".

"Kami telah membina hubungan baik selama bertahun-tahun, tetapi pada dasarnya adalah bahwa mereka tidak dapat dipercaya," kata Abdullah kepada para pejabat AS pada Maret 2009.

Ia menggambarkan bagaimana ia telah mengatakan kepada Menteri Luar Negeri Iran Manouchehr Mottaki agar menjauhi gerakan Islam Palestina Hamas sebelumnya pada saat yang sama.

Mottaki menjawab bahwa "mereka ini Muslim," menurut catatan AS. "Tidak, Arab," jawab Abdullah. "Kamu sebagai orang Persia tidak ada urusan mencampuri persoalan Arab."

Yang mendasari rivalitas tersebut adalah perpecahan mendalam Syiah-Sunni. Arab Saudi terutama Sunni, dan minoritas Syiah menghadapi kecaman terus menerus oleh para pejabat karena telah menolak Islam "yang benar".

Iran, sementara itu, terutama adalah Syiah.

Memo-memo tersebut menunjukkan tingkat kefrustrasian AS terhadap keengganan Saudi untuk mengirimkan duta besar ke Irak yang mayoritas Syiah.

Saudi mengatakan utusan mereka akan menghadapi ancaman penculikan atau pembunuhan, namun mereka juga menjelaskan bahwa mereka tidak dapat menerima bias dugaan pro-Syiah Perdana Menteri Nuri al-Maliki.

"Saya tidak mempercayai orang ini ... Dia adalah agen Iran," kata Abdullah kepada Amerika pada Maret 2009.

Saudi dan tetangga-tetangga mereka memandang agen-agen Iran bermunculan di seluruh wilayah tersebut, mendirikan "organisasi-organisasi seperti Hezbollah" di Afrika, Yaman, dan dimana-mana, dokumen tersebut menyatakan.

Saudi dan sekutu Teluk menandaskan Tehran ada di belakang pemberontakan Huthi di baratdaya Yaman yang meluber ke Arab Saudi pada akhir 2009, mendorong militer Saudi terlibat konflik lintas batas empat bulan.

Namun Riyadh tidak pernah memberi bukti konkrit mengenai hal ini, kata memo-memo itu.

Kementerian Luar Negeri Saudi mengatakan Senin dokumen-dokumen Wikileaks "tidak membuat khawatir kerajaan" dan menolak memberi komentar secara spesifik.

Namun seorang penasehat masalah luar negeri pemerintah mengatakan bahwa, disamping penyingkapan-penyingkapan tersebut: "Ini merupakan exposure paling positif tentang cara raja dan karakternya. Dia jujur dan langsung" baik dengan orang-orang Amerika yang berkunjung maupun Iran. (ANT/K004/TERJ)